“Aku bukan nanya kamu. Tapi orang di belakang kamu,” ujar Nadira pelan, nyaris seperti gumaman, namun tajam dan menusuk.
Suasana di rooftop gedung tua itu mendadak menegang. Lampu-lampu kota Jakarta berkerlip di kejauhan, sementara angin malam yang lembap berembus makin kencang, membawa aroma beton basah dan debu yang mengendap lama.
Mahesa sempat mengernyit. Tapi sebelum sempat bertanya, angin di belakangnya terasa berdesing. Insting lamanya menyala.
Ia memutar badan dan menunduk dalam satu gerakan cepat, menghindari pukulan yang meluncur nyaris menyentuh pelipisnya.
Tinju berikutnya datang tanpa ampun. Mahesa menangkis, lengannya bertubrukan dengan tangan lawan.
Bunyi “duk!” menggema, berat dan padat, seperti suara kayu tua dipukul palu.
Dua pria itu kini berdiri saling berhadapan. Pandangan mereka saling mengukur, seolah mencoba menebak kekuatan dan kelemahan masing-masing hanya dari cara berdiri dan napas yang tertahan.
Lalu, tanp
Mata Tina membelalak, tak percaya. Pandangannya menajam, seakan butuh waktu untuk mencerna pemandangan ganjil yang terbentang di depannya.Lampu jalan yang muram menyorot tubuh-tubuh lunglai di tanah, berserakan seperti boneka rusak yang dibuang asal.Salah satu dari preman itu menjerit pelan, tangannya terkulai dalam sudut yang mustahil, seperti ranting patah yang nyaris putus.Di sudut lain, dua orang terhuyung dengan baju yang basah oleh darah, merah tua yang menyerap malam.Tina bergidik. Dingin bukan berasal dari angin malam, tapi dari rasa ngeri yang merayap perlahan dari ujung tulang ekornya, naik sampai tengkuk.Ia menelan ludah dengan susah payah, suaranya tercekat seperti benang yang ditarik paksa."I-it... itu kamu yang...?" suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan gentayangan.Nadira hanya mengangguk pelan. Gerakan kecil, tapi menggema seperti dentuman palu di dada Tina."Iya. Aku," ucapnya, tenang. Seolah bar
Mata Tina membelalak, membeku dalam sekejap. Cahaya di ruangan itu redup, hanya temaram lampu meja yang memantul samar di dinding krem dan tirai beludru.Namun tatapan Nadira, yang dingin seperti logam membekukan udara, mampu menghapus kehangatan apapun yang tersisa.Tina merasa seolah tubuhnya diselimuti kabut es, dan untuk pertama kalinya, rasa takut menyelubunginya sampai ke sumsum.Suara Nadira memecah keheningan, jernih dan setajam ujung belati yang diseret perlahan di permukaan kaca.Tak keras, tapi menikam. Di telinga Tina, nada itu terdengar seperti gelegar petir yang menyambar tanpa aba-aba, menghantam ulu hatinya.Ia bergidik, bukan hanya karena takut, tapi karena nalurinya tahu—Nadira bukan sedang menggertak.“Kamu nggak bisa pukul aku...” Tina nyaris berbisik, suaranya parau dan putus asa.Dengan gerakan panik, ia menggeleng keras. Rambutnya tercabut dari akar saat Nadira menariknya tanpa ampun.Tubuh Tina terpelant
Begitu kabar tentang Min yang diblokir dari semua platform menyentuh telinganya, Tina langsung menggenggam ponsel dengan jemari gemetar, lalu menekan nomor Mia tanpa ragu.Berkali-kali panggilannya berakhir di nada tunggu tanpa jawaban. Wajah Tina tampak tegang, matanya menyorotkan keresahan yang tak bisa disembunyikan.Butuh waktu hingga langit sore berpendar keemasan, barulah ponselnya bergetar kembali.Dari seberang, suara musik dentum keras seperti memukul telinga. Gelak tawa, denting gelas, dan irama elektronik berdentum gila.Lalu terdengar suara Mia, nyaring, penuh nada sinis, seperti percikan bara kecil yang disengaja disulut ke bara luka lama.“Ada apa, Mbak Tina dari keluarga Wulandaru?” katanya, menekankan kata "Mbak" dengan ketus yang tak bisa disalahartikan.Nada itu seperti paku yang menancap perlahan ke benak Tina. Dulu Mia memanggilnya "Nona Wulandaru", dengan suara seperti sutra yang takut koyak.Sekarang, tak ada hor
Nadira hanya mengangguk pelan, lalu meletakkan kembali ponsel ke pangkuan Tara. Gerakannya lembut, nyaris tanpa suara, seperti seseorang yang terlalu lelah untuk berkata-kata.Ia bersandar ke jok mobil, tubuhnya perlahan tenggelam dalam kursi empuk yang menyimpan kehangatan matahari sore.Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, tapi ada bayangan letih yang mengambang di balik kelopak matanya yang terpejam.Tara menatapnya sesaat, memperhatikan garis wajah Nadira yang tak berubah banyak sejak dulu. “Capek, ya?” bisiknya lembut, nyaris ragu.“Mau sandarin kepala ke bahuku?”Tak ada jawaban. Tapi Nadira membuka sedikit matanya, lalu dengan gerakan tenang, menyandarkan kepala di bahu Tara.Aroma samar dari parfum yang biasa dipakainya menyeruak pelan, berpadu dengan aroma kulit Tara yang mengingatkannya pada rumah—bukan tempat, tapi rasa.Tangannya bergerak pelan, mencari lengan Tara, dan menggenggamnya. Genggaman yang familiar.Genggam
“Tentu aja. Udah lama banget kita nggak bareng. Aku harus manfaatin momen ini.”Tanpa ragu, Tara meraih leher Nadira dan memeluknya. Gerakannya ringan, seolah memeluk sahabat lama yang baru ditemui lagi setelah bertahun-tahun.Aroma parfum manis samar tercium dari rambut Nadira, bercampur dengan angin malam yang lembap.Meski ekspresi Nadira datar, matanya tak menampik kehadiran Tara. Tak ada ketegangan, hanya sisa keakraban yang tak lekang waktu.Keduanya berdiri dekat di antara deretan mobil dan cahaya temaram dari lampu taman yang menggantung rendah di atas trotoar berbatu.Dari seberang jalan, Mahesa berdiri membatu. Tangan kanannya mengepal kuat, sekuat usahanya menahan emosi yang sudah membuncah.Rahangnya mengencang, matanya berkilat merah, seperti bara yang nyaris menyala.“Lepasin dia,” desisnya, nyaris tak terdengar, namun tajam seperti ujung pecahan kaca.Nadira dan Tara spontan menoleh. Tara mendongak, menatap Mahes
“Aku bukan nanya kamu. Tapi orang di belakang kamu,” ujar Nadira pelan, nyaris seperti gumaman, namun tajam dan menusuk.Suasana di rooftop gedung tua itu mendadak menegang. Lampu-lampu kota Jakarta berkerlip di kejauhan, sementara angin malam yang lembap berembus makin kencang, membawa aroma beton basah dan debu yang mengendap lama.Mahesa sempat mengernyit. Tapi sebelum sempat bertanya, angin di belakangnya terasa berdesing. Insting lamanya menyala.Ia memutar badan dan menunduk dalam satu gerakan cepat, menghindari pukulan yang meluncur nyaris menyentuh pelipisnya.Tinju berikutnya datang tanpa ampun. Mahesa menangkis, lengannya bertubrukan dengan tangan lawan.Bunyi “duk!” menggema, berat dan padat, seperti suara kayu tua dipukul palu.Dua pria itu kini berdiri saling berhadapan. Pandangan mereka saling mengukur, seolah mencoba menebak kekuatan dan kelemahan masing-masing hanya dari cara berdiri dan napas yang tertahan.Lalu, tanp