Pernikahan yang nyaris berubah jadi sandiwara itu resmi berakhir di tengah hujan deras yang menampar-nampar wajah Jakarta.
Kilat menyambar di langit kelabu, memantulkan cahaya yang berkedip samar di genangan air di halaman hotel bintang lima itu, seolah alam pun enggan merestui persatuan dua keluarga yang bertolak belakang.
Para tamu yang awalnya menanti kisah cinta bak dongeng, justru disuguhi drama yang lebih menarik dari apa pun yang pernah mereka saksikan di layar kaca.
Gaun-gaun pesta basah oleh hujan, sepatu hak tinggi tenggelam dalam lumpur, dan bisik-bisik tajam menggema di antara bunyi petir.
Mereka tidak pulang dengan hati yang hangat, tapi dengan cerita yang akan terus mereka bawa ke meja arisan, jamuan makan malam, atau bahkan dalam bisikan di belakang pintu toilet hotel.
Keluarga Pradana berdiri di antara puing-puing pesta itu tanpa rasa malu sedikit pun. Dalam balutan jas mahal dan sikap penuh gengsi, mereka menyaksikan kegagalan itu
Sebagai mantan istri Mahesa, Nadira tahu kehadirannya hari ini sebetulnya sudah lebih dari cukup. Ikatan mereka telah lama putus, tapi tetap saja, ia datang.Bukan karena nostalgia, bukan pula karena masih menyimpan harapan. Lebih dari itu, ada rasa tanggung jawab yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang membawanya kembali, bahkan ketika ia sudah pergi begitu jauh.Di dalam mobil SUV hitam yang melaju menembus rintik hujan sore, Nadira duduk di kursi belakang dengan tenang.Aroma kulit dari interior mobil berpadu dengan wangi samar parfum Maura yang duduk di sampingnya, sementara di depan, Oman sibuk menengok ke belakang, memelototi Nadira dengan mata penuh penasaran.“Nadira, kemana saja sih selama ini?” suara Oman nyaring, mencuat seperti peluru yang tak sabar ditembakkan.“Kami semua nyariin kamu! Mahesa sampai minta CCTV se-Jabodetabek lho, beneran!”Ia belum sempat menarik napas ketika pertanyaan berikutnya sudah m
Pernikahan yang nyaris berubah jadi sandiwara itu resmi berakhir di tengah hujan deras yang menampar-nampar wajah Jakarta.Kilat menyambar di langit kelabu, memantulkan cahaya yang berkedip samar di genangan air di halaman hotel bintang lima itu, seolah alam pun enggan merestui persatuan dua keluarga yang bertolak belakang.Para tamu yang awalnya menanti kisah cinta bak dongeng, justru disuguhi drama yang lebih menarik dari apa pun yang pernah mereka saksikan di layar kaca.Gaun-gaun pesta basah oleh hujan, sepatu hak tinggi tenggelam dalam lumpur, dan bisik-bisik tajam menggema di antara bunyi petir.Mereka tidak pulang dengan hati yang hangat, tapi dengan cerita yang akan terus mereka bawa ke meja arisan, jamuan makan malam, atau bahkan dalam bisikan di belakang pintu toilet hotel.Keluarga Pradana berdiri di antara puing-puing pesta itu tanpa rasa malu sedikit pun. Dalam balutan jas mahal dan sikap penuh gengsi, mereka menyaksikan kegagalan itu
Langit Jakarta berwarna kelabu, seperti ikut berduka atas hari yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan.Rooftop hotel mewah di jantung Sudirman seharusnya menjadi saksi cinta yang diresmikan, bukan arena pertarungan batin dan amarah yang meledak tak terkendali.Gaun pengantin putih Naura tampak pucat ditimpa cahaya mendung, seperti tak punya semangat untuk bersinar.Ia berdiri tegang, tatapan matanya menusuk. Tuduhan yang menimpanya bukan sekadar angin lalu, bukan isapan jempol.Ada yang menjebaknya, dan ia yakin siapa pelakunya. Sejak kembali ke Jakarta, lingkaran musuhnya tak banyak.Tapi ada satu nama yang menyembul paling jelas di pikirannya: Nadira.Hari ini, Nadira tampil mencolok, dengan gaun satin merah darah dan senyum tipis seperti sengaja dipahat untuk menusuk.Auranya memancarkan kepercayaan diri yang dingin, seperti singa betina yang tahu betul siapa mangsanya.“Nadira! Kalau memang kamu punya nyali melaku
Langkah Nadira memecah kerumunan yang menahan napas. Gaunnya yang sederhana berkibar pelan tertiup angin sore, seperti gelombang tenang di lautan badai.Mata semua orang tertambat pada sosoknya, tapi Nadira seolah tuli dan buta terhadap sorot tajam maupun bisik-bisik kecil yang menghujam dari segala arah.Tatapannya tak bergeming, hanya terpaku pada satu titik — Fayra, yang duduk di pinggiran rooftop, lututnya menekuk, rambutnya acak diterpa angin, seolah siap diterbangkan waktu.Dengan gerakan pelan, Nadira berjongkok di hadapan wanita itu. Aura dingin yang biasa menyelimutinya meluruh, digantikan kelembutan yang nyaris tak dikenali siapa pun di sana.Ia mengulurkan tangan, menyentuh tangan Fayra seolah menyentuh sesuatu yang rapuh. Suaranya nyaris berbisik, tapi cukup tajam menusuk kesadaran.“Fayra, kamu bikin aku kaget saja,” katanya, bibirnya melengkung samar. “Jangan lakukan hal seperti ini lagi, ya.”Fayr
“Loh, kamu masih mau berlagak seolah kamu korban?” Suara Oman terdengar dingin, seperti embusan angin malam yang menusuk kulit.Ia merangsek naik ke panggung, menerobos barikade keamanan yang tak cukup sigap menahannya.Sepasang matanya menyorot tajam ke arah Naura, menelanjangi keanggunan gaun putihnya dengan sorot penuh ejekan.“Anoreksia itu kamu sebut kanker lambung? Aku sampai kasihan sama kamu, mikir kamu sekarat,” ujarnya, tawanya getir, menampar udara dengan kebencian yang tak lagi bisa disembunyikan.“Kamu pikir bisa nipu Mahesa dan jadi istri sahnya? Mimpi!”Tangannya mengangkat setumpuk kertas, berniat melemparkannya ke wajah Naura, tetapi Mahesa lebih cepat.Ia menepis tangan Oman dan merebut dokumen itu. Tangannya bergetar saat membuka lembar demi lembar, matanya menyisir kalimat-kalimat medis dalam berbagai bahasa asing yang kini tampak seperti kode-kode pengkhianatan.Diagnosis kanker
Pelan-pelan, tubuh Naura melemas dalam pelukan Mahesa. Aroma mawar dari buket di tangannya bercampur dengan bau karpet ballroom yang hangat lembap, mengguncang perutnya.Ia menggigit bibir bawah, menahan rasa mual yang makin menggedor dari lambung. Wajahnya sedikit menoleh ke Mahesa, matanya berkaca-kaca, suara lirih mengalun dengan getir.“Mahesa... aku nggak kuat. Bisa kita percepat aja akadnya?”Suara musik orkestra lembut di latar seolah menjauh, digantikan suara detak jantung Naura yang berlomba dengan waktu.Gaun putihnya yang mengembang tampak terlalu besar untuk tubuh yang begitu ringkih pagi itu, seolah menjebak, bukan memeluk.Mahesa hanya mengangguk, tak bertanya lebih jauh. Ia menggenggam tangan Naura lebih erat, mencoba memberi ketenangan yang bahkan dirinya tak miliki.MC di panggung, mengenakan jas krem dengan dasi kupu-kupu perak, lekas menangkap sinyal urgensi itu.Dengan senyum paksa, ia mempercepat prose