Rayhan kembali duduk dengan tenang, berhadapan dengan Naura. "Semuanya nggak ada hubungannya sama kecelakaan kamu waktu itu. Mulanya aku juga sempat berpikir, kalau penyakit kamu ini efek samping dari kecelakaan itu. Tapi ternyata sama sekali bukan karena itu." Naura memulai menjelaskan meskipun dengan berat hati. "Terus karena apa?" "Karena ..." Naura kembali menarik napasnya untuk tetap bersikap tenang. "Karena faktor genetik." "Genetik?" Naura mengangguk. "Iya. Mungkin salah satu dari anggota keluarga kamu, ada yang punya riwayat penyakit itu, dan menurun ke kamu. Kalau ada salah satu dari keluarga kita yang dulu pernah mengidap penyakit itu, ada kemungkinan kalau penyakit itu juga bisa menurun ke anak atau cucu .... Tapi itu semua juga belum tentu pasti menurun." Meskipun shock, Rayhan tetap tenang. "Terus?" "Apa?" Naura tidak mengerti. "Jadi selama ini obat yang kamu bilang obat migrain itu, obat kanker?" tanya Rayhan. "Kenapa kamu harus bohong sama aku? Papa aku juga tah
Rayhan berjalan dengan langkah pelan di koridor rumah sakit yang banyak orang berlalu-lalang. Tatapannya kosong, seolah saat ini dia hanya membawa sebuah raga tanpa jiwa. Ingatannya kembali berputar ke kejadian sebelum dia menemui Naura. Flashback beberapa jam yang lalu .... Setelah mendapatkan surat hasil MRI dari brankas Vicko, Rayhan memutuskan untuk segera menemui Naura di rumah sakit untuk meminta penjelasan. Rayhan tahu dia mengidap suatu penyakit dan dia akan menanyakannya pada Naura hari ini. Tentunya setelah pertimbangan yang matang dan berharap sahabatnya itu akan berkata jujur padanya. Namun saat Rayhan mau memasuki lift untuk menuju ke lantai 5---tempat ruangan Naura berada, ternyata lift sedang dalam perbaikan dan Rayhan diminta menunggu tiga puluh menit. Rayhan tidak mau membuang-buang waktu untuk menunggu. Dia merasa harus segera menemui Naura dan menuntaskan semuanya, karena dia harus mengajukan beberapa pertanyaan pada sahabatnya itu. Rayhan memutuskan akan ke lan
Setelah tenaga kembali terkumpul, Rayhan dan Bella memulai acara kencan mereka dengan mengitari stupa-stupa dan mengamati relief-relief yang tertempel indah pada dinding candi tersebut. Tak lupa mereka juga mengabadikan momen kebersamaannya dengan berfoto bersama. Saat Rayhan dan Bella sedang asyik berfoto, ada sepasang warga asing atau istilah umumnya bule yang juga sedang berpacaran, tiba-tiba berciuman mesra di depan mereka berdua. Hal itu sontak mengundang keterkejutan bukan hanya bagi Rayhan dan Bella, tapi juga untuk semua pengunjung yang kebetulan melihat adegan tersebut. Namun mereka semua memaklumi, kalau di negara asing memang berciuman di tempat umum adalah hal biasa, jadi mereka semua yang melihat hanya tersenyum saja dan bersikap cuek. Tak perlu mencampuri urusan sepasang sejoli yang sedang memadu kasih. Rayhan membisikkan sesuatu ke telinga Bella saat melihat sepasang bule yang sedang berciuman. "Aku lebih jago melakukan itu dari pada bule itu, kan?" "Ngaco." Bella me
Tujuan terakhir yang Rayhan dan Bella kunjungi adalah Pantai Parangtritis. Rayhan sengaja memilih tempat itu sebagai yang terakhir karena dia ingin melihat sunset sebelum pulang ke Jakarta. Di mana pun itu, yang namanya sunset selalu terlihat tampak indah, apalagi jika dinikmati bersama orang terkasih.Pantai Parangtritis merupakan pantai yang terletak di Bantul-Yogyakarta dan paling terkenal di antara pantai-pantai di Yogyakarta. Pantai yang terbentang luas itu mempunyai ombak yang besar dan pasir yang halus. Saat bertelanjang kaki di atas pasir, kita bisa merasakan halusnya pasir pantai yang sesekali tersapu ombak. Hal itu juga yang dilakukan Rayhan dan Bella. Mereka bergandengan tangan sambil bertelanjang kaki berjalan menyusuri permukaan pasir dan sesekali kedua kaki mereka disapu ombak pantai. Angin berembus kencang karena hari sudah sore jadi cuaca sudah tak begitu panas. Maka dari itu pengunjung pun juga tak sedikit yang datang. "Ray, aku boleh nanya nggak?" tanya Bella. Saat
Naura tidak menyangka Vicko akan secepat itu mengambil keputusan sebesar itu. Dia saja sangat sulit untuk bisa memutuskan hal tersebut dan memilih untuk menjadi egois karena takut operasi Rayhan akan gagal. "Akan ada banyak pemeriksaan lanjutan jika melakukan operasi, Om. Rayhan juga harus dirawat sebelum pelaksanaan operasi. Saya ragu dia mau melakukannya." "Om yang akan bicara pada Rayhan dan menjelaskan semuanya." "Rayhan sudah tahu semuanya, Om." "Maksud kamu?" Naura mengangguk. "Dia tahu kita menyembunyikan penyakitnya, dan dia marah. Dia tidak mau mengangkat telepon dari kemarin." "...." ***Vicko pulang ke rumah dan bertemu Mike yang sudah rebahan di sofa sambil bermain dengan ponselnya. "Baru pulang, Om?" sapa Mike. Vicko yang sedang buru-buru tidak menyahut sapaan Mike. Dia langsung berjalan ke lantai dua menuju kamar Rayhan. "Om Vicko ngapain ke atas?" Mike tampak heran, karena yang ada di atas hanya kamar dia dan Rayhan. Tak lama kemudian, Vicko turun lagi sambil
Rayhan berada di mobil papanya yang terparkir di tepi jalan. Vicko duduk di sebelahnya dan tadi yang bertugas mengemudikan mobil. Mereka memutuskan untuk mengobrol di sana. Sekitar sepuluh menit sejak mobil berhenti, suasana hening. Rayhan maupun Vicko sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun, keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. "Apa Papa mencintai mama?" Rayhan membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan. Vicko terlihat sedikit gusar dan terkejut. "Kenapa kamu nanya kayak gitu?" "Aku tahu. Papa nggak pernah mencintai mama, kan? Karena di hati Papa, udah ada orang lain." Vicko mulai curiga kalau dugaannya benar, bahwa dulu Evellyn sudah mengatakan semuanya pada putranya itu, dan itulah alasan kenapa Rayhan meninggalkan Bella. Biarpun Rayhan atau pun Evellyn tidak pernah mau mengatakan apa-apa padanya, tapi masa lalu itu pastilah penyebab utama masalah ini."Iya kan, Pa? Papa masih mencintai Tante Evellyn sampai sekarang. Dan nggak ada sedikitpun ruang di hati
"Terus kemarin kalian liburan ke mana aja? Apa yang kalian lakuin di sana? Apa kalian melakukannya lagi?" Mike yang kepo akut terus mengajukan pertanyaan pada Rayhan. "Melakukan apa? Jangan ngomong yang enggak-enggak, deh." "Aku tahu malam itu kamu sama Bella kan semalaman? Pakek nggak mau ngaku segala. Padahal aku selalu cerita semuanya ke kamu. Tapi kok kayaknya kamu punya banyak rahasia yang aku nggak tahu?" Mike tampak mengajukan protes atas kekecewaannya.Mendengar ocehan Mike, Rayhan hanya bisa menghela napas. Dia sedang malas menanggapi Mike untuk sekarang ini. "Sekarang kan Kakak udah tahu, jadi ya udah kan?" "Ya udah gimana? Kita harus bikin jadwal dong, buat double date lain kali. Kita liburan ke Bali berempat gimana, Ray?" Mike antusias sekali merencanakan tentang liburan. "Terserah kamu aja." Rayhan mau melangkah tapi Mike menahannya lagi. "Bentar, bentar." "Apa lagi?" Mike berjalan mendekati meja dan membungkuk mengambil sesuatu dari bawah meja. Dia memegang sebuah
"Hah?" Rayhan refleks mengusap-usap sekitar mulutnya. Dan malah ditertawakan oleh Bella. Pertanda wanita itu mengerjainya. "Jangan sembarangan, ya. Aku kalau tidur nggak pernah ngiler." "Kamu mana tahu kamu ngiler apa enggak. Kan kamu tidur." "Ya pokoknya aku tahu kalau aku nggak pernah ngiler." Rayhan menegaskan dengan kesal. Bella tertawa dan mengangguk-angguk. "Iya, iya, percaya kok." "Kamu ngapain ke sini? Ada yang mau dibicarain?" tanya Rayhan. "Kamu pasti nggak cek hape kamu, ya? Aku teleponin dari tadi nggak diangkat.""Iya, tadi aku habis selesai rapat. Maaf, belum sempet cek hape. Emang ada yang penting, ya?"Bella menggeleng. "Bukan hal yang terlalu penting juga, kok. Cuma aja, kata Melissa, Mike mau ngajakin kita buat double date nanti malam. Kamu bisa nggak?" "Double date?" Bella mengangguk-angguk. "Iya. Tapi kalau kamu capek juga, nggak apa-apa, kita nggak usah ikut." "Kamu pengen ikut?""Aku ngikut kamu aja," kata Bella santai."Ya udah, aku bisa kok," jawab Rayha