“Terima kasih atas doanya,” ucap Mahesa sambil menyodorkan buket bunga ke arah Nadira. Tangannya sedikit gemetar, seperti menanggung harap yang tak ingin terlalu tampak.
“Nona Wulandaru, tolong terima ini.”
Nadira menatap buket itu sejenak, lalu memiringkan kepala dengan senyum setengah mengejek. “Kalau aku terima, bukan berarti aku langsung nerima kamu juga, kan?”
Ucapannya terdengar ringan, tapi tajam seperti kelopak mawar yang menyembunyikan duri. Mahesa hanya tersenyum masam, tak ingin membalas dengan kata.
“Tentu saja tidak,” jawabnya, tenang tapi jelas. Ia tahu benar, seikat bunga tak bisa menghapus jejak langkah yang dulu sempat salah arah.
Tanpa banyak basa-basi, Nadira mengambil buket itu dengan gerakan mantap. Ada kesan percaya diri yang tak dibuat-buat, khas Nadira yang selama ini tak pernah suka basa-basi emosional.
Mahesa menatapnya, dan senyum kecil mulai merayapi bibirnya. Ekspresinya yang biasanya datar kini menghangat, seper
Entah Mahesa benar-benar gugup atau hanya sedang memainkan perannya dengan lihai, yang jelas telapak tangannya lembap, sedikit gemetar.Tapi bukan hanya itu yang Nadira rasakan. Jemarinya yang tergenggam hangat, bergetar halus seperti menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar gugup.Namun ia tidak melepaskan diri, tidak juga menegur. Ia hanya membiarkan, pasrah pada aliran detik yang seolah menuntun langkah mereka di tengah taman bunga yang sedang bermekaran.Kelopak-kelopak melayang turun dari langit, lembut dan lamban, seperti salju musim semi. Mereka berdua berjalan melewati jalan setapak batu yang licin oleh embun pagi, diapit deretan bunga azalea dan mawar merah muda yang menguarkan wangi manis menusuk hidung.Taman itu seperti dunia lain, seolah mereka bukan lagi bagian dari kota, melainkan dua tokoh dalam kisah yang ditulis angin dan cahaya matahari.Riuh tepuk tangan terdengar dari arah alun-alun. Beberapa anak kecil berlarian sambil me
Mahesa menatap Nadira lekat-lekat, bukan karena merasa tersinggung oleh keangkuhan perempuan itu, melainkan karena ia terperangah oleh keyakinan yang begitu tenang dan nyaris tak tergoyahkan.Seolah semua keputusan sudah matang tersimpan di benaknya, siap dilontarkan seperti panah dari busur yang sudah lama ditarik.Nada suara Nadira tak meninggi, justru begitu datar, bahkan terlalu datar. Seperti membacakan laporan cuaca, bukan mengemukakan strategi kreatif yang bisa menentukan arah masa depan dua brand perhiasan raksasa.Tapi justru karena itulah Mahesa tercengang. Di balik suara datarnya, terselip kepercayaan diri yang tak dibuat-buat.Ia tahu, Wulandaru Jewelry memang sudah banyak diguncang badai. Sejak kepergian Leo dan Ny. Wulandaru, lalu kemunculan Rafka yang tampaknya lebih fasih berbicara soal strategi korporat ketimbang seni desain, perusahaan itu seperti kehilangan sentuhan jiwanya.Namun begitu, namanya masih bergema kuat di kalangan pe
“Terima kasih atas doanya,” ucap Mahesa sambil menyodorkan buket bunga ke arah Nadira. Tangannya sedikit gemetar, seperti menanggung harap yang tak ingin terlalu tampak.“Nona Wulandaru, tolong terima ini.”Nadira menatap buket itu sejenak, lalu memiringkan kepala dengan senyum setengah mengejek. “Kalau aku terima, bukan berarti aku langsung nerima kamu juga, kan?”Ucapannya terdengar ringan, tapi tajam seperti kelopak mawar yang menyembunyikan duri. Mahesa hanya tersenyum masam, tak ingin membalas dengan kata.“Tentu saja tidak,” jawabnya, tenang tapi jelas. Ia tahu benar, seikat bunga tak bisa menghapus jejak langkah yang dulu sempat salah arah.Tanpa banyak basa-basi, Nadira mengambil buket itu dengan gerakan mantap. Ada kesan percaya diri yang tak dibuat-buat, khas Nadira yang selama ini tak pernah suka basa-basi emosional.Mahesa menatapnya, dan senyum kecil mulai merayapi bibirnya. Ekspresinya yang biasanya datar kini menghangat, seper
Danu dan Rafael langsung menunduk serempak, ekspresi mereka berubah seketika. Gaya sok santai yang tadi sempat mereka pertontonkan lenyap begitu saja, tergantikan oleh gerakan cekatan penuh hormat saat mereka membuka pintu mobil.Nadira dan Mahesa melangkah masuk, angin sore menyusup sejenak ke dalam kabin sebelum pintu tertutup kembali.Begitu duduk, Nadira dan Mahesa saling bertukar pandang. Hanya sekejap, tapi cukup untuk menangkap senyum samar di wajah masing-masing.Ada semacam percikan kesepahaman yang tak butuh kata, seolah keduanya sedang membaca kalimat yang sama di halaman yang sama.Mobil melaju melewati jalanan ibu kota yang mulai diterpa warna emas senja. Ketika kendaraan itu berhenti di depan rumah sakit, Mahesa tidak serta-merta turun.Ia justru merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah tiket kecil bergambar mawar merah muda yang dicetak dalam detail anggun.Dengan gerakan ringan tapi penuh niat, ia menyodorkan tiket itu k
"Enggak cuma ayam, dia juga takut bebek. Pokoknya semua yang punya paruh runcing pasti dia hindarin," ucap Mahesa santai, dengan senyum jahil yang menghiasi wajahnya.Rafael spontan menoleh dan menatapnya tajam. "Lo tuh ya, mulut enggak pernah tahu kapan harus berhenti."Nada protesnya tajam, tapi tak ada amarah sungguhan. Mereka seperti dua anak kecil yang tak pernah selesai saling mengolok.Di sudut ruangan, Nadira mengamati mereka dengan senyum tipis yang menggantung, ekspresinya sulit ditebak.Ada kelucuan di sana, tapi juga secercah sesuatu yang lebih nakal, seolah dalam pikirannya sedang terbentuk sebuah rencana kecil, iseng dan belum diumumkan.Mereka bertiga keluar dari apartemen. Udara siang terasa hangat di lorong, sinar matahari menyusup dari jendela kecil yang menghadap ke taman kota di bawah.Lift hampir menutup saat Rafael berlari kecil dan menahannya dengan cepat, membuat pintu kembali menganga.Begitu pintu terbuka sep
Begitu sendok menyentuh bibir dan suapan pertama masuk ke mulut, keheningan seketika pecah oleh desahan pelan yang hampir serempak.Aroma harum dari uap kaldu yang masih mengepul menguar ke seluruh penjuru dapur, menghangatkan udara malam yang mulai lembab.Nadira duduk di ujung meja, tersenyum kecil tanpa berkata apa-apa, hanya memperhatikan ekspresi mereka satu per satu, seolah menunggu pengakuan tanpa perlu diminta.Bahkan Mahesa, yang biasanya kalem dan sukar dibaca, terhenti sejenak. Sendoknya melayang di udara, lalu perlahan-lahan turun kembali ke mangkuk.Matanya menyipit, menatap isinya seolah baru saja menemukan harta karun yang terselip di dasar laut. Ia mengangguk pelan, nyaris tak sadar, seperti sedang berdialog diam-diam dengan kenikmatan yang tak bisa dijelaskan.Rasa sup itu bukan sekadar enak. Ada kedalaman yang tidak bisa ditakar dengan lidah saja. Seolah-olah Nadira berhasil menyelipkan kenangan masa kecil, senyap hujan sore hari,