“Aku nggak paham…” Veronika menggeleng pelan, matanya menatap kosong ke luar jendela mobil yang meluncur di bawah cahaya sore yang menyala keemasan.
“Kenapa harus mengorbankan begitu banyak hanya demi status? Apa gunanya pernikahan seperti itu?”
Udara di dalam kabin terasa hangat, dibungkus aroma samar parfum vanila yang keluar dari lubang AC.
Nadira tak langsung menjawab. Ia menatap jalanan dengan mata setengah sayu, seperti sedang menggali ingatan yang berat di balik kata-kata Veronika.
“Setiap perempuan beda-beda,” akhirnya ia berkata, suaranya nyaris seperti bisikan. “Ada yang kejar harta, ada yang kejar hati. Tapi… cinta sejati jauh lebih langka daripada harta dan ketenaran.”
Ia menoleh, wajahnya tenang tapi matanya mengandung kilau pertanyaan. “Kalau kamu sendiri, kamu pilih yang mana?”
Veronika menarik napas, lalu menunduk sebentar sebelum menjawab. “Harta bisa aku usahakan sendiri. Tapi suami yang setia… kalau nggak bisa dapat itu, l
Langit senja menggantung berat di luar jendela, menguarkan warna jingga kusam seperti luka lama yang belum mengering.Di ruang keluarga bergaya kolonial itu, Jais duduk mematung di kursi kayu berukir, seolah tubuhnya tak lagi milik sendiri.Sorot matanya menabrak bayang-bayang masa lalu, sementara suara Nadira masih menggema dalam kepalanya."Waktu itu juga Leo bertemu dengan Riana," gumamnya, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua memang sudah terjadi.Sementara itu, di sisi lain kehidupan yang tak terlihat oleh banyak mata, Rafka dan Elvano mulai bermain kotor.Gerak mereka licik, licin seperti ular berbisa. Tapi mereka lupa, Riana bukan wanita yang mudah dijatuhkan.Ia perempuan dengan mata tajam seperti burung pemangsa, bisa membaca niat buruk dari sejauh langkah pertama.Mereka mencoba memanipulasi keadaan, menyebar jaring-jaring fitnah dan jebakan halus, berharap Riana terperangkap.Tapi Riana, dengan ketena
Desas-desus itu tak lagi sekadar bisik lirih di antara pagar bambu dan warung kopi pinggir jalan. Di kampung kecil yang lembab dan muram itu, kabar miring menyebar seperti asap dapur di pagi hari, menembus setiap celah rumah, bergelayut di udara.Tatapan orang-orang berubah tajam, bisikan jadi tawa getir, dan tanpa ampun, keluarganya menutup pintu. Ia diusir, diabaikan, ditanggalkan dari akar.Ia membesarkan anaknya dalam kesepian yang sunyi, di rumah kayu mungil di ujung pematang. Dinding rumah itu berlapis tipis embun, dan suara kodok malam menjadi teman setia.Tak ada tangan yang membantunya saat demam datang menggigil. Tak ada bahu tempat bersandar saat malam membawa batuk panjang yang menggema dalam dada.Tapi ia bertahan, dan anaknya tumbuh di sisi ranjang reyot itu, belajar membaca dunia lewat mata ibunya yang pucat.Merasa bersalah, Kakek mulai mencarinya. Ada jejak sesal yang menggerogoti hatinya setiap malam, membuat tidurnya gelisah.
Angin sore dari celah jendela kayu tua membawa aroma tanah basah dan kemenyan yang nyaris pudar, menyusup pelan ke dalam ruangan berdebu itu.Di bawah temaram cahaya lampu gantung kuno, Nadira duduk bersila di depan Jais, kakeknya, yang tengah menatapnya dengan sorot mata lembut namun dalam, seperti sumur yang menyimpan terlalu banyak rahasia.Ia menggeleng pelan, seolah menyapu angin yang mengendap di pikirannya. Ada nada kecewa dalam gerakannya."Ilmu dan tradisi keluarga Wulandaru ini sudah Kakek wariskan ke ayahmu, dan sekarang diteruskan ke kamu," ujar Jais dengan suara serak, seakan setiap katanya harus melewati pintu yang penuh kenangan."Kakek lega tahu warisan ini ada di tangan yang tepat. Kalau tidak, nanti kalau waktuku tiba, Kakek bakal malu menghadap leluhur."Nadira menunduk. Jari-jarinya yang kecil meremas ujung kain jariknya, gemetar halus.“Tapi kemampuanku jauh di bawah Ayah... apalagi Kakek,” ucapnya lirih, nyaris seperti
Lukas menatap Mahesa dengan ragu, lalu bertanya pelan, "Eh, lo pernah denger nama Jais si Pemahat?"Mahesa mendengus, bibirnya melengkung sedikit ke bawah, seolah tak percaya harus menjawab pertanyaan seperti itu."Di dunia batu permata, anak kecil pun tahu nama itu," ucapnya datar, tapi tegas, seperti menyebut fakta tak terbantahkan.Lukas langsung mengalihkan pandangan, menelan rasa malu yang tiba-tiba naik ke tenggorokan. "Oke deh, gue aja yang kudet," gumamnya sambil menggaruk tengkuk, mencoba menutupi ketidaktahuannya dengan senyum kecut.Sama seperti Mardhiyah, nama Jais si Pemahat sudah lama tak terdengar di dunia seni ukir. Ia seolah menghilang, memilih kesunyian ketimbang sorot lampu panggung.Tapi justru dalam diam itulah, kisah tentang keahliannya tumbuh jadi legenda. Orang-orang mengenalnya lewat bisik-bisik para kolektor, lewat pahatan halus yang tak tertandingi, atau sekadar cerita samar tentang seorang tua yang bisa membuat batu berb
"Eh, jangan tendang dong," keluh Danu sambil tertawa kecil, berusaha menahan kaki Veronika yang mengayun liar.Veronika, separuh sadar, tergeletak miring di atas kasur putih berseprai kusut. Wajahnya bersemu merah, seperti tersaput warna anggur muda, dan matanya yang setengah terpejam terlihat sayu tapi berkilau.Nafasnya sedikit berat, hangat dengan aroma manis minuman keras yang masih tertinggal di lidah.Danu menatapnya lekat-lekat, senyumnya tak bisa disembunyikan. Pipi Veronika, bulat dan montok, terlihat begitu menggoda untuk disentuh.Ia tak kuasa menahan godaan dan mencubitnya pelan, jari-jarinya menyentuh kulit yang selembut tahu sutra.Namun, bukannya lemah seperti yang ia kira, Veronika malah spontan menarik tangan Danu dan dengan kekuatan mengejutkan, menyeret tubuh laki-laki itu mendekat.Danu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya condong ke depan, dan dalam sepersekian detik, bibir mereka bersentuhan.Singkat, panas, dan tak
“Eh, saya bilang saya nggak mau masuk...!”Suara Jais pecah seperti pecahan kaca, panik dan enggan, saat tubuh renta itu digotong perlahan melewati gerbang besi berkarat Rose Garden.Langkah-langkah Danu dan Tama mantap, namun tak sepenuhnya lembut, dan Jais meronta seperti bocah yang dipaksa mandi pagi-pagi buta.“Tolooong!” teriaknya lagi, seperti aktor sandiwara yang tak pernah kehilangan panggung.Tama nyaris tersungkur menahan tawa. “Jais makin manja saja,” ujarnya sambil melirik Nadira, senyumnya jahil, penuh kenakalan khas kakak yang tahu kelemahan adiknya.“Kamu persis seperti dia. Maklum, kamu dibesarkan sama dia.”Tangan Tama yang hangat menyentuh lembut ujung hidung Nadira. Gadis itu merespons dengan cemberut manja, matanya memicing, tapi senyumnya tak bisa ia sembunyikan.“Saya ini jauh lebih nurut daripada Kakek,” katanya, setengah merajuk, setengah bangga.Tama mengangkat alis, separuh geli, separuh ingin kabur da