Share

Adimas Sagala Kembali

Jika semua orang terperangah dengan kedatangan laki-laki itu, Annisa sudah lebih dulu merasakan kakinya dingin dan melemas. Pikirannya bercampur aduk tidak karuan ketika tatapan matanya dengan laki-laki itu bertemu satu sama lain.

 

“Dimas? Dia Adimas, kan? Adimas datang?”

 

“Ya ampun, Adimas tambah ganteng! Aku mau nyapa dia!”

 

“Adimas, apa kabar? Masih kenal aku, nggak?”

 

Banyak pertanyaan dan sapaan tertuju pada sosok laki-laki di depan pintu masuk. Baik itu teman laki-laki ataupun perempuan, semuanya seperti tersihir dengan kedatangan Adimas Sagala.

 

Dia adalah salah satu alumni SMA Tunas Murni seperti yang lainnya, tapi Dimas (sapaan akrabnya) adalah bintang sesungguhnya di acara reuni ini selain Annisa. Dia siswa berbakat yang selalu mendampingi Annisa di berbagai situasi. Ya, dia adalah laki-laki yang terus ingin disebutkan oleh Novellin tadi.

 

Adimas Sagala, putra tunggal keluarga Sagala yang memiliki perusahaan terkaya di deretan 5 perusahaan tersukses di Indonesia. Sagala Corporation bergerak di banyak bidang usaha seperti bisnis properti, pembangunan gedung pencakar langit di berbagai kota besar, dan beberapa perusahaan E-Commmerce serta pertambangan nikel.

 

Dimas adalah laki-laki yang meninggalkan Annisa tepat setelah kelulusan SMA mereka. Dimas menghilang tanpa kabar setelah memutuskan hubungan mereka yang terjalin sejak kelas 10. Cinta monyet yang melegenda se-antero SMA Tunas Murni itu harus diakhiri dengan alasan yang jelas, dan itu sudah menjadi rahasia umum.

 

Latar belakang keluarga mereka yang bagaikan langit dan bumi jelas tidak bisa disatukan. Adimas adalah calon Presiden Direktur Sagala Corporation, sedangkan Annisa hanya gadis biasa yang tumbuh bersama keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Sudah jelas sekali perbedaan di antara mereka tidak bisa disatukan dengan hanya satu perasaan, Cinta.

 

‘Kenapa saat aku udah mulai berdamai sama diriku sendiri, kamu malah datang di depanku? Kenapa kamu nggak menghilang selamanya aja? Kenapa balik lagi dan tatap aku sama kayak dulu?’

 

‘Aku harus sumpah demi apa buat mastikan ke kamu kalau hatiku sakit lihat kamu?’

 

Bulir air mata tidak kuasa mengalir dari mata merah Annisa saat memandang lekat sosok Adimas.

 

“Sumpah, demi apa gue baru ngomongin dia, tapi orangnya malah langsung nongol di depan kita?” Novellin meracau tidak jelas tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Adimas yang dikerumuni rekan seangkatan mereka seperti gula yang diserang kawanan semut.

 

“Lin, gue mau ke toilet dulu bentar,” ucapnya dengan nada bergetar tanpa menoleh pada Novellin. Tapi sahabatnya itu tahu kalau kepala Annisa yang tertunduk adalah bukti kalau jiwanya terguncang melihat Adimas.

 

Sementara itu dari tempatnya berdiri, bayangan Annisa terus memancing tatapan Dimas untuk terus mengikuti sosok Annisa ke manapun berada.

 

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman hangat, begitu juga hatinya.

 

‘Aku pulang, Nis. Aku kangen banget sama kamu,’ ucapnya lirih dalam hati.

 

Di dalam toilet khusus perempuan...

 

“May, sorry ya. Gue mau oleng ke Adimas. Gue nggak tahan lihat Adimas yang ganteng banget. Tau nggak Lo? Adimas udah kayak yang di iklan parfume AXO itu. Kayak bidadara yang jatuh ke bumi. Heran gue, nggak dulu, nggak sekarang, kenapa gantengnya malah makin nggak manusiawi gitu?”

 

“Nggak heran gue sama Lo yang nggak nyerah dari dulu walau dicuekin terus sama si Adimas,”

 

“Iya, bener. Gue nih, ya. Kalau aja si Adimas kedipin matanya ke gue sekali aja, mungkin gue udah langsung diboyong ke IGD, hahaha!”

 

“Tenang di tempat duduk masing-masing. Jangan ada yang berani godain Adimas, dia punya gue, tau!” kali ini Maya, perempuan cantik dengan postur tubuh semampai, menjawab ejekan dua temannya ketika mereka baru tiba di toilet.

 

“Gue ingetin, ya, sama Elo berdua. Mungkin dulu Adimas nggak noleh ke gue karena ada Annisa si ganjen. Tapi mereka udah putus lama dan kita semua pada tau kalau Adimas disimpen bokap nyokapnya ke Amerika buat ngelepasin peletnya si Annisa,”

 

“Peletnya si Annisa udah nggak mempan. Udah nyeberang berapa benua coba? Jelas kali ini gue yang bakalan dapetin Adimas,”

 

“Lagian si ganjen itu dari dulu sampai sekarang nggak guna banget. Masa iya tetep kampungan gitu gayanya? Cowok dia dokter, kan? Emangnya dia nggak bisa morotin duit cowoknya buat dandan, skin care, atau shoping gitu? Noraknya meng-abadi, jijik Gue!”

 

Di depan dua teman dekatnya Maya selalu percaya diri. Terlebih untuk membandingkan dirinya dengan Annisa yang dicintai Adimas sejak mereka masih sangat muda. Tapi pepatah tentang Cinta Pertama adalah momen yang paling berkesan di setiap hati manusia memanglah benar, dan Maya tidak akan membiarkan Adimas yang baru kembali dari Amerika datang ke Annisa lagi.

 

Setelah men-touch-up make-upnya, Maya tersenyum bangga dengan paras cantiknya, “Udah cantik, ayo balik ke aula. Gue nggak sabar pengen ngajak ngobrol Adimas. Dari tadi belum kebagian ngobrol saking populernya itu si Pangeran Sagala,”

 

“Yuk, cabut!”

 

Tiga perempuan muda dengan latar belakang keluarga yang hampir setara itu meninggalkan toilet dengan cacian untuk Annisa. Tanpa mereka tahu kalau istilah dinding memiliki telinga itu ada.

 

Ketiganya tidak tahu kalau Annisa saat ini sedang duduk di atas kloset yang tertutup sambil terus tersenyum miris mendengar gosip tentangnya.

 

‘Kenapa nyalahin gue kalau Elo nggak dilihat sama dia?’

 

Ia tidak tahu harus senang atau sedih karena pembicaraan mereka, karena dulu Adimas memang begitu memujanya bak bidadari. Adimas pacar setia yang bahkan mengacuhkan orang di sekitarnya ketika mereka berdua.

 

Setelah merasa di luar bilik kloset sudah hening, Annisa keluar, dan benar saja, sudah tidak ada orang sama sekali di sana.

 

Annisa berdiri di depan cermin besar yang terpampang di sepanjang wastafel ada. Ia membasuh wajahnya dengan maksut mendinginkan matanya yang panas agar tidak meneteskan air mata lagi.

 

“Cukup, mata. Jangan buat gue lemah. Tolong dong, bisa nggak buat air mata gue nggak turun? Gue bakalan kelihatan jadi cewek cengeng nanti,”

 

Sambil mengeringkan air di wajahnya dengan tissu yang tersedia di samping wastafel, Annisa kembali bergumam.

 

“Pangeran Sagala udah pulang, jadi apa hubungannya sama gue? Nggak ada. Dia bukan siapa-siapa gue. Tolong ya hati, mata, sama otak. Tolong banget kerja samanya,”

 

Seakan semua indra yang disebutkannya mengerti, Annisa berusaha berpikiran jernih agar ia tidak terbawa suasana dengan hadirnya Adimas di sana.

 

“Oke. Habis nyapa Pak Rangkuti gue langsung balik aja deh. Gue nggak mau ketemu dia lama-lama. Sakit hati gue nggak ditanggung BPJS, kan?” gumamnya sambil tersenyum miris sambil memastikan wajahnya tidak basah lagi, dan matanya sudah bebas dari rasa haru.

 

Annisa keluar dari toilet dan kembali ke aula reuni. Setelah kembali, ia melihat ke arah meja yang saat ini lebih ramai daripada meja-meja lainnya, karena memang Pak Rangkuti merupakan guru yang popular di sekolah mereka itu.

 

“Annisa, sini!” Di sana juga ada Novellin yang melambaikan tangannya memanggil Annisa untuk bergabung.

 

Annisa mendekat ke meja sana dan ketika tiba, matanya tidak bisa beralih dari pandangan Dimas yang seakan meminta sapaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status