“Ya ampun… bidadari dari mana ini? Kok bisa secantik ini sih?”
Pikiran Lukas kacau. Matanya membelalak seperti melihat pemandangan surgawi yang tiba-tiba turun ke bumi.
Cahaya sore yang menimpa rambut Nadira membuat helaian hitam itu tampak berkilau kemerahan. Ia seperti potongan adegan dari film, dengan langkah ringan dan senyum kecil yang justru membuat segalanya terasa makin tak nyata.
Sementara itu, Mahesa menatap Nadira dengan pandangan yang jauh lebih tenang, tapi sorot matanya mengandung pertanyaan tak terucap.
Dahi laki-laki itu mengerut pelan.
“Kenapa dia kelihatan kurus banget sekarang… kayak tinggal tulang.”
Kalimat itu hanya bergema dalam batinnya, tapi cara ia memandangi Nadira, seperti sedang menyusun potongan-potongan cerita yang hilang.
Nadira berdiri beberapa langkah dari mereka, matanya menyapu dua sosok yang bersandar di pintu mobil.
Keduanya seperti sedang berusaha tampil santai, tapi malah terlihat seperti
Nadira mengangguk pelan, gerakannya nyaris tak terdengar, seolah menyatu dengan keheningan ruang makan yang baru saja diselimuti kehangatan sarapan pagi.Lalu dengan suara lembut namun tegas, ia memberi instruksi, "Danu, tolong atur semuanya. Siapkan juga orang untuk menemani Jais ke sana."Danu, seperti biasa, sigap. Tak ada keraguan di wajahnya, hanya anggukan cepat yang memberi kesan segala sudah terencana dalam kepalanya."Siap," sahutnya pendek, mantap.Jais, yang duduk di sisi kanan meja makan, mendongak sekilas, lalu kembali menunduk menatap piringnya.Sentuhan sendoknya kini lebih tenang, tak lagi tergesa. Wajahnya datar, tapi sorot matanya mengabarkan sesuatu yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan: semacam kelegaan yang datang terlalu dini.Selesai makan, aroma kopi yang masih menggantung di udara pun mulai tersapu langkah kaki mereka yang bersiap pergi.Nadira mengenakan mantel panjang berwarna krem, rambutnya disanggul rapi
Yang paling menusuk, bahkan lebih dalam dari pisau di punggung, adalah kenyataan bahwa Edison dan Anastasia, orang tua Aidan sekaligus mertua Tina, justru menerima pengkhianatan itu dengan wajah lapang.Tanpa rasa bersalah, mereka bahkan berharap Tina bisa menerima ibu dan anak itu dengan dada yang seolah tak pernah mengenal luka.Semua seolah menari di atas keping hati Tina yang remuk, tanpa sedikit pun jeda untuknya bernapas.Baru sehari ia resmi menjadi istri Aidan, dan sekarang... ia langsung disodori peran baru yang tak pernah ia pilih: ibu tiri dari anak hasil perselingkuhan suaminya.Itu bukan hanya menyakitkan. Itu—kelewatan.Rafka datang dengan wajah diselimuti kemarahan. Langkah-langkahnya menghentak teras rumah keluarga Satriya, menuntut penjelasan.Tapi yang ia terima hanyalah sikap dingin, bahkan nyaris pengusiran. Tak ada sambutan. Tak ada penjelasan.Hanya keheningan mencemooh yang menyambutnya di antara pilar-
Langit senja menggantung berat di luar jendela, menguarkan warna jingga kusam seperti luka lama yang belum mengering.Di ruang keluarga bergaya kolonial itu, Jais duduk mematung di kursi kayu berukir, seolah tubuhnya tak lagi milik sendiri.Sorot matanya menabrak bayang-bayang masa lalu, sementara suara Nadira masih menggema dalam kepalanya."Waktu itu juga Leo bertemu dengan Riana," gumamnya, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua memang sudah terjadi.Sementara itu, di sisi lain kehidupan yang tak terlihat oleh banyak mata, Rafka dan Elvano mulai bermain kotor.Gerak mereka licik, licin seperti ular berbisa. Tapi mereka lupa, Riana bukan wanita yang mudah dijatuhkan.Ia perempuan dengan mata tajam seperti burung pemangsa, bisa membaca niat buruk dari sejauh langkah pertama.Mereka mencoba memanipulasi keadaan, menyebar jaring-jaring fitnah dan jebakan halus, berharap Riana terperangkap.Tapi Riana, dengan ketena
Desas-desus itu tak lagi sekadar bisik lirih di antara pagar bambu dan warung kopi pinggir jalan. Di kampung kecil yang lembab dan muram itu, kabar miring menyebar seperti asap dapur di pagi hari, menembus setiap celah rumah, bergelayut di udara.Tatapan orang-orang berubah tajam, bisikan jadi tawa getir, dan tanpa ampun, keluarganya menutup pintu. Ia diusir, diabaikan, ditanggalkan dari akar.Ia membesarkan anaknya dalam kesepian yang sunyi, di rumah kayu mungil di ujung pematang. Dinding rumah itu berlapis tipis embun, dan suara kodok malam menjadi teman setia.Tak ada tangan yang membantunya saat demam datang menggigil. Tak ada bahu tempat bersandar saat malam membawa batuk panjang yang menggema dalam dada.Tapi ia bertahan, dan anaknya tumbuh di sisi ranjang reyot itu, belajar membaca dunia lewat mata ibunya yang pucat.Merasa bersalah, Kakek mulai mencarinya. Ada jejak sesal yang menggerogoti hatinya setiap malam, membuat tidurnya gelisah.
Angin sore dari celah jendela kayu tua membawa aroma tanah basah dan kemenyan yang nyaris pudar, menyusup pelan ke dalam ruangan berdebu itu.Di bawah temaram cahaya lampu gantung kuno, Nadira duduk bersila di depan Jais, kakeknya, yang tengah menatapnya dengan sorot mata lembut namun dalam, seperti sumur yang menyimpan terlalu banyak rahasia.Ia menggeleng pelan, seolah menyapu angin yang mengendap di pikirannya. Ada nada kecewa dalam gerakannya."Ilmu dan tradisi keluarga Wulandaru ini sudah Kakek wariskan ke ayahmu, dan sekarang diteruskan ke kamu," ujar Jais dengan suara serak, seakan setiap katanya harus melewati pintu yang penuh kenangan."Kakek lega tahu warisan ini ada di tangan yang tepat. Kalau tidak, nanti kalau waktuku tiba, Kakek bakal malu menghadap leluhur."Nadira menunduk. Jari-jarinya yang kecil meremas ujung kain jariknya, gemetar halus.“Tapi kemampuanku jauh di bawah Ayah... apalagi Kakek,” ucapnya lirih, nyaris seperti
Lukas menatap Mahesa dengan ragu, lalu bertanya pelan, "Eh, lo pernah denger nama Jais si Pemahat?"Mahesa mendengus, bibirnya melengkung sedikit ke bawah, seolah tak percaya harus menjawab pertanyaan seperti itu."Di dunia batu permata, anak kecil pun tahu nama itu," ucapnya datar, tapi tegas, seperti menyebut fakta tak terbantahkan.Lukas langsung mengalihkan pandangan, menelan rasa malu yang tiba-tiba naik ke tenggorokan. "Oke deh, gue aja yang kudet," gumamnya sambil menggaruk tengkuk, mencoba menutupi ketidaktahuannya dengan senyum kecut.Sama seperti Mardhiyah, nama Jais si Pemahat sudah lama tak terdengar di dunia seni ukir. Ia seolah menghilang, memilih kesunyian ketimbang sorot lampu panggung.Tapi justru dalam diam itulah, kisah tentang keahliannya tumbuh jadi legenda. Orang-orang mengenalnya lewat bisik-bisik para kolektor, lewat pahatan halus yang tak tertandingi, atau sekadar cerita samar tentang seorang tua yang bisa membuat batu berb