Share

Bulan Madu

Sinar matahari pagi yang menembus jendela kamar, tidak membuat Sally dan suaminya terbangun. Pengantin baru itu terlelap begitu lama. Sampai ketika hari ingin menyambut datangnya waktu siang.

Tok … tok ….

Tak ada balasan dari dalam kamar.

Suara ketukan pintu masih terdengar, hingga Sally bangun dari tidurnya.

“Ya?” sahut Sally. Mengusap-usap matanya dengan perlahan.

“Selamat siang, Nyonya. Aku datang membawa makanan,” ucap seorang pelayan dari luar kamar.

“Ya. Tunggu sebentar!” pintanya. Bangkit dari ranjang dan segera mengenakan pakaian. “Makanan apa yang dibawa?” tanya Sally. Membukakan pintu.

Kriet ….

Terlihat Satga membawa troli yang dipenuhi oleh makanan. “Ini makanan untuk Tuan dan Nyonya. Selamat menikmati ….” Satga pamit. Meninggalkan troli makanan di kamar Sally. “Oiya. Nyonya?” panggil Satga. Membalikkan tubuhnya dan membuka obrolan baru dengan Sally.

“Ya?”

Satga melirik ke arah ranjang. Wanita berambut hitam lurus itu kemudian berkata. “Tolong segera bangunkan tuan. Pukul 15.00 nanti, Nyonya dan tuan harus sudah rapih. Karena pesawat pribadi milik tuan akan lepas landas pukul 15.15. Setelah Nyonya selesai dengan makanannya, hubungi saya lewat telepon di meja. Saya akan menyiapkan Anda untuk pergi bulan madu. Masalah noda yang ada di ranjang, biar para pelayan yang membersihkannya. Mungkin itu saja. Saya pamit, Nyonya. Selamat siang dan selamat menikmati makanannya.” Satga pergi. Setelah menjelaskan penjelasan yang panjang.

Sally hanya mengangguk. Gadis itu nampak terpukul. Baru kali ini ia merasa menjadi seorang ratu. Para pelayan melayani segala kebutuhannya dengan baik. Hidup Sally terasa lebih teratur dan terrencana.

Sally mengarahkan pandangannya pada sang suami yang masih tertidur lelap di atas ranjang penuh noda. Perempuan itu mendekat, mengusap dengan halus kening suaminya. Tanpa disadari, Banka terbangun dan telah memperlihatkan manik matanya yang berwarna biru.

Sally terkejut dan hendak menjauhinya, namun Banka dengan sigap menarik tangannya. Akhirnya, Banka pun berhasil mengambil kecupan bibir Sally. Pria itu dengan brutal membalikan tubuh Sally, sehingga Sally berada di bawah tubuh suaminya.

Banka mengecupi setiap jengkal tubuh Sally. Pria itu hendak membuka pakaian istrinya. Tetapi seketika, tangan Sally menahan keinginan Banka. Wanita itu berkata. “Cukup. Kita makan dulu,” ucapnya.

Banka menyudahi aksinya dan segera membenarkan pakaian Sally seperti semula. “Ah, iya. Maaf, Sayang. Kau terlalu menggemaskan. Ayo kita makan terlebih dahulu. Perut mungilmu itu sudah meronta meminta jatah makan,” cetus Banka. Membangunkan Sally yang terkapar.

“Kita bulan madu, hari ini?” tanya Sally. Menyiapkan makanan untuk suaminya. “Kenapa kamu tidak pernah memberitahukan apapun padaku? Apa kau tahu? Aku sangat kesal karena sifatmu yang selalu merahasiakan dan selalu melakukan segala hal dengan mendadak sesuka hatimu.” Marah Sally. Mengingat kejadian menjijikan pada malam pertamanya.

Setelah meneguk susu, Banka berkata. “Maaf, Sayang. Hal itu tidak akan terjadi lagi, semuanya sudah selesai.”

“Selesai? Kau benar sekali! Tetapi, apakah rasa malu-ku bisa selesai dan hilang begitu saja? Aku yang sedang merasakan malam pertama tanpa adanya satupun pakaian di tubuhku, lalu ada orang asing yang ikut menyaksikan bahkan memvideokan hal yang sangat privasi itu. Menurutmu, bisakah aku bersikap tenang saat ini?” racau Sally. Memakan makanannya dengan kasar. “Parahnya, aku sangat tidak nyaman dengan malam pertama yang akan kukenang seumur hidup. Bisa-bisanya dirimu meminta Robert-tangan kananmu, dengan bebas dapat melihat tubuhku. Bagimu, aku ini apa? Kita baru saja menikah dan aku sudah semarah ini padamu. Aku benar-benar kesal. Aku tidak mau bulan madu. Bulan madu saja sana berdua dengan Robert!” sambungnya. Terus mengungkit.

Banka menatap Sally dengan tatapan yang dalam. “Haha … kamu semakin cantik ketika marah, Sayang,” kata Banka. “Tenang saja. Kamu harus terbiasa dengan hal itu. Kamu pasti akan terbiasa. Contohnya, mm ... kamu tidak akan mandi sendiri, Sally. Pilihanmu hanya ada dua. Kita mandi bersama atau kamu yang akan dimandikan oleh para pelayan,” sambungnya.

“Apa?! Tidak mau. Aku ini orangnya sangat privasi. Aku mau mandi sendiri saja,” kata Sally. Dengan wajah kesalnya.

“Baiklah. Habis ini kamu boleh mandi denganku. Sepulang bulan madu, barulah para pelayan yang memandikanmu. Itu memang tugas mereka, biarkan mereka mengerjakan tugasnya. Kau tidak mau para pelayan dipecat, bukan?” cetus Banka. Tersenyum.

“Ihhh … aku mau mandi sendiri!” Sally merengek.

“Ahahaa ….” Banka tertawa puas.

Tak lama, suara ketukan pintu terdengar. Satga kembali dengan membawa perlengkapan mandi.

“Permisi Tuan dan Nyonya. Saya ingin mengantarkan perlengkapan untuk mandi. Tuan dan Nyonya memiliki waktu mandi paling lama satu jam. Setelah itu, kalian harus segera siap untuk pergi ke tempat tujuan,” kata Satga. Menjelaskan.

“Terima kasih Satga. Selama saya dan istri bulan madu. Para pelayan diberikan cuti. Belanja apapun yang kalian inginkan. Berikan saja tagihannya pada saya. Selesaikan tugasmu!” tutur Banka.

Satga mengangguk kemudian pergi keluar dari kamar. Banka menggendong Sally menuju kamar mandi. Pasangan itu pun mandi bersama.

Bumi bergetar, terpaan angin bagaikan badai. Tampak terlihat pesawat pribadi Banka telah mendarat tepat di samping rumah. Terdapat landasan pesawat di sana. Banka dan Sally dengan segera memasuki kabin. Dari dalam jendela kabin, Sally dapat melihat para pelayan melambaikan tangan dengan memasang wajah penuh senyum. Tak lama, pesawat pun lepas landas, mengangkasa.

Di dalam pesawat. Seorang pelayan menyajikan berbagai makanan di atas meja makan yang tak begitu luas, namun nuansa mewah masih sangat terasa. Sebelum pelayan makanan itu pergi, ia berkata. “Selamat menikmati. Tuan dan Nyonya ….”

“Ayo buka mulutmu, Sayang,” pinta Banka. Menyodorkan sesendok makanan tepat ke depan mulut Sally.

Sally menggelengkan kepalanya. Sally tidak berniat untuk makan saat itu. Tak lama, ia pun membuka suara. “Mulutku pegal,” ucapnya.

“Pegal kenapa, Sayang?” tanya Banka. Meletakan makanannya dan mengalihkan fokus pada Sally yang terlihat kesakitan. “Kita ke dokter?” sambungnya. Khawatir.

“Obatnya ada di kamu …,” cetus Sally. Menepuk dada Banka, di hadapannya. “Punyamu terlalu besar tuh. Mulutku sakit, kalau terlalu rutin. Apalagi ini pengalaman pertamaku. Kenapa sih kamu suka sekali bermain dengan mulut?!” Sally kesal.

Menatap suaminya dengan tatapan yang tajam.

Banka yang semula sangat khawatir, kini tertawa terbahak-bahak. Pria itu menertawakan kejujuran yang baru saja Sally katakan. Ia mengusap halus rambut Sally. “Baiklah. Sesampainya di tempat bulan madu. Kita libur dulu pakai mulut ya. Kasihan, Sayangku. Di sana kita jalan-jalan saja dulu. Gimana?” ujarnya.

Sally mengangguk. Wanita yang sedang sakit di bagian rahang itu malas menggunakan suaranya. Karena hal itu juga akan memicu rasa nyeri di mulutnya.

Tak lama, pesawat pribadi Banka sampai di sebuah pulau yang tidak begitu besar. Namun terlihat sangat sepi. Pulau itu bernama Pulau Satu.

Pulau Satu merupakan salah satu dari banyak pulau yang menjadi kepemilikan pribadi Banka.

Banka berkata bahwa di pulau itu suasananya masih sangat asri dan satu-satunya bangunan yang ada, tak lain adalah milik Banka sendiri. Jadi baginya, untuk bulan madu bersama istri tercinta, Pulau Satu sangatlah cocok.

“Sepi sekali,” cetus Sally. Mengikuti langkah kaki suaminya.

“Iya, memang. Cocokkan? Untuk berdua bersamamu. Kamu tahu alasanku pilih pulau ini?” ucap Banka. Menanyakan. Menggandeng lengan Sally yang sendari tadi berjalan di belakangnya.

Sally menggelengkan kepalanya, mengartikan tidak tahu akan pertanyaan yang suaminya lontarkan.

Banka tersenyum. Kemudian menjelaskan jawaban dari pertanyaannya itu. “Nama Pulau Satu berasal dari kepemilikan pulau ini yang hanya akan menjadi miliku dan di sini hanya ada bangunan yang berdiri atas namaku. Hanya aku satu-satunya. Maka dari itu hadirlah Pulau Satu.” Jelasnya. Menghentikan langkah.

Sally yang melihat sang suami berhenti berjalan pun akhirnya bertanya. “Kenapa berhenti?” tanyanya.

“Sini, naik.” Banka merunduk. Pria yang sangat tinggi itu, mempersilakan Sally untuk naik ke atas bahunya. Ia berniat menggendong Sally.

“Ah, malu. Itu pelayanmu ada di belakang kita.” Tolaknya.

“Ayo ….” Banka memaksa Sally untuk mendudukan tubuhnya di atas bahu Banka. Hingga pada akhirnya Sally pun berhasil diangkat oleh Banka. Wanita itu sangat terpesona dengan pemandangan yang dilihatnya.

“Ya ampun … bagus sekali pemandangan dari atas sini. Oh begini, rasanya jadi orang tinggi,” cetus Sally. Sembari memukul-mukul halus kepala suaminya.

“Nah, sudah lihatkan. Ayo sekarang turun lagi,” ucap Banka. Hendak menurunkan sang istri dari bahunya.

“Ih, jangan! Kok diturunin sih. Kesal deh ….” Marah Sally. Menekuk wajah imutnya.

Banka tertawa dan mempercepat jalannya, sehingga Sally dengan erat mencengkram kepala sang suami. “Aduh … jangan cepat-cepat dong, Suamiku. Nanti aku jatuh. Memangnya kamu tidak sayang sama aku?” tutur Sally.

“Haha … siapa ya, yang tadi tidak mau naik?” Ledek Banka. Membuat Sally sedikit terpental-pental, karena jalannya yang agak dibuat sedikit melompat.

“Itukan tadi, kalo sekarang mau. Pantas dari tadi aku hanya melihat rumput tinggi, ternyata memang akunya yang harus tinggi biar bisa lihat pemandangan indah seperti ini,” ujarnya tersenyum.

Tak lama, Banka berhenti di depan sebuah rumah besar yang terlihat tua dengan bahan bangunannya yang terbuat dari kayu. “Ayo turun, Sayang. Kita sudah sampai,” katanya. Menurunkan Sally.

Kriett ….

Terlihat para pelayan membukakan pintu untuk tuannya. Banka dan Sally pun melangkah memasuki rumah itu.

Sally takjub dengan apa yang ia lihat. Walaupun rumah kayu itu terkesan tua, tetapi barang-barang di dalamnya nampak masih bagus dan mewah. Ketika masuk ke dalam rumah, meja makan dengan dihiasi berbagai makanan langsung dapat terlihat oleh mata. Banyak varian ikan sebagai hidangan mereka saat itu. Mulai dari yang tidak pedas hingga yang pedas.

Sally yang sudah menahan lapar sendari di pesawat, tanpa sengaja mengeluarkan suara perutnya di depan Banka.

Kruekk ….

Banka tertawa, kemudian menatap wajah Sally yang memerah.

“Sayang lapar? Bunyi apa itu? Hahaha ….” Ledek Banka.

“Ih … sudah, ah. Aku mau mandi,” cetus Sally. Meninggalkan suaminya.

“Tunggu … ayo kita mandi bersama, Sayang,” ujar Banka. Mengejar langkah istrinya.

Pasangan baru itu pun melakukan hal yang ingin mereka lalukan. Mulai dari mandi bersama hingga melahap banyaknya hidangan.

Setelah merasa puas dengan santapannya. Banka mengajak Sally untuk berkeliling pulau, malam nanti. Sally pun bersemangat dengan tawaran itu. Namun, mengingat sang suami yang selalu saja menjahilinya, ia berkata. “Kalau memang nanti malam kita mau keliling pulau, jangan jahil ya! Awas saja kalau bikin aku lemas lagi! Pokoknya aku mau menikmati suasana dulu,” gerutu Sally. Menatap Banka di hadapannya.

Banka mengangguk, mengiyakan. “Iya, Sayang. Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi ada beberapa tantangan sih, hehehe ….” Ledeknya.

Mendengar itu Sally pun mencubit perut Banka. Pasangan itu menghabiskan waktu sore dengan bermain kejar-kejaran di dalam hingga di luar rumah.

Permainan itu berakhir dengan Sally yang mengaku menyerah dan tidak kuat berlari lagi. Banka sang suami menggendong Sally untuk sampai di kamar bulan madu mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status