Home / Rumah Tangga / Mantanku, Kakak Iparku / 9 Freya Mendadak Muncul

Share

9 Freya Mendadak Muncul

Author: Setia_AM
last update Last Updated: 2024-06-06 15:30:06

“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...”

“Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?”

“Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.”

“Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran.

“Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?”

“Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...”

“Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?” kata Deo sambil merebahkan tubuhnya ke tempat tidur Veren. “Gue ngantuk berat.”

“Eh Yo, jangan lama-lama tidurnya!” seru Veren. “Gue nggak bebas mau ngapa-ngapain kalo ada elo di kamar gue.”

“Ya ampun, Ver! Pas elo nebeng di rumah ortu gue aja gue perlakuin lo ibarat ratu, lho.” Deo memprotes. “Masa sekarang gue numpang tidur bentar aja dilarang?”

“Ya udahlah.” Veren manyun. “Tapi lo jangan berantakin isi kamar gue, ya, Yo? Jangan megang-megang benda apa pun tanpa seizin gue. Lo tau lah yang namanya cewek pasti privasinya lebih luas.”

Tidak ada sahutan. Veren menoleh dan melihat Deo sudah terkapar dan tidur pulas di kasurnya.

***

Serapat apa pun Deo berusaha menyembunyikan status pernikahannya yang mendadak, tetap saja berita itu terendus juga ke beberapa temannya di kampus.

“Kok lo berani banget nikah di usia dini, Yo?” tanya Septian, salah satu kawan sekelas Deo di fakultas pertanian.

“Daripada gue cuma ngejagain jodoh orang mulu, Sep.” Deo beralasan. “Mendingan gue kawinin sekalian, ngurangi dosa ...”

Septian mengangguk paham.

“Kok ya kebetulan Freya mau lo kawinin?” komentarnya.

“Bukan sama Freya, gue kan udah putus sama dia dua minggu sebelum gue nikah sama isteri gue yang sekarang,” kata Deo menjelaskan. “Lo laper nggak, Sep? Makan ayam penyet, yuk?”

“Ayok lah!” Septian menyambut ajakan Deo dengan penuh semangat.

Saat mereka berdua akan pergi meninggalkan tempat tongkrongan mereka, Freya mendadak muncul dari belokan tangga dan menghampiri Deo.

“Kamu masih ada kelas nggak, Yo?” tanya Freya ingin tahu.

“Ada Kak, padet banget malah!” jawab Deo buru-buru.

“Eh Yo, kita kan cuma ada dua ... aduh!” Septian merintih tertahan ketika siku Deo menyabet rusuknya.

“Ya udah, Kak. Aku sama Septian pergi dulu,” pamit Deo sambil bergegas menarik bahu Septian agar mengikutinya.

Freya tidak menyangka penolakan terang-terangan yang ditunjukkan Deo kepadanya barusan.

“Yo, kok buru-buru banget, sih?” protesnya sambil membuntuti Deo dan Septian yang belum begitu jauh. Freya membuntuti keduanya sampai ke warung ayam penyet depan kampus mereka.

Deo pura-pura tidak menyadari kalau Freya mengikutinya. Dia dan Septian asyik makan sampai cewek itu datang mendekat ke meja mereka.

Ketika makanan sudah hampir habis, ponsel Deo berbunyi. Cowok itu memeriksa ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Kemudian cepat-cepat dibereskannya ayam penyet itu sampai ludes.

“Sep, gue duluan ya. Istri gue minta dijemput!” seru Deo sambil meninggalkan selembar uang kertas seratus ribuan di atas meja. “Bayar punya lo sekalian, deh!”

“Thanks, Yo!” Septian mengangkat jempolnya.

Deo bergegas pergi dan melewati Freya begitu saja.

“Deo, tungguin gue dong!” Cewek itu bersusah payah mengejarnya.

“Apa lagi sih, Kak?” kata Deo sebal. “Nggak lihat apa orang lagi buru-buru gini?”

“Tadi kamu bilang ada kelas, kenapa sekarang tiba-tiba cabut?” tanya Freya berusaha mengimbangi langkah kaki Deo.

“Mau nyamperin istri, Kak. Siapa tau dia kenapa-napa, kan kasian.” Deo menjawab apa adanya.

“Tapi sikap kamu ke aku jangan nyelekit kayak gini juga,” protes Freya. “Biasa aja kenapa, kayak nggak pernah terjadi apa-apa gitu ...”

“Nggak terjadi apa-apa, Kakak bilang?” Mendadak Deo menghentikan langkahnya. “Justru itu aku pengin jaga jarak sejauh mungkin dari Kakak, karena statusku sekarang udah jadi suami orang. Kakak juga bentar lagi nikah sama Kak Aro, kan? Jadi mending kita nggak usah ketemuan lagi.”

Setelah mengeluarkan uneg-unegnya, Deo bergegas pergi meninggalkan Freya sendirian.

***

Veren menekuk wajahnya ketika Deo menghampirinya di kampus.

“Lo ‘napa?” tanya Deo heran sambil duduk di sampingnya.

“Gue tadi ketemu mantan gue, Yo ...” curhat Veren sendu.

“Gue juga ketemu terus sama kakak ipar, orang kita sekampus.” Deo mengangkat bahunya. “Masalahnya di mana? Wajar kalo sekampus jadi sering ketemu, kan?”

“Masalahnya dia ngatain gue, Yo. Di depan cewek barunya pula,” kata Veren memberitahu. “Mantan gue bilang kalo gue mendadak nikah karena bunting duluan, terus dia sesumbar katanya bersyukur banget putus sama gue. Bentar lagi anak-anak kampus pasti bakal gosipin gue juga.”

“Mantan lo busuk juga, ya,” komentar Deo. “Elo mestinya lebih bersyukur udah putus dari dia.”

“Bersyukur sih bersyukur, Yo. Tapi masalahnya entar gue dikira hamil sama anak-anak kampus,” protes Veren gelisah. “Padahal kan nggak kek gitu kejadian sebenernya.”

“Ya udah, lo jelasin aja ke orang-orang yang masih mau dengerin.” Deo menyarankan. “Buat yang nggak percaya, lo biarin aja. Entar lewat sembilan bulan, pasti mereka bungkam sendiri.”

Veren menarik napas.

“Kelamaan kalo nunggu sembilan bulan, Yo. Enam bulan aja udah kelihatan kok kalo beneran hamil,” ujarnya tidak bersemangat.

“Nah, itu lo yang lebih tau daripada gue.” Deo menukas. “Entar juga kalo udah lewat masa itu terus mereka lihat elo nggak terbukti hamil, pasti mereka malu sendiri. Udah lah Ver, nggak usah terlalu mikirin hal-hal yang belom tentu kejadian.”

Veren manggut-manggut.

“Iya deh, Yo. Makasih ya, elo udah mau nyamperin gue sampe kampus,” ucapnya sambil tersenyum. “Oh iya, emang lo nggak ada kelas?”

“Ada, udah kelar kok. Lagian juga gue sengaja mau ngehindarin kakak ipar,” kata Deo sambil mengeluarkan ponselnya. “Bukannya gue kegeeran sih, Ver. Tapi gue ngerasa dia itu masih aja berusaha deketin gue. Padahal kan dia udah mau nikah sama kakak gue sendiri.”

“Kali aja dia mau lebih akrab sama calon adik iparnya,” komentar Veren.

“Ngapain lagi mesti diakrabin?” tukas Deo tidak mengerti. “Dia kan udah kenal gue lebih dari lima tahun. Lagian kalo mau akrab-akraban, mestinya di depan Kak Aro sekalian. Bukannya di belakang kek gini.”

Veren kelihatan sedang berpikir keras.

“Atau kalo nggak, mungkin dia lagi celebek-celebek sama lo, Yo!” cetusnya sok tahu.

“Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”

Bersambung—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantanku, Kakak Iparku    99 Izinkan Aku Menjadi Istri Suamimu

    Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit

  • Mantanku, Kakak Iparku    98 Dikira Kumpul Kebo

    Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren

  • Mantanku, Kakak Iparku    97 Anggap Saja Malam Pertama

    “Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad

  • Mantanku, Kakak Iparku    96 Fokus sama Hubungan Kita

    “Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu

  • Mantanku, Kakak Iparku    95 Kecoa Membawa Berkah (2)

    “Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang

  • Mantanku, Kakak Iparku    94 Kecoa Membawa Berkah

    “Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status