Home / Rumah Tangga / Mantanku, Kakak Iparku / 3 Percobaan Bunuh Diri

Share

3 Percobaan Bunuh Diri

Author: Setia_AM
last update Last Updated: 2024-05-24 12:36:38

Kata-kata mereka yang terakhir membuat Deo reflek menghentikan langkahnya, dan mencoba menyeberangi jalan, tepat di lokasi orang itu berdiri.

TIINN! TIINNNN!

Deo berlari, menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang melaju dan dengan sekuat tenaga didorongnya orang itu hingga mereka berdua terpental bersama ke atas trotoar.

“Aduuhhh ...”

“Sakit ...”

Deo menoleh ke orang yang tadi sengaja menantang maut di tengah jalan.

“Lo nggak papa?” katanya.

Orang itu menoleh, dan memandang Deo dengan galak.

“Heh, lo ngapain sih pakai dorong gue? Gue kan jadi batal mati!” ketusnya.

Deo termangu sejenak, orang di depannya ini ternyata cewek. Dan dia sangat tidak terima ketika Deo mengentaskannya dari kematian.

“Maaf, elo waras?” tanya Deo ragu-ragu. “Elo baru aja diselametin dari maut, lho.”

“Gue nggak ulang tahun, jadi nggak usah pake selametan segala!” ketus cewek itu.

Beberapa orang pejalan kaki mendekati mereka.

“Dek, kalian ngapain sih? Bahaya tahu?”

“Untung nggak sampe kecelakaan, lain kali jangan sembrono.”

Deo meringis malu, sementara cewek di sebelahnya manyun menahan kekesalan.

“Padahal kurang dikit lagi,” keluhnya ketika orang-orang sudah berlalu pergi. Cewek itu bangkit berdiri lalu duduk di tepi trotoar.

Deo mengelus-elus sikunya yang terhantam aspal.

“Dikit lagi apanya?” tanya Deo, ikut duduk di tepi trotoar. Sikunya mulai nyut-nyut tidak keruan.

“Dikit lagi gue mati,” kata cewek itu. “Kalo elo nggak tiba-tiba muncul, gue pasti masih bisa mati ditabrak truk atau bus.”

Deo menarik napas.

“Jadi lo nggak beryukur nyawa lo masih utuh?”

“Enggak! Lagian gue heran banget, kenapa dari tadi gue berdiri di tengah jalan rame, tapi truk-truk itu masih bisa ngehindarin gue ...” keluh cewek itu lagi. “Gue pikir mati itu gampang, ternyata jauh lebih susah daripada yang gue kira.”

Deo memandangnya dengan heran. Cewek itu membuka hoodie yang menutupi kepalanya.

“Apa gue segitu nggak pantesnya buat mati?” Keluhan-keluhan itu terus mengalir dari mulutnya.

“Gue jadi kepo, alasan apa sih yang bikin lo segampang itu buat bunuh diri?” tanya Deo ingin tahu.

“Lo nggak bakal paham,” decak cewek itu. “Karena lo nggak di posisi gue.”

“Makanya gue jadi kepo,” komentar Deo. “Alasan masuk akal apa yang bikin elo rela mengakhiri hidup lo sendiri? Biar kalo suatu saat gue ada di posisi lo, gue nggak bakal ngelakuin apa yang lo lakuin tadi.”

Cewek itu bertopang dagu dan terdiam cukup lama.

“Gue baru diputusin,” katanya dengan pandangan menerawang. “Alasan sepele, baginya pacaran itu nggak terlalu serius dan bisa diakhiri kapan aja. Padahal sejak awal gue jadian sama dia, gue berusaha tulus dan serius ngejalaninnya.”

Deo terdiam selama cewek itu bercerita.

“Lo pasti mikir kalo alasan gue ini juga sepele kan?” ketus cewek itu. “Lo nggak ada di posisi gue sih, makanya lo nggak bakal paham apa yang lagi gue rasain. Lo pasti mikirnya gue labil, cengeng, lemah ...”

“Nggak juga,” sahut Deo kalem. “Gue ngerti kok gimana rasanya diputusin.”

Si cewek memandangnya tidak percaya.

“Lo nggak ngalamin apa yang gue alami, gimana bisa lo tau rasanya?”

Pandangan Deo menerawang ke langit yang menghitam karena mendung.

“Lo pacaran udah berapa lama?” katanya.

“Tiga tahun,” jawab si cewek.

“Gue udah pacaran lima tahun lamanya, hari ini mestinya gue sama dia ngerayain anniversary kami yang kelima.” Deo bercerita.

“Wah, selamat deh!”

“Tapi siang tadi gue justru diputusin sama dia,” sela Deo. “Gue diputusin karena dia mau dinikahin sama ortunya. Dan barusan gue dari nganterin kakak gue lamaran di rumah tunangannya.”

Mata cewek itu mengerjab heran.

“Apa hubungannya lo diputusin sama kakak lo lamaran?” katanya tidak mengerti.

“Hubungannya adalah ...” Deo menggantungkan kalimatnya sementara gerimis kecil-kecil mulai turun. “Ternyata kakak kandung gue sendiri yang akan menikahi mantan cewek gue. Makanya siang tadi gue diputusin.”

“Apa? Yakin lo?” sahut cewek itu terkejut.

“Yakin lah, mata gue kan masih normal. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri saat kakak gue masangin cincin lamaran itu ke jari tangan mantan gue,” ujar Deo, satu tangannya terulur menengadah ke depan, membuat tetesan air hujan itu tertampung di tangannya.

“Elo kuat lihatnya?”

“Dikuat-kuatin lah, gue nggak mau mohon-mohon dia supaya batalin pertunangannya sama kakak gue,” kata Deo tenang.

“Tapi kan elo masih bisa nyegah ...”

“Kalo dia udah tega mutusin gue buat orang lain, itu tandanya dia nggak beneran serius sama gue. Ngapain gue kejar lagi?” tukas Deo. “Buang-buang waktu aja.”

Cuaca saat itu seolah mewakili perasaan Deo yang terluka. Tidak tanggung-tanggung, hujan yang semula hanya rintik-rintik kecil mendadak turun lebih deras dan mengguyur semua yang masih berada di jalan.

“Elo nggak marah sama kakak lo itu?!” tanya si cewek dengan suara keras, mengimbangi suara air hujan yang menghantam jalanan.

“Kalo gue marah sama dia, itu artinya gue nggak bisa nerima kenyataan!” jawab Deo setengah berteriak. “Ngapain gue mati-matian mempertahankan orang yang nggak serius sama gue?! Kalo emang dia jodohnya sama kakak gue, gue bisa apa?!”

Cewek itu mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan.

“Lo yang sabar, ya!”

“Stok sabar gue luber-luber kayak hujan ini, kok! Tenang aja!” Deo berdiri dari duduknya dan menengadahkan wajahnya ke langit. Tetesan-tetesan besar air hujan menampar kulitnya dengan keras, seakan sedang membangunkannya untuk menerima kenyataan pahit itu.

“Neduh, yuk?!” ajak si cewek. “Hujannya deres banget, gue kedinginan!”

Deo menoleh dan mengangguk setuju. Cewek itu berjalan mendahuluinya ke tepi, sementara Deo mengikutinya dari belakang.

Mereka berdua mencari tempat yang bisa dipakai untuk berteduh sementara. Saat cewek itu melihat ada pos ronda yang letaknya tidak begitu jauh di perkampungan warga, mereka berdua memutuskan untuk berteduh di sana.

“Udah mau maghrib, nih ...” kata Deo sambil duduk di tepi. “Lo nggak langsung pulang?”

“Entar aja,” sahut si cewek. “Gue lagi males ke mana-mana. Tujuan gue semula kan mau mati. Tau-tau lo dateng gitu aja ...”

Deo menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mati terus yang lo pikirin,” komentarnya. “Kalo mau bales dendam sama mantan, yang pinter dikit lah. Buktiin ke dia kalo elo masih bisa hidup lebih baik tanpa dia.”

“Tapi gue masih cinta sama dia ...”

“Kalo dia nggak cinta, lo mau apa?” kata Deo lugas. Dia menggeser tubuhnya lebih dalam ke pos ronda agar lebih hangat.

Ketika cewek itu menoleh dan melihat Deo menyandarkan tubuhnya dengan sangat nyaman di pos ronda, dia ikut bersandar sisi satunya. Mereka berdua saling berhadapan, namun terdiam memandangi hujan dengan pikiran masing-masing.

Hujan yang terus turun membuat rasa kantuk datang menyerang, sampai akhirnya tanpa sadar mereka tertidur di dalam pos ronda.

Bersambung—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantanku, Kakak Iparku    99 Izinkan Aku Menjadi Istri Suamimu

    Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit

  • Mantanku, Kakak Iparku    98 Dikira Kumpul Kebo

    Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren

  • Mantanku, Kakak Iparku    97 Anggap Saja Malam Pertama

    “Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad

  • Mantanku, Kakak Iparku    96 Fokus sama Hubungan Kita

    “Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu

  • Mantanku, Kakak Iparku    95 Kecoa Membawa Berkah (2)

    “Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang

  • Mantanku, Kakak Iparku    94 Kecoa Membawa Berkah

    “Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status