Sandi pulang dalam keadaan lesu. Ia tidak menemukan Anita setelah mencarinya ke beberapa tempat. Bahkan di rumah perempuan itu, Sandi tidak menemukan keberadaan kekasihnya disana. Rumahnya dalam keadaan gelap, itu berarti Anita masih belum pulang.
Sekarang Sandi berpikir, apakah kekasihnya itu sedang keluar dengan Rama, rivalnya. Sempat terbersit ingin meminta nomor telpon milik Rama, memastikan benarkah kalau Anita memang bersamanya. Tapi Sandi mengurungkan niat karena merasa tak enak hati. Hanya saja, hatinya dipenuhi rasa kecewa jika itu memang benar terjadi.
Kenapa Anita tidak jujur? Kami bersaing secara adil. Secara sehat. Kenapa harus diam-diam tanpa memberitahuku lebih dulu?
"Kau sudah pulang, Sayang?" Teguran itu membuat Sandi menoleh ke arah datangnya suara.
Sandi yang awalnya ingin melangkah langsung menuju kamarnya jadi mengurungkan niat melihat ibundanya tengah sibuk di meja makan, me
"Jadi Erlina masih belum punya pacar?""Nggak tau, Jeng Sari. Dia tuh sulit banget kalau disuruh dekat laki-laki. Katanya takut nggak cocok dan bikin sakit hati.""Tapi kan umurnya sudah cukup untuk menikah. Jadi mau nunggu apa lagi?"Perbincangan kecil antara mama Sandi dan Kayla, ibunda dari Erlina terhenti sesaat. Kayla mengubah letak duduknya, mendekat pada Sari. Dengan suara rendah, ia melanjutkan obrolan yang semula terjeda, menjawab pertanyaan Sari."Ssssttttttt! Jangan bilang-bilang ya, Jeng. Sebenarnya, Erlina belum ingin menjalin hubungan dengan pria manapun karena dia masih berharap kepada seseorang.""Oh...ya? Jadi dia sudah pernah jatuh cinta?" Kayla mengangguk. "Jadi penasaran seperti apa laki-laki yang anak itu harapkan.""Ehm....sebenarnya laki-laki itu--.""Ma, Kinara telpon kalau dia sudah sampai di bandara. Dia minta aku menjemputnya sekarang." Ka
Keduanya bertemu enam tahun lalu, tepatnya saat Kinara masih sekolah menengah pertama. Kegiatan tour yang diadakan oleh sekolah tempat gadis berusia empat belas tahun itu, mempertemukan dirinya dengan sosok Erlina yang kebetulan juga melakukan ekspedisi dengan teman kampusnya. Saat itu Kinara yang terlihat masih polos sedang tersesat dari rombongan sekolah. Ia menangis sendiri karena takut, sampai akhirnya bertemu dengan Erlina. "Kenapa kau menangis gadis manis? Dimana keluargamu?" Dengan sikap takut-takut, Kinara menjawab pertanyaan Erlina. "Aku terpisah dari teman-temanku, Kak." Erlina terkejut dan ikut panik karenanya. "Kenapa kau tid
Rama mengakhiri makan siangnya dengan sendawa keras, membuat Anita melebarkan mata tak percaya. "Kenapa menatapku seperti itu?" Rama memprotes tak terima. "Kau, jorok!" Rama hanya mencebik dan berdiri untuk mencuci piringnya sendiri. "Tunggu!" Anita mengejar. "Mau cuci piring ya?" Rama mengangguk saja, tanpa angkat bicara. "Titip, dong!" Mata Anita mengerjap beberapa kali, memohon dengan netranya. Bibir Rama tertarik sebelah dengan kedua alis yang menyatu. Ia cemberut, namun tetap merebut piring kotor di tangan perempuan itu. "Sejak kapan kau berani menyuruh atasanmu sendiri?" "Sejak kau masak seenaknya di rumahku. Salah siapa kau main masak semaunya disini?" "Aku akan memotong gajimu." "Boleh. Asal kau tambah tiga kali lipat bonus bulananku." Rama menggeleng pasrah. Kalau dilanjutkan, perdebatan
Erlina masih setia menatap gadis yang saat ini sibuk mondar-mandir di dekatnya. Meski demikian, tangannya tetap bergerak dengan lincah menyelesaikan rancangan baju yang sedang ia garap."Mau sampai kapan kamu mondar-mandir begitu, hmm? Apa kakimu tidak pegal?" tegurnya dengan suara rendah."Mbak," Kinara tak menyelesaikan kalimatnya. Ia berpikir dengan keras bagaimana cara menyusun kalimat yang ingin ia sampaikan pada Erlina. Gadis berponi itu menggigit kuku-kukinya, sajak bimbang, "aku sudah melihat perempuan itu."Erlina yang tadinya menunduk pada gaun di depannya, terdiam sejenak menafsirkan maksud ucapan Kinara."Menurutku dia cukup cantik," Kinara berucap lagi dan Erlina menoleh pada gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu. "Tapi kalau dibandingkan sama Mbak Lina dia masih belum apa-apa kok." Kinara menambahi kalimat sebelumnya."Kau menyelidiki pacar kakakmu?" tanya Erlina ter
Wulan terkejut melihat Anita datang dengan mendung di wajahnya. Terlihat sekali kalau temannya itu sedang dalam keadaan kesal."Ada apa denganmu?" tanyanya."Nggak pa-pa," sahut Anita singkat dan sedikit culas."Nggak pa-pa kok wajahmu cemberut begitu?""Wajahku emang begini. Kamu aja yang salah tafsir."Hanya terdengar helaan napas dari Wulan, menanggapi sangkalan Anita. Kepalanya mendongak dengan tangan bertopang dagu, seperti sedang memikirkan sesuatu."Apakah mungkin karena gosip itu?" gumam Wulan seperti pada dirinya sendiri. Namun Anita yang tersindir refleks menoleh langsung padanya."Gosip apa?" Anita seakan tidak tahu."Tentang Bu Marsa dan Pak Rama. Hari ini semua orang kantor membicarakan mereka kan?""Mana ada? Aku nggak dengar sama sekali kok."Wajah Anita menunduk dalam, menyembunyikan keboho
Sepasang mata itu masih setia mengawasi pergerakan orang di seberang sana. Matanya hampir tak berkedip sama sekali demi tak kehilangan jejak rekam dari penglihatannya.Setelah orang yang dalam pengamatan menghilang dari pandangan, ia segera memutar mobil menuju arah lain, pergi ke suatu tempat.~~Anita sedikit kikuk saat turun dari mobil sudah mendapati Wulan serta Arya sedang berswa-foto, mengunggah kebersamaan mereka berdua."Hei, Anita. Akhirnya kau sampai juga." Wulan menyongsong temannya dengan pelukan. "Apakah jalannya macet?" lanjutnya bertanya."Sedikit.""Tidak! Dia saja yang bangun kesiangan," sangkal Rama tiba-tiba menyela dari belakang.Anita mendelik saja menanggapi sahutan pria itu. Bisa-bisanya dia mengolok Anita di depan Arya dan Wulan.Rama masuk ke dalam villa bersama Arya
Kinara langsung mendatangi kakak laki-laki sulung di kamarnya begitu sampai di rumah. Tak sabar gadis itu mengetuk pintu, ingin segera bertemu dengan Sandi."Dari mana saja kamu, Ra?" tanya si Kakak begitu membuka pintu.Bukannya menjawab, Kinara justru mendorong tubuh kakaknya itu ke dalam agar dirinya bisa masuk dengan mudah. Kinara menghenyakkan tubuh di pinggir ranjang, menatap Sandi yang kelihatan bingung sendiri."Ada apa?" Sandi mengulang pertanyaannya dengan bijak. Ia sendiri mengambil tempat di atas sofa panjang dekat ranjang."Mas Sandi kenapa hanya di rumah saja? Tidak keluar malam mingguan gitu?" Tiba-tiba sang kakak tergelak keras. "Kok malah ketawa?" sungut Kinara.Setelah tawanya reda, Sandi mulai menjelaskan."Gimana aku nggak ketawa? Kau datang dengan wajah serius dan buru-buru. Ternyata hanya tanya kenapa Mas nggak keluar. Ku pikir ada masalah serius apa,
"Kamu jadi ke mall atau tidak? Tapi maaf, Mas tidak bisa menemanimu." Suara Sandi terdengar dingin, membuat nyali Kinara sedikit ciut."Kita pulang saja," jawab Kinara lesu. Ia sungguh tak berani menatap wajah sang kakak yang jelas-jelas sedang meredam amarah.Tanpa banyak kata, Sandi melajukan mobilnya, pulang ke rumah."Mas Sandi tidak turun?" tanya Kinara saat mobil telah sampai di depan pagar, dan Sandi membuka kunci otomatis mobil, menandakan bahwa Kinara harus turun tanpa menunggu mobil masuk dalam garasi terlebih dulu."Aku masih ada perlu.""Kemana? Mencari Mbak Anita?"Tatapan tajam dilayangkan Sandi pada adiknya, membuat Kinara harus menunduk kembali karena takut. Sungguh baru kali ini kakaknya itu bersikap demikian padanya."Turunlah!" Perintah tegas itu mendapat respon cepat dari Kinara. Ia membuka pintu mobil dan turun segera. Tidak lama, dan Sandi kemb