Beranda / Rumah Tangga / Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi / Bab 115: Dua Tangan yang Tak Saling Lepas

Share

Bab 115: Dua Tangan yang Tak Saling Lepas

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-08 11:42:58

Ia mengulurkan tangan dengan gerak perlahan, tenang tapi mantap, seolah ingin memastikan bahwa niatnya tidak salah paham.

Di matanya, tak ada keraguan, hanya ketulusan yang dibalut batas-batas profesionalitas. Sikapnya rapi, sopan, nyaris seperti sedang menyambut rekan bisnis di ruang rapat, bukan seseorang yang pernah membuat jantungnya berdegup lebih dari sekali.

Hening mengambang selama sepuluh detik.

Di dalam kabin mobil yang sunyi, hanya terdengar desau napas dan dengung pendingin udara yang malas.

Mahesa menatap Nadira tanpa berkata-kata. Wajahnya datar, tapi matanya... matanya penuh riak yang tak tenang, seperti danau yang baru saja dilempar batu.

Akhirnya, ia pun mengulurkan tangan, menggenggam jemari Nadira yang juga kasar, keras, namun hangat.

Dua tangan keras kepala saling bertemu, dua dunia yang pernah runtuh namun kini coba dirakit ulang, sepotong demi sepotong.

“Senang bisa bekerja sama,” ucap Mahesa. Suaranya rendah, ny

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 150: Jejak di Kanvas

    Kalau hanya sekadar melukis, Nadira pasti sudah membiarkan semua orang tahu dengan bangga. Tapi ini bukan sekadar lukisan.Ini pemalsuan. Maka, semakin ia merendah, semakin aman dirinya tersembunyi di balik bayang.Cahaya lampu gantung yang temaram memantul lembut di permukaan lukisan itu, seolah menghidupkan setiap sapuan kuas yang terjaga dalam keheningan.Mahesa berdiri membisu di depannya, matanya membulat penuh kekaguman, nyaris tak berkedip. Ia tampak seperti anak kecil yang baru saja menemukan dunia rahasia dalam bingkai kayu tua.Bibirnya sempat membuka, ingin bertanya, tapi urung. Hanya sorot matanya yang berbicara, hati-hati, nyaris takut sentuhan akan membuat lukisan itu lenyap begitu saja.Ekspresi Mahesa itu—campuran antara kagum dan hormat—membuat Nadira tersenyum kecil. Ada rasa getir yang hangat di dadanya.Maka ia mulai berbicara, pelan, seolah membacakan kenangan dari halaman yang sudah lama terlipat.“Lukisan ini ak

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 149: Hadiah yang Tak Terucap

    Cahaya kuning temaram dari lampu gantung bergaya vintage menyelimuti ruangan, menyorot lembut ke wajah Mahesa yang bersandar santai di kursi kulit tua.Guratan halus di sudut matanya terlihat lebih ramah dari biasanya. Ia menatap Nadira yang sedang khusyuk memperhatikan sesuatu di hadapannya.“Suka banget, ya?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang ditelan udara hangat ruangan itu.Nadira tak menoleh. Suaranya terdengar ringan namun penuh kepastian, “Tentu aja.”Di pangkuannya, empat mangkuk keramik antik berjajar seperti permata mungil. Kilap permukaannya membiaskan cahaya, menciptakan semburat lembut di meja kayu jati.Nadira menyentuh satu per satu dengan hati-hati, seakan menyapa makhluk hidup yang sudah lama dirindukan.Di pelelangan, tadi siang, Nadira sempat menahan napas berkali-kali. Ia berusaha keras menyamarkan antusiasmenya, memasang wajah datar yang biasa ia kenakan dalam negosiasi keras.Tapi langkah kaki yang munc

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 148: Lebih Kuat dari yang Kau Kira

    Bahkan di masa-masa tergelap pasca operasi, saat dunia serasa mengecil menjadi lorong putih dan bau disinfektan, Mahesa tetap tak pernah menunjukkan air mata.Matanya kadang berkabut, tapi tak pernah pecah. Ia pria yang membakar perasaannya dalam diam, menahan duka seperti bara yang tak diberi angin, menyimpan segalanya di dalam hati.“Jangan salahin aku kalau nyetirnya lambat, ya,” katanya perlahan, memecah keheningan yang menempel erat di kabin mobil.Suaranya terdengar ringan, hampir seperti lelucon yang gugup. “Udah lama banget nggak bawa mobil. Harus adaptasi lagi.”Jalanan Jakarta yang mulai sepi di malam hari berkelebat di kaca depan, dihiasi cahaya lampu jalan yang redup dan bias merah dari rem kendaraan.Nadira menoleh, separuh terkejut, separuh tak percaya dengan nada suaranya yang mencoba terdengar santai.Bibirnya melengkung kecil, nyaris tak terlihat. “Santai aja. Nggak buru-buru kok,” balasnya, pelan namun hangat.Hening

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 147: Luka yang Tak Terucap

    Dulu, Lukas memang sempat terpikat oleh pesona Nadira. Ia pernah menyusun rencana kecil di benaknya, bayangan-bayangan tentang obrolan pertama, kopi pertama, mungkin ciuman pertama.Tapi semua itu hancur tanpa sempat tumbuh, saat ia tahu satu kenyataan kecil namun fatal: Nadira telah mencintai Mahesa selama sepuluh tahun.Sepuluh tahun.Betapa panjangnya sebuah dekade, dan betapa sedikitnya seseorang memilikinya dalam hidup. Nadira menyerahkan seluruh musim semi hidupnya demi cinta yang diam, cinta yang tidak berbalas.Lukas, yang awalnya hanya kagum, tiba-tiba merasa kecil. Ia tahu, mencoba mencabut nama Mahesa dari hati Nadira sama mustahilnya seperti memindahkan Gunung Merapi.Ia mundur, bukan karena tidak cukup cinta, tapi karena sadar: hatinya bukan medan perang.Langit sore berwarna jingga tua, dan bayangan gedung-gedung perkantoran menjulur panjang di aspal.Pukul enam tepat, sebuah mobil hitam mengilat meluncur pelan dan berhe

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 146: Harga yang Tak Terucap

    Sekarang, ketika Nadira mengenang semuanya kembali, rasa sesal itu datang seperti ombak diam-diam yang menggulung tenang, lalu menghantam tanpa ampun.Ia ingin menampar dirinya dua kali, keras, agar sadar sepenuhnya: Mahesa tidak akan pernah mencintainya, tidak peduli sekeras apa pun ia bertahan atau seindah apa pun kenangan yang ingin ia hidupkan kembali.Cinta sepihak itu, nyata-nyata hanya miliknya seorang. Mimpi itu harus dihentikan, atau ia akan makin tenggelam di dalamnya.Tapi sekarang, tiba-tiba pria itu ingin mencicipi masakannya? Sekonyong-konyong begitu saja? Nadira nyaris tertawa, tapi yang keluar dari bibirnya hanya senyum sinis yang membeku di sudut bibir.Apa Mahesa tidak takut kalau ia menyisipkan racun kecil di dalam bumbunya?Ia menoleh pada Danu yang berdiri setengah bingung, lalu berkata, “Suruh saja mereka pergi ke Dapoer Kenanga. Bilang ke Teguh, cukup dua lauk saja. Dan siapkan cek satu miliar rupiah dari rekening pribadiku.”

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 145: Lidah Paling Rewel di Jakarta

    Danu menyunggingkan senyum tipis, nyaris tak kasat mata. “Bu Nadira tahu Bapak sibuk, terlalu sibuk sampai tak sempat mendidik anak. Makanya, beliau bantu carikan tempat... tempat yang bisa mendidik dengan benar.”Ucapannya jatuh seperti hujan gerimis yang tiba-tiba deras, menampar pipi Susilo dengan dingin. Raut wajah pria itu mengeras seketika, seperti tanah retak yang tiba-tiba tersiram air.Meskipun Susilo dikenal punya muka tebal, ada hal-hal yang tetap bisa menampar harga diri.Tatapannya berubah tajam, sedingin ujung belati yang baru keluar dari sarungnya. Tapi ia tidak meledak.Belum. Rahangnya menegang, dagunya terangkat sedikit, seolah mencoba mempertahankan martabat yang tersisa.Ia menyunggingkan senyum yang terlalu kaku untuk disebut tulus.“Pak Maulana,” katanya, nadanya dipaksa tenang, namun ada bara yang menyala di dalamnya, “bagaimanapun juga, anak tetaplah anak. Sekalipun Bima brengsek, dia satu-satunya anak saya. Tiga gene

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status