Suasana di ruang makan mulai mereda dari ketegangan emosional beberapa menit sebelumnya. Aluna dan Reyhan masih duduk berseberangan, cangkir teh masing-masing kini tinggal setengah isinya.Hening yang menggantung terasa berbeda, lebih ringan, namun tetap menyimpan banyak yang belum sempat terucapkan.Suara langkah Kirana memecah keheningan itu. Ia masuk dengan tablet kecil di tangannya, menatap keduanya bergantian, lalu duduk di samping Aluna."Maaf, lama. Saya baru ngecek agenda hari ini,” ucapnya dengan nada profesional tapi santai. “Dan ternyata, hari ini Nona nggak ada jadwal resmi apa-apa. Hari Minggu ini kosong. Total. Tapi kalau besok....”“Jadwal besok, kasih tahu aku malam nanti saja, Kak. Seharian ini aku mau santai, nggak mau mikirin apapun,” potong Aluna cepat.“Oke,” jawab Kirana patuh. Ia menutup tabletnya.Aluna lalu menghela napas ringan. "Bagus. Jadi hari ini aku bisa nemenin Kakek di rumah sakit. Aku mau habiskan waktu penuh di sana."Kirana mengangguk cepat, siap m
Mobil berhenti tepat di depan rumah utama. Malam sudah larut, tapi lampu di teras depan masih menyala.Saat Reyhan turun dari mobil, ia segera menggendong tubuh Aluna, membuatnya setengah bersandar di pelukannya. Napasnya cepat dan pendek, tubuhnya gelisah, tangannya masih terus meraba dada Reyhan tanpa arah.Langkah kaki Reyhan cepat menuju pintu depan. Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka dari dalam. Kirana menyambutnya dengan nada tinggi penuh amarah."Reyhan! Dari mana saja kamu?! Kamu tahu....""Bantu saya dulu Bu, nanti saya jelaskan,” potongnya cepat.Kirana menatap Aluna yang berada di dekapan Reyhan dengan mata membelalak lebar.Kirana yang awalnya hendak melontarkan kemarahan, langsung bungkam saat melihat kondisi Aluna. Mata Aluna sayu, wajahnya memerah, napasnya tersengal. Jemarinya yang terus mengelus dada Reyhan membuat Kirana langsung tahu, ada sesuatu yang tidak wajar.“Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan padanya?” “Bukan saya. Minuman itu dicampur obat.
Mobil terus melaju dalam diam. Suara mesin terdengar menggeram pelan, menyatu dengan tarikan napas Reyhan yang masih tersengal tertahan. Ketegangan di dalam mobil begitu nyata, seolah udara pun enggan bergerak.Namun Aluna tetap duduk tenang. Tangannya menyentuh sabuk pengaman yang masih melekat di tubuhnya. Dia menarik napas panjang, menatap keluar jendela sejenak sebelum akhirnya bersuara."Kalau kamu membawa aku pergi hanya untuk marah sendirian, kamu salah besar,” ucap Aluna pelan namun jelas.Reyhan melirik sekilas, tapi tidak menjawab. Tangannya mencengkeram setir lebih erat. Aluna menyadari, lelaki itu tidak akan begitu saja membuka mulut. Jadi dia melanjutkan."Kalau kamu keberatan dengan apa yang kulakukan tadi, kamu seharusnya bicara sebagai pengawal. Bukan menculikku seperti orang yang kehilangan akal."Reyhan akhirnya bersuara, suaranya terdengar parau karena menahan emosi."Aku.... Saya tidak menculik Nona," jawabnya tetap mempertahankan bahasa formalnya."Lalu kenapa kam
Keheningan menyelimuti ruangan setelah insiden minuman. Lampu kristal kembali berpendar, dan suara petugas keamanan menggantikan deru musik.Semua mata tertuju pada podium yang dipenuhi cahaya sorot. Di balik gemerlap lampu, Aluna berdiri tegap, tangan terkepal di samping gaun merahnya yang memukau. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah ke depan, memanggil perhatian seluruh tamu.Aluna mengangkat tangan, menenangkan suasana. “Selamat malam. Terima kasih atas kesabaran dan perhatiannya.”Ia menatap satu per satu wajah para undangan, para eksekutif, mitra bisnis, juga para pesaing yang hinggap di barisan tamu. Suara Aluna bergema mantap.“Malam ini bukan sekadar perayaan jabatan baru. Ini adalah panggung pertama saya sebagai Direktur Operasional Wiratama Group. Dan saya datang bukan untuk bermain aman.”Mereka terdiam. Suasana tiba-tiba begitu hening, sebelum ia menekankan kalimat berikutnya.“Beberapa tahun terakhir, perusahaan ini berkembang pesat berkat visi inovasi dan keberanian
Langit mulai meredup saat pintu kaca butik terbuka. Angin sore menyambut langkah dua perempuan yang melangkah keluar dengan aura mencuri perhatian.Aluna berjalan lebih dulu dengan anggun, mengenakan gaun merah menyala yang kini tampak lebih sopan berkat syal satin berwarna senada yang terlilit elegan di leher jenjangnya, menutupi bagian dada yang sebelumnya terbuka lebar.Di sampingnya, Kirana tampak tak kalah mempesona. Gaun hitamnya yang berpotongan simpel tapi berkelas, memeluk tubuh rampingnya dengan sempurna.Sinar lampu jalan memantul di permukaan bahan halus gaun itu, membuatnya terlihat seperti bintang malam yang bersinar tenang.Reyhan yang menunggu di dekat mobil langsung menoleh. Tatapannya tertuju pada Aluna, dan untuk sesaat, ia bisa bernapas lebih lega.Gaun merah itu tetap mencolok, tetap berani… tapi kini dengan nuansa elegan yang lebih sopan. Sebagian kecil dari dirinya akhirnya bisa tenang, melihat bagian yang sempat membuat hatinya tidak karuan, kini tertutup syal.
Aluna memandangi jendela dengan tatapan kosong, sementara Reyhan fokus memegang kemudi, matanya sesekali berpindah dari spion ke jalan.Namun tiba-tiba, di antara keheningan dan suara lalu lintas di kejauhan, Aluna bersuara pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Reyhan sedikit menoleh sebelum kembali menatap jalan."Kenapa… kamu mengganti namamu jadi Reyhan?" tanya Aluna tiba-tiba. Ia menatap Reyhan dari kaca spion dasboard dengan tatapan penuh tanya."Maksudku, kenapa Axel harus jadi Reyhan?" jelasnya lagi.Reyhan menarik napas dalam, menggenggam kemudi lebih erat sebelum menjawab. Ia tahu ini pembicaraan pribadi. Reyhan memutuskan untuk tak menggunakan bahasa formal."Aku tidak pernah mengganti nama..." ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan. “Nama lengkapku dari dulu Reyhan Axel Pratama. Aku cuma… memilih untuk ninggalin nama panggilanku dulu."Alis Aluna bertaut penuh rasa ingin tahu, “Kenapa harus ninggalin? Semua orang dulu kenalnya kamu itu Axel…""Karena Axel itu nama yang