Tuan Besar Wiratama duduk bersandar di ranjang rumah sakit, matanya tajam menatap ke arah kursi di hadapannya.Pak Yono berdiri tegak, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Wajahnya tegas, tapi ada kegugupan yang tak bisa disembunyikan."Kenapa aku harus mendengar kabar tentang cucuku dari orang lain, Yono? Kenapa bukan kamu yang memberitahuku langsung?" tanyanya dengan suara pelan tapi penuh tekanan.Pak Yono menunduk hormat, ia menjawab dengan suaranya rendah."Maafkan saya, Tuan. Saya… saya khawatir. Kondisi kesehatan Tuan belum stabil, dan saya tidak ingin kabar seperti ini membuat tekanan darah Tuan naik."Tuan Besar terdiam sejenak, seolah menahan sesuatu di dadanya. Tapi kemudian, ia menghela napas panjang dan menatap lurus ke arah Pak Yono, sorot matanya tenang namun menyala."Yono, aku memang tua… tapi aku tidak bodoh. Jangan pikir aku akan runtuh hanya karena sebuah skandal. Apalagi kalau itu menyangkut Aluna, cucu semata wayangku.""Saya hanya ingin melindun
"Aku minta penjelasan. Sekarang,” ucap Pak Yono pada Reyhan. Itu bukan permintaan, melainkan perintah.Reyhan menundukkan kepala, menarik napas pelan."Saya bisa jelaskan, Pak. Tapi semuanya tidak seperti yang...."Pak Yono memotong."Saya tidak butuh pembenaran. Saya butuh kejujuran. Kau dipekerjakan untuk satu tugas, mengawal dan melindungi Nona Aluna. Bukan menciptakan skandal. Bukan mendekati dia. Dan jelas-jelas bukan menjatuhkannya.""Saya tidak pernah berniat menjebak siapa pun. Tidak Nona Aluna, tidak siapa-siapa. Saya tetap menjalankan tugas saya. Hanya saja... beberapa hal berada di luar kendali saya.”Pak Yono tidak langsung percaya."Kau yakin? Karena dari sudut pandangku, seolah-olah kau memang sudah menargetkan Nona Aluna sejak awal. Kau selalu berada di dekatnya, lebih dekat dari yang seharusnya. Dan sekarang, muncul foto-foto itu. Siapa lagi yang harus saya curigai?""Saya peduli pada Nona Aluna. Saya....”“Itu semua bukan salah Reyhan,” potong Aluna cepat.Hatinya tak
Suasana di ruang makan mulai mereda dari ketegangan emosional beberapa menit sebelumnya. Aluna dan Reyhan masih duduk berseberangan, cangkir teh masing-masing kini tinggal setengah isinya.Hening yang menggantung terasa berbeda, lebih ringan, namun tetap menyimpan banyak yang belum sempat terucapkan.Suara langkah Kirana memecah keheningan itu. Ia masuk dengan tablet kecil di tangannya, menatap keduanya bergantian, lalu duduk di samping Aluna."Maaf, lama. Saya baru ngecek agenda hari ini,” ucapnya dengan nada profesional tapi santai. “Dan ternyata, hari ini Nona nggak ada jadwal resmi apa-apa. Hari Minggu ini kosong. Total. Tapi kalau besok....”“Jadwal besok, kasih tahu aku malam nanti saja, Kak. Seharian ini aku mau santai, nggak mau mikirin apapun,” potong Aluna cepat.“Oke,” jawab Kirana patuh. Ia menutup tabletnya.Aluna lalu menghela napas ringan. "Bagus. Jadi hari ini aku bisa nemenin Kakek di rumah sakit. Aku mau habiskan waktu penuh di sana."Kirana mengangguk cepat, siap m
Mobil berhenti tepat di depan rumah utama. Malam sudah larut, tapi lampu di teras depan masih menyala.Saat Reyhan turun dari mobil, ia segera menggendong tubuh Aluna, membuatnya setengah bersandar di pelukannya. Napasnya cepat dan pendek, tubuhnya gelisah, tangannya masih terus meraba dada Reyhan tanpa arah.Langkah kaki Reyhan cepat menuju pintu depan. Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka dari dalam. Kirana menyambutnya dengan nada tinggi penuh amarah."Reyhan! Dari mana saja kamu?! Kamu tahu....""Bantu saya dulu Bu, nanti saya jelaskan,” potongnya cepat.Kirana menatap Aluna yang berada di dekapan Reyhan dengan mata membelalak lebar.Kirana yang awalnya hendak melontarkan kemarahan, langsung bungkam saat melihat kondisi Aluna. Mata Aluna sayu, wajahnya memerah, napasnya tersengal. Jemarinya yang terus mengelus dada Reyhan membuat Kirana langsung tahu, ada sesuatu yang tidak wajar.“Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan padanya?” “Bukan saya. Minuman itu dicampur obat.
Mobil terus melaju dalam diam. Suara mesin terdengar menggeram pelan, menyatu dengan tarikan napas Reyhan yang masih tersengal tertahan. Ketegangan di dalam mobil begitu nyata, seolah udara pun enggan bergerak.Namun Aluna tetap duduk tenang. Tangannya menyentuh sabuk pengaman yang masih melekat di tubuhnya. Dia menarik napas panjang, menatap keluar jendela sejenak sebelum akhirnya bersuara."Kalau kamu membawa aku pergi hanya untuk marah sendirian, kamu salah besar,” ucap Aluna pelan namun jelas.Reyhan melirik sekilas, tapi tidak menjawab. Tangannya mencengkeram setir lebih erat. Aluna menyadari, lelaki itu tidak akan begitu saja membuka mulut. Jadi dia melanjutkan."Kalau kamu keberatan dengan apa yang kulakukan tadi, kamu seharusnya bicara sebagai pengawal. Bukan menculikku seperti orang yang kehilangan akal."Reyhan akhirnya bersuara, suaranya terdengar parau karena menahan emosi."Aku.... Saya tidak menculik Nona," jawabnya tetap mempertahankan bahasa formalnya."Lalu kenapa kam
Keheningan menyelimuti ruangan setelah insiden minuman. Lampu kristal kembali berpendar, dan suara petugas keamanan menggantikan deru musik.Semua mata tertuju pada podium yang dipenuhi cahaya sorot. Di balik gemerlap lampu, Aluna berdiri tegap, tangan terkepal di samping gaun merahnya yang memukau. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah ke depan, memanggil perhatian seluruh tamu.Aluna mengangkat tangan, menenangkan suasana. “Selamat malam. Terima kasih atas kesabaran dan perhatiannya.”Ia menatap satu per satu wajah para undangan, para eksekutif, mitra bisnis, juga para pesaing yang hinggap di barisan tamu. Suara Aluna bergema mantap.“Malam ini bukan sekadar perayaan jabatan baru. Ini adalah panggung pertama saya sebagai Direktur Operasional Wiratama Group. Dan saya datang bukan untuk bermain aman.”Mereka terdiam. Suasana tiba-tiba begitu hening, sebelum ia menekankan kalimat berikutnya.“Beberapa tahun terakhir, perusahaan ini berkembang pesat berkat visi inovasi dan keberanian