Share

4. Sepuluh Miliar

“Apa maumu?”

Ia berucap sarkas, yang sayangnya malah mengundang kekehan kecil sehingga membuat dirinya mendengkus.

“Kau memang tidak pernah berubah … Thalia,” ujar pria itu nyaris terdengar seperti bisikan.

“Tidak ada Thalia di sini. Kau mengenali orang yang salah.”

Nathalie mempertahankan wajah datarnya. Sekilas, ia sempat melihat jika Kai yang kini beranjak dari tempat duduk itu menaikkan salah satu alis.

“Siapa pun namanya, aku tidak peduli. Karena kalian adalah orang yang sama.”

Seringai yang ditampilkan oleh pria yang berjarak beberapa langkah darinya itu sama sekali tidak berubah. Tiga tahun tidak bertemu, ia masih tetap sama, baik sifat maupun tindakannya.

Dan sialnya lagi, dirinya terjebak di sini dan tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa sadar, kedua tangannya telah mengepal erat.

“Aku bisa melaporkanmu atas tindakan kurang ajar ini,” ancamnya.

Tidak merasa takut. Kai yang ada di hadapannya itu masih tetap tenang, ia bahkan semakin menaikkan seringainya kala melihat wajah Nathalie yang memerah. Bukan, bukan memerah karena salah tingkah atau malu. Sebaliknya, wanita itu mati-matian sedang menahan emosi yang siap meletus.

“Laporkan saja,” balasnya seringan kapas.

Sementara Nathalie mendecih. Ancaman sekelas teri darinya tidak akan berpengaruh pada pria arogan seperti Kai. Di negara ini, siapa pun yang memiliki kuasa dan jabatan tinggi, tidak perlu mencemaskan sesuatu dalam hidupnya. Semuanya uang yang berbicara.

“Buka pintunya, dan aku akan melupakan masalah ini," putus Nathalie pada akhirnya. Ia menaikkan salah satu alis ketika melihat Kai bergerak, membuka laci meja kerjanya, merogoh sesuatu dari dalam sana dan tidak melepaskan pandangan darinya.

“Kuncinya ada padaku … kau harus mengambilnya sendiri jika ingin keluar. Dan tentu saja itu tidak akan mudah," ujarnya dengan nada yang membuat Nathalie merasa muak.

Si berengsek ini.

Nathalie tidak berencana untuk terkurung di sini terlalu lama. Terlebih pada ponselnya yang sedari tadi bergetar. Atasannya terus menghubungi, dan ia tidak memiliki cara lain selain mengikuti permainan yang dimulai oleh pria menyebalkan ini.

“Apa maumu?” 

Untuk yang kedua kalinya, ia kembali melayangkan kalimat yang sama.

“Sejak tadi kau belum menyebut namaku, apakah kau telah lupa?”

Demi Tuhan, pertanyaan konyol apa lagi ini, batin Nathalie menjerit.

“Kau beruntung. Namamu terlalu pasaran sehingga aku mudah mengingatnya.”

Kai menghela napas pendek. “Tiga tahun tidak bertemu, beginikah caramu menyambutku?”

Nathalie tidak sadar jika ia menautkan kedua alisnya hingga hampir menyatu. Tidak mengerti mengapa tiba-tiba Kai berucap omong kosong seperti ini. Pria itu bukan keluarganya, apalagi kekasihnya. Haruskah dirinya antusias saat mendengar kabar kembalinya dia?

“Aku tidak memiliki waktu untuk mengurusi hal-hal tidak penting,” balasnya datar.

“Kau boleh pergi setelah menyetujui ajakan makan malam denganku,” kata pria itu seraya memainkan kunci yang ada di tangannya. Memutar-mutarnya dengan tenang.

“Itu paksaan?”

CEO muda itu menggeleng. “Tidak. Ini perintah.”

“Aku tidak dapat membedakan keduanya.”

“Keduanya terdengar mirip? Semua perintahku bersifat memaksa, kau tak dapat menyangkal.”

“Kau pria berengsek.”

Kai terkekeh pelan. “Itu nama tengahku.”

Wanita itu membuang napas kasar. Ia mengangkat ponselnya yang sedari tadi terus bergetar.

“Ya, Aris?” Ia melirik ke arah pria yang ada di depannya itu sejenak. “Aku akan kembali dalam sepuluh menit,” balasnya pada seseorang yang ada di seberang telepon.

Pip.

Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Menatap bosan pada pria yang kini sedang menyeringai licik padanya.

“Berikan kuncinya padaku.”

“Kau tidak akan pernah menyesali keputusanmu.” Kai menipiskan bibirnya. Detik berikutnya, dengan santainya ia melempar kunci di tangannya yang berhasil ditangkap Nathalie dengan mudah. Diam-diam ia memuji kecakapan wanita itu.

Nathalie menatap pria itu sinis. Tanpa mengucap sepatah kata, ia segera berbalik dan membuka pintu yang terkunci dengan sedikit terburu-buru.

“Jam delapan malam, restoran yang biasa kita datangi.”

.

.

.

Nathalie tidak pernah percaya dengan yang namanya keberuntungan, karena dia tidak pernah merasakan apa arti dari kata tersebut dalam hidupnya. Seperti sekarang, dengan dress hitam selutut yang ia kenakan, dan sepatu dengan hak rendah ia mulai berjalan memasuki restoran yang ada di depan matanya. 

Dari sekian dress yang ia punya, dirinya lebih tertarik untuk memakai warna hitam. Terkesan tenang sekaligus menantang. Sehingga mengundang beberapa pasang mata untuk meliriknya, sekadar membatin atau menatap dirinya aneh. 

Dari kejauhan, ia dapat melihat Kai yang duduk dengan pandangan keluar, menatap pemandangan malam lewat kaca bening di sebelahnya. Tak lama kemudian ia menoleh, menyadari kehadirannya. 

"Aku pikir kau tidak akan menepati janji." 

Nathalie mendengkus samar. "Aku tidak pernah mengingkari janji, apalagi berbohong." 

Dalam beberapa saat, Kai tampak terdiam. 

"Makanlah," ujarnya beberapa detik kemudian.

Nathalie menatap steak lada hitam yang ada di meja dengan tatapan gamang. Kai masih mengingat makanan kesukaannya. Dan tidak ingin berpikir lebih dalam, tanpa basa-basi ia segera mengulurkan tangannya, menikmati steak yang tersaji sesegera mungkin. Agar cepat keluar dari tempat ini. 

Diam-diam Kai memandangi wanita yang ada di depannya dengan penuh. Nathalie terlihat lebih kurus dari tiga tahun lalu. Entah dia sedang diet atau memang terlalu memikirkan banyak hal. 

"Apa?" 

Kai terperangah, ia tertangkap basah sedang memperhatikan wanita itu yang baru akan menyuapkan potongan steak ke dalam mulut. 

"Hn?" 

Menggelengkan kepalanya pelan, Nathalie lantas mengambil gelas berkaki yang ada di sampingnya dan meminum isinya beberapa teguk.

"Katakan saja apa tujuanmu, kau bukan orang yang suka berbasa-basi dan mengajak makan malam tanpa alasan." 

Kai tersenyum samar. Wanita ini masih sangat mengerti dirinya. Membuatnya tidak dapat bersembunyi lagi. Ia menegakkan bahu, mengambil sebuah kertas dari balik saku dalam jasnya dan meletakkannya di meja. Tepat di depan Nathalie.

Wanita itu menatap datar kertas cek dengan angka nol yang mendominasi. Kemudian tatapannya beralih pada Kai yang kini melipat kedua tangannya dengan angkuh.

"Sepuluh miliar. Aku akan memberimu kesempatan untuk kembali padaku." 

Sesaat, alis Nathalie berkerut, dirinya tidak tahu harus berkata apa. Tanpa sadar ia sudah meremas ujung dressnya.

"Bagaimana kau bisa mengatakan hal itu dengan mudah? Kau lupa jika dirimu masih memiliki seorang kekasih, Kai?"

Untuk pertama kalinya. Wanita itu memanggil nama pria yang ada di hadapannya setelah beberapa tahun berlalu. 

"Kau takut jika Angelista akan cemburu? Tenang sa—"

"Tidak. Untuk apa aku harus mengkhawatirkan hal bodoh itu? Selain itu, bukankah kau yang akan terkena dampaknya? Bagaimana jika ia memutuskanmu dan lebih parahnya lagi, dia menamparmu? Hubungan kalian akan berakhir sia-sia. Dia adalah wanita terbaik dalam hidupmu." 

Kai menyeringai tipis. Setipis mungkin sehingga Nathalie tidak menyadarinya. 

"Jika itu yang kau masalahkan, maka tenang saja, dia sangat mengerti diriku. Dan, dia tidak akan pernah menamparku, dia wanita lemah lembut," balas Kai menekankan setiap kata-katanya. 

"Jadi ... kau akan menyetujuinya?" lanjut pria itu. Menggapai wine miliknya dan menyesapnya perlahan. Membiarkan wanita yang masih terdiam itu berpikir. 

Nathalie tiba-tiba tersenyum. Tangannya terulur untuk mengambil cek tersebut. Dan Kai tidak dapat untuk tidak semakin melebarkan seringainya. 

"Apa kau tahu? Ada beberapa wanita yang tidak menyukai cara rendahan seperti ini." Ia membolak-balikkan cek yang ada di tangannya dengan hati-hati. 

Membuat pria yang ada di hadapannya menipiskan bibir. "Dan kau bukan termasuk salah satunya, kan?" 

Wanita itu mengangguk. "Aku memang bukan salah satunya ..." 

Ia memandang Kai dengan tatapan dingin.

"... dibanding dengan sebutan rendahan. Aku lebih merasa jijik dengan caramu. Sangat menjijikkan sehingga aku ingin kembali menamparmu ... seperti dulu." 

Meski agak terkejut, namun Kai dapat menyembunyikan ekspresinya dengan pintar. Ia tidak percaya jika Nathalie akan merobek cek yang ada di tangannya dengan tenang. Lalu memasukkan potongan kertas itu ke dalam gelas wine miliknya. 

Wanita itu tersenyum puas. 

"Aku masih berbaik hati memberimu muka dan tidak menyiram wine itu ke wajahmu. Jangan pernah berharap lebih. Di mataku yang sekarang, kau tidak lebih dari seorang pria berengsek." 

Ia beranjak dari tempat duduknya. Menyahut tas tangannya dan melangkah pergi dari restoran ini.

"Nikmati sepuluh miliarmu. Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi ..." 

Ia berhenti sejenak di samping Kai.

"... bedebah." 

Dan yang terdengar setelah itu hanyalah suara sepatu Nathalie yang perlahan mulai menjauh. Meninggalkan Kai yang masih tak berkutik di tempat. 

Pandangannya tiba-tiba menggelap. Diraihnya ponsel keluaran terbaru miliknya yang ada di atas meja dan menghubungi seseorang.

"Lakukan, dalam lima menit," desisnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
kenapa Kai? gapunya muka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status