Share

Kenyataan Pahit

“Sudah siapkah, Sayang?” Banka melirik ke arah toilet. Sang istri ada di dalamnya, dengan waktu yang cukup lama.

“Emm ... sebentar lagi,” jawab Sally. Dari dalam toilet.

“Kamu tidak apa? Aku khawatir,” ucap Banka. Menunggu di depan pintu toilet.

Kriet ....

Sally yang telah berada di dalamnya kurang lebih 45 menit, akhirnya keluar dari toilet.

Banka menyadari sesuatu. Mata sang istri terlihat memerah. Pria itu seketika menunjukan sikapnya yang sangat khawatir.

“Hei ... kenapa? Bisa katakan padaku?” pinta Banka. Berlutut di hadapan istrinya. “Tolong ...,” sambungnya.

“Aku gak apa kok. Ayo! Kamu akan mengajakku keliling pulau, bukan?” ujar Sally. Mengalihkan pembicaraan.

Banka bangkit dari posisinya. Pria berusia 35 tahun itu memeluk Sally dengan erat, mengusap rambutnya dengan halus kemudian dengan lembut mengecup keningnya. “Ada apa? Aku merasa gagal menjadi suami untukmu. Tolong katakan,” pinta Banka. Menuntun Sally untuk duduk di atas ranjang. Berharap sang istri akan menceritakan apa yang tengah dipikirkan padanya.

“A-aku. Aku gak apa. Aku hanya rindu orang tuaku. Aku menginginkan mereka kembali,” tuturnya. Berlinang air mata.

Banka memeluk Sally dengan erat. Pria itu memegang pipi Sally, kemudian mendekatkan wajahnya dan berkata. “Anak hebat tidak boleh menangis. Kamu mau apa, Sayang? Aku akan memberikannya untukmu,” kata Banka. Mencoba menghibur sang istri.

Sally tersenyum. “Terkadang, tidak semuanya tentang uang. Saat ini aku tidak membutuhkan sesuatu yang dapat dibeli pakai uang. Aku rindu kenangan. Kenangan bersama orang tuaku. Bisakah kamu mengembalikan itu padaku?” cetus Sally. Menundukan wajahnya.

Banka terdiam sejenak. Ia tahu betul apa yang tengah melanda hati istrinya. Banka kembali menyeka air mata Sally. Pria itu sadar jika ia tidak bisa menjadi bagian dari kenangan indah Sally di masa lalu. Tetapi tiba-tiba, Banka kembali membuka suaranya. “Sayang ... aku tahu bahwa aku tidak dapat ikut andil dalam kenangan masa lalumu. Tapi saat ini, aku akan berusaha menciptakan kenangan indah baru bersamamu. Kita buka lembaran baru di buku yang baru. Ok?” Tenang Banka. Menenggelamkan Sally dalam pelukannya.

Sally menganggukan kepalanya. Memang saat ini, hanya pernikahannya dengan Banka lah yang menjadi harapan cerah untuk masa depannya. Maka dari itu, Sally ingin fokus kepada Banka untuk menjadi istri yang baik.

Melihat istrinya yang sudah tenang. Banka berkata. “Ayo, kita keliling. Cari udara segar, mau?” tanya Banka. Mengusap halus punggung tangan Sally. “Oiya. Sally ... aku pernah bilang padamu kalau aku punya satu orang anak angkat. Karena istri pertamaku mandul makanya kami pada saat itu memutuskan untuk mengadopsi bayi,” sambungnya.

Mendengar itu, seketika Sally segera memfokuskan pikirannya. “Iya aku tahu, kenapa?” sahutnya.

“Kemarin dia meneleponku. Dia berkata jika, besok pagi akan datang ke rumah untuk mengucapkan selamat atas pernikahan kita. Jadi sebisa mungkin, besok kita juga harus menyambut kedatangannya. Aku ingin hubungan kalian berdua dalam kondisi yang baik. Karena jujur saja, saat aku meminta restu untuk menikah kembali, dia tidak merespon hal tersebut. Semoga saja, saat ini ia sudah dapat menerima kenyataan.” Jelas Banka, panjang lebar.

“Aku mengerti. Aku akan berusaha menjadi ibu yang baik untuknya,” jawab Sally. Penuh semangat.

Banka tersenyum lega, melihat Sally tidak keberatan dengan kedatangan putranya. Pasangan itu berjalan bersama, menelusuri sudut-sudut pulau ditemani dengan terangnya cahaya rembulan.

“Sally, kemari.” Ajak Banka. Menuntun Sally, masuk ke hutan.

“Takut. Di sini saja, jangan masuk ke hutan,” sahut sang wanita.

“Haha ... takut? Mungkin kamu lupa sedang bersama siapa sekarang,” cetus Banka. Meyakinkan. “Kita pergi ke air terjun. Di sini memang gelap, sesampainya di sana barulah banyak lampu-lampu yang menerangi,” sambungnya.

“Air terjun?” tanya Sally.

Banka mengangguk. “Iya. Di sana ada pelayanku yang menunggu kita. Ini memang salah satu bagian dari rangkaian Kegiatan yang sudah direncanakan. Jadi tidak akan ada hal buruk. Ayo, berani?”

“Baiklah ayo. Aku juga ingin melihat air terjun,” cetus Sally. Bersedia.

Mereka memasuki hutan yang gelap dengan bermodalkan obor di genggaman Banka. Pria itu dengan sengaja merencanakan hal tersebut. Dirinya tidak ingin Sally terus mengingat kematian kedua orang tuanya. Maka dari itu, sebuah tantangan harus diberikan agar pikiran Sally teralihkan dari kesedihan yang mendalam.

“Selamat datang, Tuan dan Nyonya.” Sambut seorang pelayan pria, yang keluar dari gubuk kecil.

Banka mengangguk sementara Sally merespon dengan senyuman.

“Ini pakaian yang sudah kami persiapkan. Di dalam gubuk ini Tuan dan Nyonya dapat berganti pakaian,” ucap sang pelayan.

“Kenapa harus ganti pakaian?” tanya Sally.

“Karena ini salah satu agenda yang Tuan rencanakan. Nyonya akan berendam bersamanya di air terjun. Suasana di kolam terasa sangat romantis karena para pelayan telah mendesainnya secocok mungkin untuk pasangan baru.” Pelayan tersebut mempersilakan Sally dan Banka untuk masuk ke dalam gubuk.

“Benar, Sayang. Ayo kita lakukan saja. Aku yakin kamu akan menyukainya,” ucap Banka. Menuntun Sally masuk ke dalam gubuk.

Pakaian putih polos menjadi balutan tubuh Sally dan Banka malam itu. Mereka menuju kolam air terjun. Airnya bertabur bunga, aromanya sangat harum. Bahkan ketika mereka belum sampai di sana. Lampu-lampu malam yang tergantung membuat situasi malam yang dingin itu menjadi hangat. Terlebih suhu air kolam sudah disesuaikan agar tidak terlalu dingin. Karena hal itu Sally dan Banka dapat dengan nyaman berendam di sana.

“Kemari. Kita berendam di sini. Rasanya sangat nyaman, airnya tidak terlalu dingin,” tutur Banka. Membuat sang istri menenggelamkan setengah tubuhnya ke dalam kolam, bersamanya.

Pada mulanya mereka sama-sama menikmati air. Tetapi tak lama, seperti biasa Banka selalu menjahili Sally dengan berbagai atraksinya. Mulai dari atraksi silat lidah hingga atraksi penusukan pedang besar.

Semua itu mereka lakukan di dalam air, dengan kondisi yang romantis dan suara derasnya air membuat Sally dengan bebas mengeluarkan suara kenikmatannya malam itu.

“A-aah sudah-sudah. Aaa ....” Sally berusaha menjauhkan kepala banka di tengah kedua pahanya. Wanita itu sudah tidak tahan dengan serangan yang suaminya lakukan.

Hingga pada akhirnya, Sally lunglai terkapar lemas di atas batu di dekat kolam. Banka memangku tubuhnya yang mungil, sembari memainkan kedua gunung yang ia miliki.

Tiba-tiba suaminya itu, berkata. “Sayang ... kamu mau punya anak?” tanya Banka menatap wajah Sally yang berada di pangkuannya.

Sally tengah menatap langit yang penuh bintang. Tiba-tiba ia memfokuskan penglihatannya pada sang suami. “Anak? Kenapa memangnya? Kamu saja kalau keluar di luar terus. Bagaimana mau punya anak,” cetus Sally.

Banka mengecup kening Sally. Kemudian menjawab lontaran sang istri. “Iya ... aku masih mau pacaran sama kamu. Mau menghabiskan waktu berdua dulu. Gimana? Boleh tidak?”

“Ya sudah tidak apa. Aku juga belum siap punya anak,” ujar Sally.

Setelah selesai dengan permainan bulan madunya di air terjun. Banka mengajak Sally untuk pulang ke rumah kayu. Berbeda dari awal keberangkatan Sally dan Banka menjelajah hutan. Kali ini pasangan suami istri itu menggunakan jalur laut. Banka mengajak sang istri pulang dengan menaiki perahu kecil.

Sally sangat bahagia, ia tertawa bahkan seketika lupa dengan kesedihannya. Terlebih saat di perjalanan ia melihat kunang-kunang yang sangat indah. Melihat kunang-kunang yang beterbangan, Sally tiba-tiba mengingat kenangan bersama Adez-mantan pacarnya.

Saat menjalin kasih dengan Adez, Sally sempat mendapatkan hadiah sebuah toples yang di dalamnya dipenuhi oleh kunang-kunang. Tidak ingin larut dalam kesedihan, Sally berusaha untuk mengobrol bersama suaminya. Ia tidak ingin memikirkan mantan pacar yang membuat goresan luka di hatinya.

Sesampainya di rumah kayu, Banka dan Sally pun langsung merebahkan tubuh mereka di atas ranjang. Kedua mata mereka terpejam dan terlelap, bersamaan dengan jarum jam yang menunjukan pukul 23.50.

Keesokan harinya pukul 03.00 dini hari. Para pelayan membangunkan Banka dan Sally, pasangan baru itu bersiap-siap untuk kembali ke rumah utama demi menyambut kedatangan putra Banka yang akan datang pagi nanti.

Dengan menggunakan pesawat yang sama, Banka dan Sally pun pergi menuju rumah utama ditemani dengan rasa kantuk yang terus menyertai.

Sesampainya di rumah pukul 4.20 dini hari, Banka dan Sally kembali tertidur di kamarnya dan berniat untuk menyiapkan acara penyambutan putra Banka pukul 05.30. Akan tetapi di jam penyambutan itu, seketika terdengar ....

Tok ... tok ... tok ....

“Aduh siapa sih, pelayankah? Baru jam segini sudah dibangunin saja,” celetuk Sally. Perlahan-lahan mendekati pintu. “Iya, tunggu sebentar,” sambungnya. Membuka pintu kamar.

Kriet ....

Sally dapat melihat siapa sosok yang mengganggu tidurnya dengan ketukan pintu. Ternyata dugaan Sally salah, yang mengganggu tidurnya bukanlah pelayan. Melainkan sosok pria tinggi yang tengah menutup wajahnya dengan rangkaian bunga yang besar.

“Eh.” Kaget Sally, melihat pria membawa rangkaian bunga besar di hadapannya.

“Selamat datang di keluargaku, Mama ....” Pria itu berkata sembari memberikan rangkaian bunga kepada Sally.

Ketika tengah memberikan bunga kepada ibu tirinya. Anak angkat Banka menyadari bahwa ....

“loh, Sally!” Kaget Adez menjatuhkan rangkaian bunga yang dibawanya.

Sally tiba-tiba meneteskan air matanya. Ia tak sanggup dengan kenyataan yang ia terima. “A-adez,” katanya terbata-bata.

“kamu, ngapain?” cetus Adez. Yang semula berwajah riang kini penuh dengan amarah.

Sally tak bersuara. Suaranya bagai hilang dihentikan oleh waktu. “Jangan bilang kamu anak tiriku,” ucap Sally. Menyenderkan tubuhnya yang lemas pada dinding yang tak jauh darinya.

“Adez, anak Ayah?” Suara Banka terdengar. Pria itu baru saja terbangun dari tidurnya. Ia langsung menghampiri Adez, anak angkatnya yang berada di depan pintu kamar.

Adez tersenyum melihat kedatangan sang ayah. Tubuhnya kaku diserang sebuah kenyataan yang memuakan.

“Loh, Sayang ... ini bunganya jatuh,” kata Banka. Mengambil rangkaian bunga yang terjatuh dan memberikannya pada Sally. “Anakku ... Ayah sangat rindu,” kata Banka. Memeluk putranya.

“I-iya, Ayah. Aku juga,” sahut Adez.

“Kamu datang sangat pagi. Ternyata Ayah benar-benar dikejutkan olehmu. Terima kasih ya, Putraku. Oh iya, ini mama barumu. Kamu bisa menganggapnya teman, karena kaliankan seusia, bukan?” Jelas Banka. Tersenyum lebar tanpa mengetahui apa yang terjadi.

“Iya, Ayah.” Respon Adez singkat. Mengalihkan pandangannya dari Sally.

Sementara Sally masih membisu dengan genangan air mata yang hampir tumpah dibuatnya. Ia benar-benar tidak menyangka dengan alur hidupnya yang sungguh menyakitkan.

Mantan pacar pertama yang sangat ia cintai ternyata anak dari suaminya. Dan saat ini ia harus hidup satu atap dengan orang yang ia cintai namun dengan status ibu tiri dan tidak akan dapat menyatu seperti apa yang diharapkannya.

Hatinya sakit, sungguh sakit. Pernikahan yang sebenarnya belum dapat diterima dalam hatinya. Kini semakin membuatnya tersiksa dengan kenyataan pahit yang diterima.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status