Hujan deras mengguyur jalan tol di pinggiran kota. Lampu-lampu kendaraan memantul di permukaan aspal yang basah. Sebuah mobil SUV hitam berplat khusus melaju dalam keheningan malam, hanya ditemani suara wiper yang bekerja cepat dan hujan yang tak henti menghantam kaca depan.
Di balik kemudi, Pak Surya, sopir pribadi yang sudah belasan tahun mengabdi, tampak fokus menatap jalan.
Di kursi belakang, Tuan Besar Wiratama, pria berusia enam puluhan dengan raut tegas dan karisma yang kuat, tengah duduk bersama Pak Roni, ajudan kepercayaannya.
Pak Surya melirik kaca spion lalu berbicara pelan.
“Tuan, ada mobil SUV hitam yang mengikuti kita, sejak keluar dari pintu tol tadi.”Roni sang pengawal, menoleh cepat ke belakang, lalu meraih ponsel di saku jasnya.
“Plat nomor tak terdaftar di sistem pengawalan kita. Mau saya hubungi tim pengaman, Tuan?”“Tidak usah panik. Ini pasti orang-orang Dirga. Dia tak suka kita menangkan tender kota pintar minggu lalu,” ucap Tuan Besar menenangkan situasi.
“Mobil itu makin dekat, Tuan. Mereka pindah ke jalur kanan…”
Tuan Besar mencondongkan tubuh ke depan.
“Kalau mereka coba...!”Belum sempat Tuan Besar menyelesaikan kalimatnya, sebuah truk besar dari arah kanan menerobos pembatas jalur dan menabrak langsung sisi kanan mobil mereka.
Suara benturan logam yang memekakkan telinga mengoyak malam. Mobil itu terpental ke kiri, menghantam pembatas jalan hingga terguling dua kali sebelum berhenti terbalik di tengah jalur darurat.
Hujan masih mengguyur. Asap mulai mengepul dari kap mobil. Suara klakson mobil lain menggema bersahutan, memperlihatkan kepanikan para pengemudi lain yang menyaksikan kejadian tersebut.
Beberapa pengendara yang berhenti di bahu jalan langsung berlari ke arah mobil yang ringsek.
“Cepat, ada orang di dalam! Panggil ambulans!”
“Saya sudah telepon polisi! Ada tiga orang di mobil itu!”
Darah mengalir dari pelipis Tuan Besar yang terjepit di dalam. Kedua kakinya sama sekali tak bisa digerakkan. Roni yang duduk di samping Tuan Besar, tak sadarkan diri dengan luka robek di kepalanya. Pak Surya berusaha membuka pintu, meski tangan kanannya menggantung tak berdaya.
“Tuan… Tuan Besar…” panggil Pak Surya lirih.
“Hh… hubungi… Yono… Selamatkan cucuku.…” lalu hening, seiring dengan hilangnya kesadaran keduanya.
Nguuuiiiinggg.... Nguuuiiiinggg....
Sirene ambulans dan polisi akhirnya terdengar mendekat dari kejauhan, memecah hujan dan malam yang mencekam. Lampu-lampu darurat menyinari sisa-sisa benturan tragis yang baru saja terjadi.
****
Sinar matahari musim semi perlahan menyinari jendela apartemen Aluna di kota kecil yang tenang di Eropa Timur. Di dalam kamar, ponsel Aluna tiba-tiba bergetar di atas meja. Ia yang tengah membuat kopi pagi segera menghampiri, mengusap layar, lalu membaca pesan yang baru saja masuk.
Pesan dari Pak Yono, asisten pribadi kakeknya, hanya singkat, tapi cukup membuat jantung Aluna seakan berhenti berdetak.
“Nona Aluna, Tuan Besar kecelakaan. Sekarang sedang di UGD. Kondisinya kritis.”
Aluna membaca pesan itu dengan tangan gemetar.
“Ya Tuhan… Kakek…”Ia segera menekan tombol panggilan ke tempat kerjanya, suaranya bergetar namun tetap berusaha tenang.
“Halo, ini Aluna. Maaf, saya harus mengajukan cuti mendadak mulai hari ini. Kakek saya mengalami kecelakaan parah dan sedang kritis. Saya harus pulang ke Indonesia secepat mungkin.”
“Ya Tuhan, kami turut prihatin, Aluna. Ambillah waktu yang kamu butuhkan. Ajukan cuti melalui email. Semoga Kakekmu baik-baik saja.”
“Terima kasih banyak… Saya benar-benar menghargainya.”
Setelah menutup telepon, Aluna menahan air mata yang mulai menggenang. Ia membuka koper besar di sudut kamar dan mulai memasukkan pakaian, dokumen penting, dan foto kecil dirinya bersama Kakek dan orang tuanya, yang biasa ia simpan di samping tempat tidur.
Tangannya gemetar saat ia memesan tiket penerbangan tercepat ke Jakarta lewat laptopnya. Matahari mulai menghangat, tapi dadanya sudah seperti terbakar oleh cemas yang tak bisa diredakan.
Setelah koper selesai dikemas dan paspor dimasukkan ke dalam tas tangan, Aluna memanggil taksi menuju bandara. Di sepanjang perjalanan, ia memandangi langit cerah di luar jendela, sambil menggenggam erat liontin kecil peninggalan orang tuanya.
“Kakek… bertahanlah. Aku akan segera pulang. Tunggu aku…” bisik Aluna lirih.
Setelah perjalanan selama belasan jam yang melelahkan, akhirnya Aluna tiba di tanah airnya. Langit Jakarta mendung saat pesawat yang ditumpangi Aluna mendarat.
Udara panas dan lembab menyambutnya begitu keluar dari terminal bandara. Wajahnya terlihat letih, sorot matanya menyiratkan kecemasan yang tak bisa ditutupi.
Satu jam kemudian, Aluna tiba di rumah sakit tempat Kakeknya dirawat. Ia berlari kecil melintasi lorong rumah sakit dengan koper di belakangnya, napasnya memburu dan jantungnya berdegup tak menentu.
Di depan ruang ICU, Pak Surya dengan lengan kanan digips dan kepala yang masih dibalut perban, tengah duduk di kursi tunggu. Begitu melihat Aluna datang, pria itu berdiri perlahan dan menyapanya dengan suara pelan.
“Non Aluna…”
Aluna mendekat cepat dan memeluknya singkat.
“Pak Surya… Ya Tuhan, bagaimana keadaan Kakek dan Pak Roni?”“Saya… saya minta maaf, Non. Saya gagal menjaga beliau…” Pak Surya menjawab dengan suara serak, wajah yang dipenuhi luka menatapnya penuh penyesalan.
Aluna menggeleng, menggenggam tangan Pak Surya yang tak tergips.
“Tidak… Bukan salah Bapak. Tolong, ceritakan semuanya.”Pak Surya menarik napas panjang. Ia menjelaskan kronologi kecelakaan malam itu. Bagaimana mobil mereka disusul kendaraan mencurigakan, lalu tiba-tiba sebuah truk menabrak dari sisi kanan.
Ia sendiri pingsan sejenak, dan saat sadar, tubuhnya penuh luka, sementara Tuan Besar dan Pak Roni tak bergerak di tempat duduk mereka.
“Sampai sekarang… Tuan Besar masih belum sadar. Dokter bilang tulang belakangnya kena. Kalaupun sadar nanti… mungkin beliau tidak bisa berjalan lagi.”
Pak Surya menunduk, menahan sesak di dadanya.
“Dan Roni… Roni koma, Non. Otaknya membengkak. Sepertinya dia berusaha keras melindungi Tuan Besar dari benturan. Dokter masih terus memantau perkembangannya.”
Air mata Aluna jatuh tanpa bisa ditahan. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah pintu ruang ICU yang tertutup rapat, seolah berharap kakeknya akan muncul kapan saja, tersenyum dan memanggilnya seperti biasa.
“Kakek… Kakek harus kuat. Cucu Kakek sudah pulang. Aku di sini…” bisiknya dengan mata berkaca-kaca.
Di balik kaca ruang ICU, tubuh Kakeknya tampak terbaring lemah dikelilingi alat-alat medis. Wajahnya pucat, tapi masih menunjukkan sisa-sisa kewibawaan seorang pemimpin yang selama ini disegani banyak orang.
Di ranjang sebelah, Pak Roni juga tak bergerak, tertutup selimut hingga dada.
Ketika hujan mulai turun di luar jendela rumah sakit, Aluna duduk di bangku tunggu dengan pandangan kosong, doanya tak pernah putus dalam hati.
****
Kini Aluna duduk di dalam ruangan dokter dengan kepala tertunduk, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Namun, sebagai cucu dari seorang tokoh penting yang disegani di dunia bisnis dan politik, ia tahu betul kejadian ini terlalu janggal untuk disebut kecelakaan biasa.
Seorang dokter wanita berjas putih menghampirinya. Di balik masker medisnya, mata sang dokter tampak serius.
“Permisi, Anda keluarga dari Bapak Wiratama?”
Aluna segera berdiri dan mengangguk.
“Iya, saya cucunya. Bagaimana keadaan Kakek saya, Dok?”“Silahkan duduk, akan saya jelaskan," ucap sang Dokter.
Aluna kembali duduk dengan raut wajah cemas.
Dokter itu membuka map medis dan menunjukkannya sekilas pada Aluna, lalu menjelaskan dengan serius.
“Kondisi beliau masih belum stabil. Kami menemukan adanya trauma serius di bagian tulang belakang bawah. Bila nanti sadar, kemungkinan besar fungsi motorik kakinya sudah tak bisa kembali normal.”
Hening sejenak. Sebelum akhirnya dokter kembali melanjutkan.
“Kami juga sedang mengawasi potensi komplikasi lain, termasuk infeksi dari luka terbuka yang cukup dalam akibat pecahan kaca.”
Mendengar itu, Aluna menghela napas berat.
“Apakah Kakek saya bisa dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap? Mungkin di luar negeri?”“Untuk saat ini, tidak memungkinkan. Memindahkan pasien dalam kondisi koma dengan cedera tulang belakang bisa memperparah keadaan. Kita harus menunggu setidaknya sampai beliau sadar.”
Aluna mengangguk pelan. “Terima kasih dokter. Tolong berikan perawatan terbaik untuk Kakek saya dan Pak Roni. Jangan khawatirkan biayanya,” ucap Aluna penuh permohonan.
“Kami akan berusaha yang terbaik, Nona.”
Setelah itu Aluna melangkah keluar dari ruangan sang dokter. Berjalan menuju ke tempat Pak Surya yang masih menunggu dengan setia.
Ia menghampiri Pak Surya yang masih duduk diam dengan tatapan kosong. Seketika hatinya dipenuhi campuran emosi sedih, takut, dan… curiga.
“Pak Surya… Kakek punya musuh, ya?” tanya Aluna lirih.
Pak Surya mengangkat kepala perlahan.
“Banyak, Non. Terutama akhir-akhir ini, setelah proyek kota pintar di Kalimantan diumumkan. Banyak yang tidak senang dengan langkah-langkah Tuan Besar.”Aluna menatap lurus ke matanya.
“Bapak yakin ini bukan kecelakaan biasa?”Pak Surya terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Yakin, Non. Terlalu terencana. Saya... saya pikir ini serangan.”Aluna mengepalkan tangannya. Ia tahu, ia tak bisa hanya duduk menunggu. Ada yang harus diselidiki. Ia membuka ponsel dan mencari satu nama yang dulu sering membantu kakeknya menyelidiki kasus penting, Pak Derry, mantan penyidik swasta yang kini bekerja lepas.
Aluna mengirim pesan.
“Pak Derry, ini Aluna. Kakek kecelakaan, kemungkinan besar disabotase. Saya butuh bantuan Bapak.”
Tak lama, ponselnya bergetar. Balasan masuk.
“Di rumah sakit mana? Saya ke sana sekarang.”
Aluna segera mengirimkan lokasi keberadaannya.
Ia menatap ke luar jendela rumah sakit yang mulai basah oleh hujan. Dunia yang ia tinggalkan sementara di luar negeri, kini berganti dengan luka dan misteri. Tapi satu hal yang pasti, ia tak akan tinggal diam.
Langkah Aluna terhenti ketika melihat Reyhan sudah berdiri di dekat mobilnya, menunggunya dengan senyum yang tak biasa, senyum penuh kekaguman.Aluna mengernyit, menatapnya curiga.“Kamu lihat... apa yang aku lakukan tadi?”Reyhan mengangguk sambil menahan senyum. “Lihat dengan jelas, malah dari awal sampai akhir. Gerakanmu mulus sekali… refleksmu sangat bagus.”Aluna menyandarkan tubuh ke pintu mobil, menatapnya sambil menahan senyum.“Lucu ya, sebenarnya gerakan itu aku siapkan untuk seseorang yang nyakitin aku di masa lalu. Padahal aku sudah bertekad akan menghajarnya begitu aku melihatnya.” Reyhan sempat terdiam, keningnya sedikit terangkat karena terkejut. Ia tahu, Aluna menyindirnya. Tapi bukannya tersinggung, ia malah terkekeh pelan.“Kalau gitu… lain kali nggak usah repot-repot. Aku dengan sukarela akan menjatuhkan diriku sendiri di pelukanmu, biar kamu nggak perlu bersusah payah.”Aluna termangu, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menatap Reyhan dengan kesal. Detik
Langit mulai gelap saat Aluna berdiri di balkon ruang kerjanya, memandang ke kejauhan dengan pandangan penuh tekad. Tangannya menggenggam ponsel, sementara jari-jarinya mengetikkan sebuah nama yang membuatnya dipenuhi kemarahan, Raditya.Dengan napas dalam, ia menekan tombol panggil. Tak lama kemudian, teleponnya tersambung."Raditya? Ini Aluna,” sapanya datar."Aluna!” suara di seberang terdengar riang, sedikit terkejut. “Wah, akhirnya kamu hubungi aku juga. Apa karena kamu tak bisa melupakan aku sejak pertemuan kita semaalam?"Aluna mengabaikan pertanyaan itu, ia benar-benar tak ingin membuang waktunya untuk laki-laki itu."Aku ingin bertemu. Langsung. Malam ini,” ucapnya tegas.Raditya tertawa kecil. "Tentu. Aku senang sekali kamu minta bertemu. Kebetulan aku punya reservasi di sebuah restoran rooftop malam ini. Tempatnya tenang, hanya kita berdua. Aku kirimkan alamatnya sekarang."“Baik. Sampai nanti."Setelah menutup telepon, Aluna berbalik. Di ambang pintu berdiri Reyhan, wajahn
Tuan Besar Wiratama duduk bersandar di ranjang rumah sakit, matanya tajam menatap ke arah kursi di hadapannya.Pak Yono berdiri tegak, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Wajahnya tegas, tapi ada kegugupan yang tak bisa disembunyikan."Kenapa aku harus mendengar kabar tentang cucuku dari orang lain, Yono? Kenapa bukan kamu yang memberitahuku langsung?" tanyanya dengan suara pelan tapi penuh tekanan.Pak Yono menunduk hormat, ia menjawab dengan suaranya rendah. "Maafkan saya, Tuan. Saya… saya khawatir. Kondisi kesehatan Tuan belum stabil, dan saya tidak ingin kabar seperti ini membuat tekanan darah Tuan naik."Tuan Besar terdiam sejenak, seolah menahan sesuatu di dadanya. Tapi kemudian, ia menghela napas panjang dan menatap lurus ke arah Pak Yono, sorot matanya tenang namun menyala."Yono, aku memang tua… tapi aku tidak bodoh. Jangan pikir aku akan runtuh hanya karena sebuah skandal. Apalagi kalau itu menyangkut Aluna, cucu semata wayangku.""Saya hanya ingin melindun
"Aku minta penjelasan. Sekarang,” ucap Pak Yono pada Reyhan. Itu bukan permintaan, melainkan perintah.Reyhan menundukkan kepala, menarik napas pelan. "Saya bisa jelaskan, Pak. Tapi semuanya tidak seperti yang....""Saya tidak butuh pembenaran. Saya butuh kejujuran." Pak Yono memotong. "Kau dipekerjakan untuk satu tugas, mengawal dan melindungi Nona Aluna. Bukan menciptakan skandal. Bukan mendekati dia. Dan jelas-jelas bukan menjatuhkannya.""Saya tidak pernah berniat menjebak siapa pun. Tidak Nona Aluna, tidak siapa-siapa. Saya tetap menjalankan tugas saya. Hanya saja... beberapa hal berada di luar kendali saya.”Pak Yono tidak langsung percaya. "Kau yakin? Karena dari sudut pandangku, seolah-olah kau memang sudah menargetkan Nona Aluna sejak awal. Kau selalu berada di dekatnya, lebih dekat dari yang seharusnya. Dan sekarang, muncul foto-foto itu. Siapa lagi yang harus saya curigai?""Saya peduli pada Nona Aluna. Saya....”“Itu semua bukan salah Reyhan,” potong Aluna cepat.Hatinya
Suasana di ruang makan mulai mereda dari ketegangan emosional beberapa menit sebelumnya. Aluna dan Reyhan masih duduk berseberangan, cangkir teh masing-masing kini tinggal setengah isinya.Hening yang menggantung terasa berbeda, lebih ringan, namun tetap menyimpan banyak yang belum sempat terucapkan.Suara langkah Kirana memecah keheningan itu. Ia masuk dengan tablet kecil di tangannya, menatap keduanya bergantian, lalu duduk di samping Aluna."Maaf, lama. Saya baru ngecek agenda hari ini,” ucapnya dengan nada profesional tapi santai. “Dan ternyata, hari ini Nona nggak ada jadwal resmi apa-apa. Hari Minggu ini kosong. Total. Tapi kalau besok....”“Jadwal besok, kasih tahu aku malam nanti saja, Kak. Seharian ini aku mau santai, nggak mau mikirin apapun,” potong Aluna cepat.“Oke,” jawab Kirana patuh. Ia menutup tabletnya.Aluna lalu menghela napas ringan. "Bagus. Jadi hari ini aku bisa nemenin Kakek di rumah sakit. Aku mau habiskan waktu penuh di sana."Kirana mengangguk cepat, siap m
Mobil berhenti tepat di depan rumah utama. Malam sudah larut, tapi lampu di teras depan masih menyala.Saat Reyhan turun dari mobil, ia segera menggendong tubuh Aluna, membuatnya setengah bersandar di pelukannya. Napasnya cepat dan pendek, tubuhnya gelisah, tangannya masih terus meraba dada Reyhan tanpa arah.Langkah kaki Reyhan cepat menuju pintu depan. Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka dari dalam. Kirana menyambutnya dengan nada tinggi penuh amarah."Reyhan! Dari mana saja kamu?! Kamu tahu....""Bantu saya dulu Bu, nanti saya jelaskan,” potongnya cepat.Kirana menatap Aluna yang berada di dekapan Reyhan dengan mata membelalak lebar.Kirana yang awalnya hendak melontarkan kemarahan, langsung bungkam saat melihat kondisi Aluna. Mata Aluna sayu, wajahnya memerah, napasnya tersengal. Jemarinya yang terus mengelus dada Reyhan membuat Kirana langsung tahu, ada sesuatu yang tidak wajar.“Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan padanya?” “Bukan saya. Minuman itu dicampur obat.”