LOGINSore itu angin begitu kencang. Suaranya sampai membuat bising telinga Talia yang sedang tidak baik-baik saja. Lambaiannya mampu mengguncang tubuh entengnya yang sedang menguatkan diri menahan luka.
Talia berkendara dengan mobil suaminya membelah jalan raya dengan begitu cepat. Kej@mnya angin, tak mampu membuatnya sejenak berhenti untuk menghangatkan diri dan mendinginkan isi kepala. Talia terus melaju agar dia secepatnya tiba di rumah. Guntur yang tadi sempat mengumpat dan mengatakan kata talak pun, kini seakan cemas dan khawatir. Dia yang telah berencana akan memadu kasih sepanjang hari dan malam bersama selingkuhannya, kini beralih pikiran ingin segera pergi. “Aku seneng istrimu sudah tahu, Mas. Talia memang harus faham dirinya itu siapa.” Dengan senyum penuh kemenangan perempuan bernama Ineu itu merangkul tubuh Guntur dari belakang. Tapi, apa yang dia harapkan berikutnya seperti lenyap. “Lepasin dulu, aku mau ngejar Talia.” Guntur mengurai pelukan wanita yang sejak tadi menemaninya. Wajahnya jadi suram terus mengingat istrinya. “Lho, bukannya kalian akan pisah? Kamu sudah talak dia kan, Mas?” Ineu beralih ke depan. Dia protes atas keputusan prianya itu. Atasannya di tempat dia bekerja. “Iya, iya. Tapi aku juga tetap musti bicara. Kamu siap dimadu, kan? Aku akan bujuk dia, agar dia gak mau minta pisah.” Alasan Guntur yang diucapkan pada Ineu. “Mas, kamu kok plin-plan banget sih?” Sebenarnya Ineu ingin marah berlebihan. Tapi, dia tidak ingin membuat Guntur illfeel. Apalagi dia belum berhasil mendapatkan keinginannya untuk jadi Nyonya Guntur seutuhnya. “In, aku harus pulang dulu pokoknya, ya?” kata Guntur lagi. “Ya sudah, Mas, aku juga ikut deh. Anterin aku ke rumah aku. Lagian, aku gak yakin kalau istrimu berani pisah. Dia pasti cuma ngancam doang.” Ineu menjadi kompor. “Aku harap sih gitu. Karena gajiku juga besar, dia pasti sulit cari laki-laki seperti aku.” Guntur bicara sambil membenarkan pakaiannya. Ia pun segera memeriksa ponsel yang sudah aman di saku. Guntur dan Ineu pun pergi meninggalkan villa teman Guntur itu. Bayangan indah yang telah mereka ciptakan terpaksa harus luluh lantah. Meski bisa terus dilanjutkan, namun tetap saja pikiran Guntur masih terombang-ambing. Dia cinta pada Ineu, tapi dia juga masih belum yakin untuk berpisah dari istrinya. “Ini gara-gara kamu juga sih, kenapa kamu ngaku di depan istri aku, In?” Keheningan beberapa saat di dalam mobil kini pecah. Guntur menyalahkan selingkuhannya atas apa yang sudah terjadi. Tentu saja Ineu pun balik menyerang dengan kesal. “Kok aku yang salah sih, Mas? Kamu sendiri yang bilang istrimu gak ada apa-apanya dibanding aku. Dia juga belum bisa hamil. Terus, dia juga tukang diem di rumah. Pemalas. Gitu kata kamu, kan? Dan kamu janji mau nikahin aku!” tandas Ineu dengan nada yang sangat kesal. Dia tidak suka kalau Guntur malah menyalahkam dirinya. “Ya maksudnya aku bukan gitu. Kamu juga jangan marah. Maksudnya, gak harus saat itu juga kamu jujur sama Talia.” Roda empat yang melesat cepat membelah jalan raya itu tak hentinya sepi dari perdebatan. Di dalam sana masih terdengar adu mulut antara Guntur dengan selingkuhannya. “Mas, Talia juga udah lihat kita tadi lagi ngapain? Kamu pikir dia akan percaya kalau kita lagi meeting tentang pekerjaan? Secara dia tadi sudah menangkap basah kita nyaris tak berjarak. Jangan terus berdalih deh, Mas. Biar semuanya juga cepat kelar.” “Kelar apa maksud kamu?” “Ya aku kelar jadi selingkuhan kamu. Aku mau dinikahi kamu. Sudah bertahun-tahun kita berhubungan. Putus nyambung gara-gara sering ketahuan istri kamu. Membuat aku juga harus nikah dengan laki-laki yang gak aku suka, demi incar status aja.” Ineu mengerucutkan bibirnya. Dia benar-benar kesal setelah menghirup masih adanya rasa sayang di hati Guntur untuk Talia. Padahal, dia berharap pacarnya itu sudah benar-benar mampu melepas istrinya. “Oke, kita pasti nikah. Tapi setelah kamu juga cerai dari suami kamu. Aku juga harus selesaikan urusan dengan Talia. Sekarang aku antar kamu pulang. Itu karena rumah kamu kelewatan, gak musti antar jauh-jauh lagi. Oke?” ucap Guntur. Pedal gasnya masih diinjak dengan keras. “Hem.” Mata Ineu mengerling. Sebenarnya dia kesal, tapi mau bagaimana? Dia juga tidak mau putus hubungan dengan Guntur. Baginya, pria di sampingnya itu adalah segalanya. Soal suaminya, itu sangatlah gampang. Karena dia bukan menikah atas dasar cinta. Tentu saja beberapa bulan lalu Ineu menikah karena ingin meyakinkan Talia, bahwa tidak ada lagi hubungan dia dengan suaminya. Karena Ineu sudah jadi istri orang. Tidak sampai satu jam, Guntur sudah sampai di depan rumah Ineu. Perempuan itu pun turun dengan cepat, dan saat itu pula roda empat Guntur kembali melesat kencang. Geram, Ineu sangat geram dibuatnya. Dia masuk ke dalam rumah. Setelah membuka gerbang, dia menyadari kalau suaminya sedang ada di rumah. Tapi, bukan apa-apa baginya. Pasti suaminya itu tidak akan ada curiga sedikitpun tentang hubungannya dengan atasannya. Mereka sudah biasa pergi atas dasar pekerjaan. “Kok sudah pulang?” Suami Ineu menyambutnya di depan pintu. “Bosku ada urusan mendadak, Mas. Jadi, meeting tadi sebentar banget, gak sampai malam seperti kata aku. Barusan juga dia langsung cepat pergi.” Jawaban Ineu begitu meyakinkan. “Oh iya, aku juga melihat mobilnya tadi ngebut.” “Hem.” *** Mobil yang dibawa oleh Talia sudah sampai beberapa menit yang lalu. Disusul kendaraan yang sejak tadi bersama Guntur, kini pun sudah memarkir di sampingnya. Guntur turun dengan cepat dari dalam mobil. Dia harus bicara dengan Talia, bahwa apa yang dia katakan tadi itu hanya refleks saja. “Sayang, Talia?” Guntur masuk ke dalam rumah dengan sangat rusuh. Dia banting tas hitamnya ke sofa untuk segera menemui istrinya. Dari bau parfumnya, Talia pergi ke arah kamar. Guntur pun terus berteriak. “Talia?” Guntur semakin melangkah jauh. Dia menaiki tangga dan tak lama sudah sampai di kamar pribadi mereka. Dilihatnya saat itu, Talia sedang menangis sambil mengeluarkan pakaian dari dalam lemari. “Talia, hey, hey?” Guntur meraih tubuh istrinya yang dari berdiri langsung jongkok untuk meraih pakaian di bagian bawah. Tapi, Guntur coba menggagalkannya. “Lepasin aku, Mas!” Talia berontak. Wajahnya terlihat masih sangat basah oleh air mata. “Talia, maafin aku.” “Maaf? Kamu tadi sudah biarkan aku pergi. Kita akan cerai kan?” sembur Talia dengan emosi yang berapi-api. Dia juga tidak habis pikir, kenapa Guntur bisa plin-plan seperti itu. “Aku tadi kelepasan bilang gitu. Aku jujur kesal tadi. Aku minta maaf, aku janji aku akan tobat.” Guntur terus merayu istrinya. Dia berharap Talia bisa memaafkan. “Tidak, Mas. Tidak ada lagi maaf dari aku, apalagi untuk tetap bersama kamu. Untuk ke sekian kalinya aku memergoki kamu dengan perempuan yang sama. Oh, aku rasa sejak menjanda sampai dia punya suami, kalian tidak pernah putus hubungan. Dan wanita itu hanya mencari status saja agar aku tidak curiga sama dia lagi. Memang kelewatan cerdas dia ya, Mas? Gak bod*h kayak aku.” Talia tersenyum dengan getir, sambil tangannya terus memasukkan pakaian ke dalam tas koper. “Kamu terlalu berlebihan, Talia.” “Iya, aku berlebihan. Makanya kita gak cocok!” Mendengar jawaban Talia, justru Guntur semakin shock dan gelisah. Karena bukan jawaban itu yang dia inginkan. “Talia, jangan main-main. Aku memberikan fasilitas untuk kamu. Apa kamu mau biarkan begitu saja?” Guntur yang memiliki sifat mudah berubah-ubah itu pun kini malah kembali marah. “Oke. Silahkan ambil, Mas, ambil. Aku gak sedikitpun merasa memiliki apa-apa di rumah ini. Apa yang aku pakai memang bukan milikku. Semuanya milik suamiku yang seorang general manager. Aku faham kok, Mas. Ambil semuanya. Itu kunci mobil yang aku pakai tadi!” Talia melempar kunci mobil ke atas kasur. Lalu disusul dia melepas jam tangan, dan lagi Talia melemparnya. Pun, dengan pakaian yang sudah dia masukkan ke dalam koper. Itu dia hamburkan lagi ke luar, dan dia lempar ke atas kasur semuanya sampai membuat mata Guntur terbelalak. “Itu, itu semua darimu. Itu milikmu. Aku gak punya apa-apa, Mas. Itu fasilitas darimu. Kamu puas? Hanya aku minta baju yang aku pakai ini. Karena aku bukan seperti selingkuhan kamu yang hanya melindungi tubuh dengan pakaian kurang bahan!” Mendengar dan melihat apa yang dilakukan Talia, tentu saja Guntur sangat terpelongo kaget. Kenapa Talia bisa memutuskan hal seperti itu? Apa tidak sayang dengan kekayaan dan gelar suami yang dia miliki? Lagipula, Guntur hanya berusaha mengancam agar Talia galau. Tapi …"Sudah hampir satu bulan, Ardhya, kamu belum juga tepati janji kamu bawa calon istri ke rumah. Apalagi Mama sudah tahu, kalau pacarmu itu selingkuh kan? Semua yang terjadi di kafe itu cukup menjelaskan."Wanda, ibunya Ardhya duduk dengan jumawa di sofa tunggal. Tatapannya menantang dan menyepelekan.Ardhya tampak resah dan hanya berkali-kali menghela nafas panjang. Intinya, dia masih bingung. Belum ada wanita yang akan dibawanya untuk menghadap sang ibu."Jujur saja sama mamamu ini. Banyak wanita mendekatimu cuma harta kamu doang, kan? Lihat yang selingkuh sama anak DPR itu. Sadar kan? Dia itu wanita yang cuma nyari uang dari sana-sini. Artinya juga, kamu tidak bisa, kamu tidak akan mampu mencarikan mamamu ini seorang menantu." Wanda kembali berucap dengan sangat jelas. Di usianya yang sudah tak lagi muda, memang sudah saatnya melihat putranya menikah. Oh, apalagi soal keturunan. Sudah pantas kalau Wanda memiliki seorang cucu.Ardhya coba melepas penat. Melepas dosa yang dia terima at
Ineu bangkit dari tempat tidur. Ranjang yang akan menjadi saksi malam pertama mereka pasca menikah itu ditinggalkannya sebentar, untuk bicara dengan ibu mertua."Ibu, maaf ya, Bu. Darimana aturan isi amplop akan dibagi dua? Ini milik pengantin lho, Bu. Orang tua gak ada hak." Dengan melipat lengan di dada, Ineu menanggapi keinginan mertuanya. Guntur yang melihat momen inipun hanya bisa memijat kepala."Hey, kamu belum tahu, ya? Guntur sudah perjanjian sama ibu, kalau isi amplop ya dibagi dua. Pokoknya, kamu musti setuju. Ingat ya, ini rumah siapa? Kamu menantu baru. Dulu, Talia itu apa-apa ikut saja apa kata saya." Ibunya Guntur malah kesal sambil membawa-bawa Talia yang sudah tak ada lagi di rumah itu. Bukan Ineu namanya kalau harus tinggal diam."Ibu, lebih baik Ibu keluar. Gak ada ya bagi dua. Oke nanti aku kasih ibu, tapi bukan dibagi dua. Kebutuhan ibu ini yang udah tua apa sih? Paling cuma makan aja. Ibu denger ya, kebutuhan aku banyak banget. Udah ya makan, skincare, arisan, in
Pernikahan Ineu dengan Guntur telah selesai dilaksanakan. Mulai dari acara akad nikah sampai resepsi pernikahan, dilanjutkan mengabadikan foto pernikahan mereka, telah berjalan dengan mulus.Tamu undangan yang hadir juga nyaris satu persen. Hanya saja, tidak ada pihak mantan dari Ineu. Anak semata wayang Ineu juga tidak ada. Hanya sanak keluarga Ineu terdekat saja yang hadir.Selesai acara tentu saja banyak hal yang dinanti. Meski masih ribet beberes barang-barang yang menjadi aksesoris dan pelengkap di acara pernikahan, tuan rumah tidak ikut mengerjakan. Apalagi Lastri, ibu kandung Guntur itu memiliki pikiran khusus di malam hari ini.Belum terlalu larut, bahkan senja baru saja lenyap dari pandangan mereka. Baru saja terdengar adzan Maghrib. Lastri pun belum memutuskan untuk pulang dari rumah putranya. Dia masih ingin tetap ada di sana untuk ikut serta membuka isi amplop dari para tamu undangan.Dia berharap Guntur–putranya segera mengganti uang yang dipinjam. Ditambah lagi nanti dib
“Hah, Mas mau dijodohin sama saya? Apa saya nggak salah dengar?” Setelah termenung beberapa saat, Talia mengutarakan keterkejutannya. Bukan ke-gr-an tapi memang dia ingin mengkonfirmasi takutnya salah dengar.“Iya. Entah kamu punya apa sampai Mama saya ngebet pengen jodohin saya sama kamu. Padahal nilai plus kamu cuma karena pernah nolongin Mama saya.” Dengan enteng tanpa beban, Ardhya mengatakan hal itu kepada Talia. Apalagi matanya yang melarak lirik kesana kemari. Membuat Talia merasa bahwa laki-laki dihadapannya itu tidak dewasa sama sekali.“Ya ampun, Mas, Saya yakin itu hanya gertakan Ibu Mas saja. Mungkin ibu Mas Ardhya mengatakan hal itu karena kesal sama anaknya yang nggak kawin-kawin, Mas. Apalagi kalau beliau sampai melihat kejadian tadi. Saya yakin Mas Ardhya akan dihukum di rumah.”Ardhya langsung mengangkat dagunya.“Kamu jangan berani-berani ya katakan hal tadi sama mama saya. Lagi pula saya juga udah putus sama perempuan gak tau diri itu. Dasar perempuan matre!” pekik
“Itu, semuanya sudah saya ganti rugi. Beres kan?” Ardhya nampak sudah mengotak-atik handphone miliknya. Sedangkan orang yang berseteru di sana sudah tidak ada lagi. Bahkan, kendaraannya pun sudah enyah. Ya, hanya Ardhya yang sanggup dan mampu bertanggung jawab di cafe plus resto itu.“Terima kasih. Tapi bukan berarti Mas nanti bisa porak-porandakan lagi kafe ini ya, Mas? Ini peringatan. Kalau sampai terjadi lagi, saya gak akan segan-segan bawa Mas ke kantor polisi!” kata manajer itu sedikit mengancam. Dia terlihat sudah melihat nominal uang masuk, untuk memperbaiki barang-barang yang rusak. Di sana ternyata sudah ada Talia. Dia tadi maju ke depan dan ikut menengahi. Apalagi Talia juga merasa kalau itu sebuah perikemanusiaan. Talia datang untuk meredam suasana. Sayangnya, perempuan yang masih diakui Ardhya masih pacarnya itu sudah pergi dengan pria yang berseteru dengan Ardhya. Mereka juga seperti menghindar, tak mau ganti rugi.Ardhya sudah
Talia menepikan kendaraan. Dia seperti melihat Ardhya yang ada dalam perkelahian itu. Ada juga seorang wanita yang menjerit-jerit, seakan berusaha menengahi. Ditambah orang-orang sekitar, mereka meraih keduanya masing-masing untuk menghentikan perseteruan.“Cukup, kalian kayak anak kecil!” pekik wanita yang memakai pakaian seksi itu. Talia melihat dengan jelas, memang benar di sana Ardhya. Apa sedang memperebutkan wanita?“Sudah-sudah, kalian akan kami bawa ke kantor polisi kalau terus membuat gaduh!” Salah seorang warga berkata. Keduanya pun kini memang nampak sejenak meredam emosi.Talia semakin mendekat. Dia sangat penasaran, kenapa sampai mereka beradu? Padahal tadi Ardhya baik-baik saja, malah marah-marah pada Talia. Sekarang berhenti di tempat berbeda, dan sudah berkelahi?“Mas, bagaimana, kalian mau kami bawa?” tanya salah seorang warga lagi yang sedang menahan pria asing yang satunya. Mereka tampak sebaya, pasti sedang memperebutkan sesuatu.“Oke, kita pergi saja. Dasar orang







