Kai memarkirkan mobil tepat pukul satu dini hari. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya yang besarnya berkali-kali lipat dari rumah biasa pada umumnya. Bau keringat yang menguar dari badannya membuat ia ingin segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan tidur.
Malam yang sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini ia tampak begitu bersemangat mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memberikan pukulan terbaik pada samsak tinju, melampiaskan semua yang mengganggu pikirannya pada benda tak bersalah tersebut. Hingga tak sadar, hari mulai merambat naik.
“Are you okay?” Suara lembut yang menyapa indra pendengarnya membuat Kai menoleh. Ia mengernyit, menatap wanita yang duduk di atas kasur dan tersenyum menyambut kepulangannya, kedua matanya terlihat sayu.
“Kenapa belum tidur?”
Pria itu mengurungkan niat awal, beralih mendekat pada wanita yang memiliki manik mata sebiru laut dasar.
“Aku menunggumu,” balasnya dengan suara sehalus sutra.
Helaan napas pendek terdengar begitu kontras pada suasana malam yang sepi.
“Seharusnya kau tidur dulu.”
Kai dapat melihat jika wanita yang ada di hadapannya itu membuka sedikit bibir hendak berkata, namun kemudian yang dilakukannya hanya menunduk.
“Maaf …” Ia berbisik.
“Bukan itu yang ingin aku dengar.” Mata Kai menyipit, diikuti dengan gerakan tangannya yang membenarkan cardigan putih berbulu yang dipakai wanita itu.
“Malam begitu dingin, kenapa memakai pakaian setipis ini?”
Ia tak habis pikir. Bisa-bisa kekasihnya itu akan mudah sakit jika dirinya tidak memperhatikan hal sekecil ini.
“Kembali ke kamarmu, ganti dengan pakaian yang lebih hangat.”
Perhatian yang diberikan Kai membuat Angelista tidak dapat menahan senyumannya. Ia terlihat jauh lebih manis ketika kedua sudut bibirnya sedang terangkat. Membuat matanya yang tidak terlalu lebar kian menyipit.
“Cukup mendengar suaramu saja, sudah membuat hatiku hangat,” balas wanita itu, mendongak untuk melihat wajah Kai lebih jelas. Di saat kelelahan dan banyak peluh yang membanjiri, ketampanan yang dimiliki Kai tidak pernah berkurang. Bahkan, pesona pria itu semakin terlihat kuat. Rahangnya yang kokoh dan garis wajahnya semakin terlihat menawan, berkilau di bawah sorot terang lampu yang ada di kamar ini.
“Kalau begitu, ikuti perkataanku.”
Angelista mengangguk. “Aku akan kembali ke kamarku … setelah kau memberikan kecupan selamat malam.” Ia tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang putih.
Kai mendengkus. “Aku kotor.”
“Kalau begitu, biar aku yang melakukannya. Menunduk!” perintah sang wanita sembari mengunyah tawa.
Dan yang dilakukan Kai setelah itu hanya memutar kedua bola matanya. Ia sedikit merendah, mendaratkan bibirnya pada dahi Angelista. Yang berhasil membuat wanita itu mematung. Tak lama kemudian wajahnya bersemu, kian memerah saat menatapnya.
“Tidak ingin pergi? Atau kau ingin melihatku mandi?” bisiknya yang membuat Angelista cepat-cepat beranjak.
.
.
.
Nathalie pikir, meletakkan ponsel di samping tempat tidur bukanlah hal yang tepat. Benda itu sudah bergetar dan diam, dan dalam hitungan detik berikutnya kembali bergetar. Membuat dirinya yang masih bergelung nyaman dengan selimut mendengkus kasar. Tangannya menggapai-gapai di mana ponselnya berada. Kemudian menggeser layar dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka.
“Sialan, kau merusak pagiku yang damai!” hardiknya pada seseorang yang ada di balik telepon.
“Oh, aku tidak lupa jika kau akan berangkat jam sembilan nanti. Namun, ada hal yang harus kau ketahui sekarang. Jadi, cepat berangkat lebih awal!” Suara pria yang ada di seberang telepon itu terdengar memerintah.
“Persetan dengan itu! Aku tetap akan berangkat sesuai jam kerjaku.”
“Ck! Dasar kepala batu. Kau akan sangat terkejut ketika mengetahui hal ini.”
Nathalie mendecih tidak peduli. “Ya ya. Simpan informasimu itu sampai aku datang, selamat bekerja.”
Sambungan telepon terputus olehnya. Ia melempar benda persegi empat itu ke atas kasur. Lalu kemudian bangkit terduduk, menatap suasana kamarnya yang hening.
Tak sengaja netra cokelat cerahnya mengarah pada gaun hitam yang menggantung di belakang pintu kamar. Yang seketika mengingatkan dirinya akan apa yang terjadi malam itu.
“Nasib buruk apalagi yang menimpaku hingga bertemu dengannya.” Ia memijat pelan dahinya, kedua matanya kembali terpejam.
Kai. Sudah lama ia menghapus nama itu dari isi kepalanya. Sejak kejadian yang membuat ia tidak bisa menaruh kepercayaan lagi pada pria itu. Hubungan yang terjalin selama tiga tahun dengan Kai, sebelum kemudian mereka memutuskan untuk berjalan ke jenjang yang lebih serius. Semuanya yang telah dilalui bersama tidak pernah lagi berarti, ketika ia mengetahui kenyataan yang ternyata tidak pernah diutarakan oleh Kai.
Tiga hari menjelang pernikahan. Dinding kepercayaan yang telah ia bangun dengan sangat kokoh, dengan mudahnya hancur hanya dalam hitungan detik. Bukan karena orang ketiga atau Kai yang berselingkuh di belakangnya. Namun, suatu hal lain yang lebih dari itu dan terlalu sulit untuk dijelaskan hanya dengan kata-kata.
Mengingatnya saja, kepalanya serasa berdenyut. Ingatan buruk kembali memenuhi isi kepala.
“Ini bukan saatnya untuk memikirkan masa lalu,” ujarnya pada diri sendiri. Ia menarik napas dalam, dan segera beranjak dari tempat.
.
.
.
Suasana NDN Press hari ini sedikit berbeda dari yang biasa. Beberapa orang tampak sedang berbisik dengan pandangan yang mengarah padanya. Dan itu bukan karena berita baru atau hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Mereka sedang membicarakannya, Nathalie tahu itu. Meski ia tak tahu apa yang menjadi penyebab utamanya.
Ia tidak ingin ambil pusing. Dan dengan segera membawa kakinya menuju ruangan di mana kedua teman berisiknya sudah menunggu.
“Nathalie!” pekikkan histeris dari satu-satunya pria yang ada di ruangan itu membuat wanita yang baru saja datang mengelus pelan dadanya.
“Bisakah kau sedikit lebih tenang?! Sejak pagi kau terus membuatku kesal!” Ia mendengkus, berjalan menuju mejanya. “Hal besar apa yang ingin kau beritahukan padaku?”
Ia mengalihkan pandangannya pada Jordi, yang kini beringsut mendekat padanya. Tatapan pria itu menyimpan banyak hal yang ingin dikatakan.
“Kau … apa yang kau lakukan pada CEO Hyden itu sehingga dia mengakuisisi gedung ini?”
“Mengakuisisi?” Ia mengulang perkataan Jordi. Raut terkejutnya ia sembunyikan dengan baik.
Jordi mengangguk. “Waktu itu kau yang mewawancarai dia, bukan? Apa kau membuat masalah dengannya sehingga ia melakukan hal ini?”
Sungguh tidak dapat diperkirakan. Sebelumnya, ia tahu jika Kai pasti akan berbuat sesuatu setelah malam di mana ia menyinggung harga diri pria itu. Tidak pernah sekalipun Kai akan melepaskan orang yang pernah berhadapan dengannya. Cepat atau lambat pria itu pasti akan melakukan sesuatu padanya, namun ia lebih tidak menyangka jika Kai akan melakukannya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Kekuatan pria itu tidak main-main rupanya. Dan Nathalie merasa dirinya tengah menggali liang kuburnya sendiri.
“Nathalie, kau dipanggil CEO baru kita untuk datang ke ruangannya.”
Dan permainan yang lebih serius akan dimulai hari ini.
“Aku akan segera datang,” balasnya pada seorang wanita yang berada di ambang pintu.
“Aku sarankan agar kau lebih berhati-hati dalam berbicara. Kita tidak tahu apa yang akan ia lakukan padamu, dia tidak terlihat seperti orang yang akan memperlakukanmu baik-baik.”
Nathalie mendesah pelan, menghiraukan perkataan Jordi. Ia segera mengambil ikat rambutnya dan berjalan keluar.
.
.
.
“Bagaimana hadiahku?”
Tidak ada yang dilakukan oleh Nathalie selain hanya diam. Tatapannya terlihat tidak senang kala melihat Kai yang kini duduk di kursi CEO lamanya. Pria itu mungkin merasa jika ia sedang berada di atas angin, raut sombongnya terlihat jelas, sangat puas.
“Apa kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan?”
Sudut bibir pria itu tertarik, menyeringai tipis. “Ini adalah hadiah kecil untukmu. Aku belum sempat memberikan sesuatu saat pertemuan pertama kita, kau tidak menyukainya? Apa kau ingin posisi lain? Seperti—“
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” selanya tanpa ekspresi, memotong perkataan Kai dengan berani.
“Dan kau akan melakukan apa yang aku mau?”
Nathalie tersenyum tipis. “Kau tahu jelas jika aku tidak akan pernah melakukannya.”
Dan yang terdengar setelah itu hanyalah kekehan pelan dari pria yang kini beranjak dari tempatnya. Meletakkan kedua tangan pada meja untuk menyangga tubuhnya yang terbalut setelan jas hitam. Dasi bergaris biru gelap yang dipakainya terlihat miring, menandakan jika Kai terburu-buru datang kemari.
“Ternyata … kau sudah dewasa tanpa pengawasanku,” desisnya.
Mengundang decihan kecil yang keluar dari bibir tipis Nathalie.
“Aku bukan balita yang perlu kau awasi.” Ia bersedekap. “Hanya karena malam itu, kau sampai mengakuisisi press yang bahkan tidak bangkrut? Apa aku menyinggung perasaanmu?”
Nathalie tersenyum miring. Memperhatikan rahang Kai yang tiba-tiba mengeras.
“Kau berpikiran terlalu sempit. Hyden adalah perusahaan raksasa sekaligus terbaik di negara ini, nama press akan semakin naik saat aku mengambil alih. Lagi pula, tidak ada yang keberatan dengan hal ini. Kenapa kau yang bahkan hanya seorang wartawan kecil tidak terima? Apa kau … takut jika terus bertemu denganku, perasaanmu akan kembali?” Untuk kesekian kalinya, Kai menampilkan smirk kebanggaannya.
Sementara itu, Nathalie masih saja mempertahankan senyumnya. Sama sekali tidak terprovokasi oleh apa yang baru saja Kai ucapkan.
“Kau membuat penjelasan panjang, hanya untuk menutupi kenyataan jika aku menyinggung perasaanmu?” Ia menarik napas, menghembuskannya perlahan. “Sebenarnya, bukan aku yang akan takut jika perasaanku kembali, tapi itu kau.”
Sepersekian detik selanjutnya, Nathalie mengendikkan bahunya acuh. “Aku tidak peduli, kita adalah orang asing sekarang. Kelak, jangan pernah memanggilku tanpa alasan yang jelas, CEO baru.”
Ia berbalik, menyentuh gagang pintu untuk keluar. Namun, tiba-tiba saja pria yang ada di belakangnya itu menarik tangannya dan membuat tubuhnya limbung.
“Ternyata, aku tidak pernah dapat menyembunyikan sesuatu darimu, ya.”
Kai menarik pinggang ramping Nathalie dengan cepat. Mendekatkan wajahnya dan menghapus jarak di antara mereka.
“Kau! Apa yang kau lakukan padaku!?” Wanita itu memberontak, mendorong pria itu sekuat tenaga.
“Sudah lama kita tidak melakukannya.” Kai berbisik, napasnya yang hangat menerpa kulit leher Nathalie sehingga membuat wanita itu meremang, napasnya terhenti. Seiring dengan tenggorokannya yang tiba-tiba tercekat.
“Ruangan CEO … tidak terlalu buruk.”
“Ruangan CEO … tidak terlalu buruk.”Kai semakin merapatkan diri. Sementara Nathalie semakin mengeratkan cengkramannya pada kedua bahu lebar di hadapannya. Matanya awas memandang pria itu, berjaga-jaga jika ia melakukan hal di luar pemikirannya. Dilihat dari tatapan buas yang kini sedang mengintimidasi dirinya, Nathalie yakin Kai tidak akan tidak melakukan sesuatu. Terlebih ia adalah tipikal orang yang akan melakukan segala cara untuk mendapat apa yang diinginkannya.“Lepaskan. Jika aku berteriak sekarang, kau akan tamat.”Tidak ada yang tidak Kai sukai selain melihat gurat keberanian yang kini memancar jelas dari wanita yang ada di dalam dekapannya. Yang sejak tadi terus berusaha untuk melarikan diri. Namun naas, kelinci kecil tidak akan pernah bisa kabur dari incaran serigala berwajah tampan satu ini.Kai mendengus, menahan tawa.“Teriaklah, dan kau tahu apa yang akan terjadi setelah ini.” Ia mendekatkan
“Kai?” Nathalie mengulang pertanyaan dari lawan bicaranya. Heran saja jika seseorang yang baru pertama kali bertemu dengannya tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Ia tidak pernah berpikir jika Kai yang akan menceritakan sesuatu pada orang lain, apa lagi tentang masa lalunya. Pria itu memiliki kepribadian yang tertutup, sangat tertutup hingga siapa pun tidak akan dapat menggali tentangnya lebih dalam. Hanya pada orang-orang kepercayaannya saja ia akan menceritakan masalahnya. Diamnya Nathalie selama beberapa saat itu mengundang tanda tanya Angelista. “Sudah kuduga, kau pasti mengenalnya.” Si pirang itu menyipitkan matanya. Dan Nathalie paling tidak suka jika seseorang menatap dirinya penuh penasaran. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” balasnya datar. Mengabaikan wanita itu, ia kembali melanjutkan langkah kakinya. “Tunggu.” Angelista menahan lengan Nathalie. Pandangan Nathalie kini turun, memperhatikan tangan putih yan
“Kai!” Angelista berlari kecil menuju pria itu. Wajah cantiknya kian berbinar kala ia sudah berada di depan Kai yang kini masih terdiam tanpa kata. “Kau sudah lama menungguku?” tanyanya antusias sembari menggenggam kedua tangan besar Kai. Yang dibalas dengan gelengan kepala pelan dari pria itu. “Tidak. Aku baru saja sampai,” balasnya. “Ingin pergi sekarang?” Wanita bersurai pirang itu mengangguk. Sesaat, ia tersadar jika ia melupakan satu orang lagi yang ada di sini. Seseorang yang sedari tadi menjadi teman bicaranya sebelum Kai datang. Angelista lantas menoleh, memandang Nathalie yang masih berdiri di belakangnya. “Nathalie!” seru Angelista. Dan seseorang yang dipanggil hanya menghela napas pelan. “Ya?” “Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa!” Nathalie mengangguk, tersenyum tipis. Memperhatikan pasangan yang ada di depan matanya. Bagaimana Kai yang membukakan pintu mobil untuk Angelista, yang kemudian diikuti ol
Irine meletakkan cangkir yang ada di tangannya dengan perlahan ke meja bundar di depannya. Di hadapannya kini, duduk seorang pria yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah bertemu dengannya. “Kau kembali lagi,” ujar wanita itu pelan. Pandangannya jatuh terfokus pada Kai yang juga memandangnya dengan ekspresi seperti biasa, datar. Detik selanjutnya, Kai menarik napas, mengeluarkannya perlahan. Ia menatap sekeliling, mengamati ruangan kerja Irine yang tampak mewah. Ruangan bernuansa putih dengan beberapa hiasan bunga tulip itu terkesan tenang, sangat cocok untuk Irine yang sejak dulu menyukai situasi kondusif. “Butikmu semakin besar saja,” kata pria itu. Mengabaikan perkataan Irine yang ditujukan padanya. Irine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, melirik ke arah toilet yang masih belum juga menampakkan tanda-tanda Angelista akan keluar dari tempat tersebut. Wajar saja, baru lima menit berlalu. Mungkin wanita berkebangsaan Inggris itu tenga
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga dan kerlap-kerlip lampu diskotik sama sekali tidak membuat Kai tergerak sedikit pun dari tempatnya. Ia mendengkus, mengabaikan bisik-bisik dan jeritan yang berasal dari sekumpulan wanita yang berada tidak jauh darinya. “Lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Sekali datang, pesonamu langsung menarik pusat perhatian semua wanita. Kau bangga dengan itu?” Bartender yang sedang mengelap gelas bening di tangannya itu tertawa kecil. Memperhatikan raut wajah Kai yang sepertinya terganggu. “Apa kau cemburu?” Ia mendecih pelan. Mengulurkan gelasnya pada bartender itu untuk memintanya kembali menuang minum. “Oh, aku tidak cemburu. Istriku di rumah akan marah jika mengatahui hal ini.” Bartender itu terkekeh pelan. Tak lama kemudian ia kembali menurunkan bibir, sadar akan apa yang baru saja ia ucapkan mungkin saja bisa menyinggung Kai. “Apakah berumah tangga sangat menyenangkan?” Pertanyaan konyol ter
“Thalia … “ Suara baritone Kai terdengar jelas memecah keadaan press yang hening. Pria itu tersenyum tipis kala wanita yang dipanggilnya mulai menoleh, bertatapan dengannya.Nathalie melotot, ia mengedarkan pandangan ke semua sisi, memastikan tidak ada orang yang melihat dirinya dengan Kai sepagi ini.“Bukankah sudah aku bilang agar tidak memanggilku sembarangan?” Ia mendesah lelah. Sementara Kai yang berjarak beberapa meter darinya lantas berjalan mendekat. Berdiri di hadapannya.“Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri setelah aku pergi?” tanyanya penuh intimidasi. Wajahnya berubah serius.“Kenapa nyawamu hampir melayang?” Kai kembali bertanya. Membuat Nathalie merasakan perasaan aneh.Bibir wanita itu terbuka tidak percaya, bahkan untuk mengeluarkan suara saja terasa sangat sulit. Lidahnya terasa kelu di saat yang bersamaan.“Ke—kenapa kau menanyakan hal itu? Siapa yang m
“Nathalie, ada kiriman cokelat atas namamu.” Ariska memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu. Membiarkan wanita yang ada di dalamnya mendesah pelan. Alisnya yang tidak begitu tebal terangkat naik. Memandangi Ariska dengan tatapan penuh permintaan penjelasan. “Cokelat?” Ia mengulang kembali apa yang baru saja ia dengar. Sedikit tidak percaya. Sementara wanita berambut pendek yang masih berdiri di depan pintu itu lantas mengangguk yakin. Wajahnya tiba-tiba berubah, mengamati raut bingung Nathalie dengan tatapan menyelidik. “Jangan katakan jika kiriman itu berasal dari kekasihmu,” ujar Ariska seraya terkekeh pelan. Kedua alisnya ia naik turunkan untuk menggoda Nathalie. “Jangan sembarangan,” balas Nathalie seraya beranjak, meninggalkan laptop yang masih menyala. Rasa penasarannya tidak dapat ia hindari, ketika ia mengikuti Ariska untuk melihat cokelat yang dikirim oleh seseorang untuk dirinya. Tiba-tiba saja matanya langsung membulat. Tepat
Sapaan ramah dari para karyawan atau kerlingan dari beberapa wanita dengan maksud tertentu itu tidak Kai hiraukan. Begitu masuk perusahaaan, Kai membawa cepat kakinya menuju ke ruangannya. Membiarkan Hans yang tertinggal jauh di belakangnya. Hans memandang bosnya yang sepertinya sangat buru-buru. Ia menggeleng pelan sembari menggenggam layar besar di tangan kanan. “Bos pasti sangat tersiksa menahan diri.” Ia menghela napas maklum, berpikir jika Kai pasti akan langsung ke kamar mandi. Jika saja Kai menyuruhnya untuk berhenti di salah satu pom bensin, pasti Kai tidak akan terlihat begitu menyedihkan di mata Hans sekarang. Sekretaris Kai itu mulai berjalan menuju tempat kerjanya. Tak lupa ia memalingkan wajahnya pada para wanita yang tadi menyapa Kai dengan hangat. Hans tersenyum, yang sayangnya hanya dibalas dengan tatapan biasa-biasa saja. Ia menjadi semakin yakin jika dirinya tidak lebih dari setitik debu, yang selalu menempel pada Kai kemana pun pria itu per