Anita belum bisa berfikir jernih ketika Rama masih menempelkan bibir mereka. Rasanya semua logikanya mendadak hangus karena ciuman tiba-tiba itu.
"Ah, maaf. Rupanya kalian disini."
Suara itu menginterupsi aksi keduanya dan seketika Anita pun tersadar lalu mendorong tubuh Rama sehingga pelukan keduanya terlepas.
Warna merah kini menghiasi wajah ayunya. Malu. Ia kepergok melakukan aksi mesum oleh sang pemilik pesta.
"Maaf Nyonya, kami eh--," Rama sengaja ingin menjawab dan diputus segera oleh si Nyonya rumah.
"Ah, tenanglah. Jangan gugup seperti itu. Aku paham apa yang kalian rasakan. Aku juga pernah muda seperti kalian dulu." Istri Dewantara itu mengulum senyum demi melihat sikap Anita dan Rama yang salah tingkah. "Baiklah, lanjutkan saja. Aku hanya ingin ke belakang sebentar." Dan perempuan itu berlalu dari hadapan keduanya.
Kini Rama harus siap-siap menghadapi kemarahan Anita padanya. Ia tahu bahwa akan ada badai setelah aksi tadi. Maka pria itupun segera memutar tubuh dan berjalan pergi mendahului Anita yang ingin mencercanya dengan segudang caci maki.
"Aaarrgghhhh! Raamaaaa!"
~~
Rio dan Amanda baru saja menyelesaikan makan malam dan tengah duduk bersama di ruang tengah ketika Rama datang dengan senyum mengembang di bibirnya.
Pasangan suami istri itu saling berpandangan bingung, melihat tampang anak keduanya yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.
"Apakah hari ini ada sesuatu yang spesial sampai membuat putra tampanku ini bisa melebarkan bibirnya?" sindir Amanda, mama Rama.
Mendengar teguran yang mengandung sindiran itu, Rama merubah ekspresi wajahnya dalam sekejap.
"Ah, tidak ada, Ma," tampik Rama mencoba menyembunyikan kebahagiaannya. Namun Amanda bukan perempuan yang mudah dikelabui.
"Oh....ya? Jadi boleh Mama tahu, kenapa kau senyum-senyum sendiri sejak masuk tadi."
Rama berdehem sedikit yang mendapat lirikan dari sang papa yang kini tengah asik membaca koran.
"Itu....." Amanda begitu menanti jawaban sang anak sampai ia harus bertopang dagu dengan menatap putranya penuh seksama, "...ah, aku belum bisa cerita sekarang, Ma."
Rama dengan cepat berlalu menaiki tangga menuju kamarnya. Terlihat ia ingin menghindar dari interogasi orang tuanya.
"Apa ini soal wanita?" teriak Rio tiba-tiba.
Rama tak menjawab dan terus melangkah menaiki tangga. Namun ia sempat mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat jawaban tanpa ingin menoleh ke belakang.
Amanda menautkan kedua alisnya bingung.
"Papa tau maksudnya?"
Rio hanya tersenyum saja. Ia meletakkan surat kabar beserta kaca mata bacanya di atas meja.
"Putramu sudah dewasa. Menurutmu apalagi yang membuat ia tersenyum-senyum sendiri begitu seperti orang tidak waras." Rio lalu berdiri dan melangkah pergi meninggalkan sang istri yang masih bingung dan berusaha menafsirkan teka-teki anak dan suaminya.
"Astaga, jadi dia sedang jatuh cinta."
~~
Anita melempar tasnya dengan kesal ke atas ranjang, lalu melepas semua aksesoris yang ia pakai dengan kasar, menaruhnya ke atas meja rias.
Hatinya mendumal. Kesal. Sebal. Apalagi kalau bukan karena kejadian di pesta Dewantara tadi. Mulutnya sudah hampir berbusa memberi seribu sumpah serapah pada Rama di dalam mobilnya, namun sepertinya telinga pria itu mendadak tebal sehingga tak terpengaruh dengan segudang caci maki Anita padanya. Dan tentu saja hal itu yang membuat perempuan berlesung pipit itu menjadi super duper kesal.
Anita hampir melampiaskan kekesalannya dengan berteriak sekencang-kencangnya ketika sebuah pesan masuk.
Bagaimana pekerjaanmu, apakah lancar?
Rupanya itu pesan dari Sandi. Ya, Anita memang beralasan pada kekasihnya itu bahwa dirinya diminta menemani si Bos karena ada pertemuan mendadak dengan seorang klien. Yang sebenarnya dia sendiripun tidak tahu bahwa Rama mengajaknya menemui klien itu hanya karena ingin menghadiri undangan pesta ulang tahun pernikahan mereka.
Sungguh terkutuk!
Anita dengan cepat membalas pesan itu.
Lebih dari sekedar lancar.
Yang sebenarnya itu adalah kebalikan dari jawabannya. Tapi sepertinya Sandi tak mengerti bahasa hati Anita sekarang sehingga mengira apa yang perempuan itu sampaikan memang benar apa adanya.
Ah...syukurlah.
Apakah kau sudah mau tidur?Iya. Aku sangat lelah dan ingin segera istirahat.
Baiklah. Cepatlah tidur. Jangan lupa gosok gigi dan cuci mukamu. Jangan tidur pakai make up.
Iya.
Senin aku jemput seperti biasa. Bye Honey, see you.
See you too.
Anita mengakhiri pesannya dan melempar ponselnya ke tengah ranjang. Setelahnya ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
~~
Anita sengaja ogah-ogahan dan ingin bangun agak siang karena sekarang adalah hari Minggu, yang berarti adalah hari liburnya. Namun sepertinya harapannya tidak akan terlaksana karena seseorang di luar yang membunyikan bel beberapa kali.
"Astaga, siapa sih pagi-pagi begini bertamu? Apa nggak bisa cari jam lain?" gerutunya dengan mata setengah terpejam.
Dengan malas ia pun bangkit dari ranjang, mengambil sandal tidur dan memakainya dengan sesekali mendumal.
Ting...Tong...Ting...Tong...
Sekali lagi bel berbunyi, menambah kekesalan Anita.
"Iyaaaaa sebentaaaarrrr!" teriaknya kencang dari dalam rumah. "Nggak sabaran banget sih jadi orang."
Anita memutar kunci dan membukanya kemudian. Terkejut saat melihat siapa yang datang.
"Kejutaannn!"
Dua orang itu berteriak bersama tepat di depan wajah Anita yang membuka pintunya dengan lebar.
"Mama! Papa!"
Rupanya mereka adalah orang tua Anita. Rangga dan Heni.
"Maaf kami tidak memberi tahumu sebelumnya." Suara Heni begitu keras memenuhi seluruh ruangan. Perempuan itu langsung menuju dapur dan menaruh buah-buahan yang dia bawa ke dalam lemari es. Sementara Rangga mengambil tempat, duduk di living room.
"Jadi ini tempat tinggalmu sekarang." Heni sudah kembali dan kini ikut bergabung dengan suaminya. "Lumayan." Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Kalian ingin minum apa?" Anita tak memperdulikan tanggapan orang tuanya.
"Nggak usah. Nanti kami akan cari sendiri kalau haus," tolak Rangga yang sudah melepas jaket hitamnya dan menyampirkan pada pergelangan kursi.
"Dimana Dona? Kenapa dia nggak ikut?" tanya Anita yang akhirnya ikut duduk bergabung dengan mereka.
"Kau tau sendiri kalau tugas skripsinya sangat padat. Mana mungkin dia mau ikut kalau tiap hari fokus terus pada tugas kuliahnya," jelas Heni yang telah melepas sepatunya dan mengambil sandal rumah milik Anita. "Kau tidak masak?"
"Untuk apa? Ini hari Minggu, harusnya aku masih tidur kalau kalian tadi nggak muncul."
"Kau ini! Sama orang tua nggak ada sopan-sopannya."
Anita hanya memutar bola matanya. Lelah dengan ceramah yang mulai dicecarkan padanya. Ia pun bangkit lagi dengan mulut yang menguap beberapa kali.
"Kalian mau pulang kapan?"
"Kami baru datang dan kamu sudah tanya kapan kami pulang?" protes Heni. Anita tak menggubris. Dia pilih berjalan, melangkah pergi menuju kamarnya dan ingin melanjutkan tidur. "Kami akan menginap disini sampai minggu depan."
"Kalau begitu Mama yang mengurusi dapurku sampai minggu depan," kata Anita setengah berteriak.
"Kau mau kemana?"
"Tiduuurr!"
Dan, blaaaammmm!!!! Pintu ditutup keras. Heni menggerutu kesal mendapati sikap putri sulungnya yang belum berubah. Masih sama seperti saat mereka masih tinggal dalam satu rumah. Malas, keras kepala dan suka membantah.
"Anakmu memang harus segera dinikahkan biar bisa berubah," gerutu Heni pada suaminya yang sudah menyalakan televisi melihat siaran berita.
"Jangan terus memaksanya menikah, atau nanti dia akan pergi keluar negri dan kita akan semakin sulit mencarinya," bantah Rangga yang tetap fokus pada layar televisinya.
"Kau selalu membela dia. Ayah dan anak memang sama saja!"
Heni melangkah pergi dengan muka sewot. Pergi kembali ke dapur untuk memasak sesuatu. Astaga, padahal dia datang untuk misi tertentu, tapi kenapa sekarang tujuannya jadi berubah?
(○_○)
Tiga hari sudah, orang tua Anita menginap di rumah putrinya. Hingga saat ini, mereka belum mengetahui kalau Anita bekerja dengan Rama. Dan Anita harus bersyukur selama tiga hari ini pria itu tidak ada di tempat. Tugas luar kota yang mengharuskan dirinya pergi, membuat dunia Anita lebih tenang dari hari sebelum-sebelumnya.Meski demikian, bukan berarti dia terhindar dari problema kehidupan. Sudah Anita tebak sebelumnya kalau orang tuanya datang tidak hanya sekedar berkunjung ke rumahnya yang baru. Tentu ada maksud dan tujuan lain yang mereka rencanakan. Dan memang benar, ketika hari pertama saja, Anita telah ditanyai macam-macam oleh sang mama. Tak hanya masalah pekerjaan yang di interogasi. Bagi Heni, pekerjaan adalah nomor ke sekian setelah jodoh.Inilah yang selalu jadi beban pikiran Anita. Kepalanya akan kembali pening saat ia ditanya mengenai calon suami. Bahkan setelah ia memutuskan pergi dari rumah, ibunya masih saja menekan dirinya
Braaakkk!!Anita menaruh kotak makanan itu dengan kasar di atas dashboard. Ia cuma melirik sekilas pada pria di sampingnya."Bekalmu!" ucapnya sangat dingin tak bersahabat. Setelahnya ia melengos menatap ke sisi kiri keluar jendela kaca mobil. Rama tak merespon sikap Anita barusan. Ia pilih menjalankan mobil dengan segera menuju kantor. "Setelah ini, jangan menjemputku lagi!""Terserah aku mau jemput atau tidak."Anita menatap Rama tajam."Ram, aku tidak tahu apa motifmu melakukan ini padaku. Memperlakukanku spesial seolah aku ini orang yang berarti bagimu.""Apa kau berfikir begitu? Bagiku biasa saja, dan aku juga tidak menganggapmu lebih." Rama hanya melirik sekilas pada perempuan di sebelahnya."Oh....ya? Tapi orang lain tidak berfikir begitu.""Aku tidak perduli pikiran orang lain. Sekarang kau pikir saja, apakah aku makan ikut orang l
Pintu ruangan bersifat privasi itu dibuka tiba-tiba, menampakkan sosok seorang pria tampan dengan sebuah kaca mata yang menghias wajahnya."Hei, Bro, tumben kamu nggak keluar," sapanya saat memasuki ruangan. Berjalan mendekat lalu duduk di kursi, depan meja kerja Rama."Gimana tugas luar kotamu?" tanya Rama balik, mengabaikan pertanyaan pria tersebut."Yahh....lancar-lancar saja. Pak Robby akhirnya mau bekerja sama dengan kita.""Aku tahu kau pasti berusaha keras untuk memenangkan hatinya. Dia bukan klien yang mudah ditakhlukkan. Itulah sebabnya aku mengirimmu, dan bukan yang lain." Rama kembali menyendukkan nasi goreng ke mulutnya.Hal itu mendapat perhatian dari pria di depannya. Ia mengamati dengan teliti isi kotak makanan yang sedang di hadap oleh teman sekaligus bosnya itu."Kau makan nasi goreng?" tanyanya heran. "Tumben?"Rama hanya diam. Sambil men
Rama turun setelah membersihkan dirinya. Ada Rio dan Amanda sedang asik pada bacaan di tangan masing-masing."Kau sudah makan malam, Sayang?" tanya Amanda begitu melihat kemunculan putranya."Sudah, Ma. Tadi bersama Arya."Rama lalu mengambil duduk di dekat keduanya."Gimana pekerjaanmu, Ram? Tidak ada masalah?" Rio melipat korannya, fokus pada sang anak."Sejauh ini tidak, Pa. Arya membantuku dengan baik.""Okay. Berhati-hatilah dalam menghadapi klien-klienmu. Mereka bisa saja jadi musuh dalam selimut.""Iya, Pa." Sejenak pembicaraan terhenti dan Rama mulai membuka obrolan lagi ketika Amanda yang baru saja kembali dari dapur, datang dengan sepiring irisan buah apel serta kiwi di tangannya. "Ehm, kalian ingat sama Papa Rangga dan Mama Heni?"Rama terlihat ragu saat bertanya. Ia menggosok ujung hidungnya, sedikit resah kalau tanggapan kedua
Dua manusia lawan jenis itu saling melempar tatapan tajam.Anita seolah lupa kalau yang ada di depannya saat ini adalah atasannya sendiri. Ponsel yang retak dan entah masih bisa dipakai atau tidak, membuatnya meradang. Sementara Rama dengan angkuhnya menunjukkan kewibawaan dan harga dirinya sebagai atasan, tak ingin terintimidasi oleh Anita yang notabenenya hanya seorang karyawan."Anda harus bertanggung jawab atas kerusakan ponsel saya!" Anita mempertegas perkataannya kembali."Kau pikir aku perduli? Kau saja yang jalan tidak hati-hati. Begitulah kalau mata ditaruh di kaki." Rama tak mau kalah dan menekan balik lawan bicaranya."Bagaimana Anda bisa bicara demikian? Jelas-jelas Bapak sendiri yang salah. Ponsel saya jatuh karena Anda.""Kau yang berjalan tidak melihat. Fokusmu hanya pada telpon dan telpon. Apa tidak bisa membedakan waktu berpacaran di rumah atau di kantor, huh?!" Rama semak
Anita masih mengutuk kebodohannya yang dengan gampang mengikuti kemauan pria itu.Sejak masuk dalam mobil, ia hanya diam sambil menggigit tipis bibir dalamnya. Pikirannya masih berkecamuk, apa yang Rama inginkan dengan mengajaknya pergi? Dan kemana pria itu akan membawanya?Untunglah ia sempat menghubungi orang tuanya dengan alasan harus pulang malam karena lembur. Beberapa pesan masuk yang berasal dari Sandi tak ia hiraukan. Anita tak ingin menanggapi isi pesan tersebut yang bisa ia pastikan berupa pertanyaan basa-basi, yang mungkin pada akhirnya akan berujung kebohongan darinya."Kau tidak mau tanya kita kemana?" Rama membuka suara. Ia menoleh sesaat pada Anita dan fokus kembali pada setang kemudinya."Buat apa?" sahut Anita tak acuh."Kau tidak takut aku membawamu ke suatu tempat menakutkan gitu?" Rama memancing."Kan ada kamu yang bakal jagain aku," jawab Anita sekenan
Anita berdiri seketika dari tempatnya."Apa maksud ucapanmu itu?" Ia menatap sengit pada keberadaan Rama yang masih tampak santai, namun tidak dengan orang tua Rama yang semakin was-was."Duduklah, akan kujelaskan sesuatu," kata Rama lembut, masih nampak tenang. Namun itu tak membuat perasaan Anita luluh. Justru hatinya makin bergejolak."Penjelasan apa? Sesuatu yang tak kupahami dan hanya diputuskan sepihak olehmu, begitu? Aku benar-benar kecewa padamu!"Anita menyentak kasar tas kerjanya. Tanpa pamit, ia segera kabur dari tempat itu. Dan inilah yang dicemaskan Rio juga Amanda sejak tadi.Rama yang tak menyangka akan kemarahan Anita, mengejarnya dengan segera. Tubuhnya hampir menyenggol pelayan yang datang membawa nampan makanan."Anita, Anita, tunggu!" Ia mencoba mencegah kepergian Anita. Beberapa pasang mata sudah memperhatikan keduanya sejak tadi. Dan kini mereka berdu
Gairah Anita melonjak begitu cepat saat bibir keduanya menempel. Ia berfikir Rama akan menciumnya dengan dalam, namun rupanya ia salah menduga. Pria itu justru menarik diri setelah beberapa detik kemudian, membuat Anita merasa kehilangan, kecewa.Ia mengutuk dirinya yang mengharap kelanjutan dari kejadian mengejutkan baru saja. Tapi Anita memang tak bisa memungkiri, ia ingin sesuatu yang lain sekarang ini. Sebuah sentuhan. Dan yang pasti ia berharap akan mendapatkannya dari Rama meski hati kecilnya memberontak meneriakkan kebodohannya."Ku harap, kau memikirkan kata-kataku ini," gumam Rama sesaat kemudian setelah ia berjalan mundur. Keduanya hanya saling menatap satu sama lain. "Tidurlah, selamat malam."Rama hampir menjauh ketika tiba-tiba Anita merengkuh lehernya tanpa diduga."Kau mau kemana?""Kemana? Tentu saja pulang." Mata Rama berputar menelusuri wajah cantik di depannya.