Share

2. Butuh Pengawal

Author: Difanah
last update Last Updated: 2025-06-16 20:33:43

Hujan belum berhenti saat seorang pria tinggi berjaket hitam memasuki lobi rumah sakit. Rambutnya sedikit basah, dan matanya langsung menyapu sekeliling dengan waspada.

Begitu melihat sosok Aluna berdiri tak jauh dari ruang ICU, pria itu melangkah cepat ke arahnya.

“Aluna.”

Aluna menoleh cepat dan langsung menjabat tangannya dengan emosi tertahan.

“Terima kasih sudah datang, Pak Derry.”

“Saya ikut prihatin. Kamu harus kuat ya, karena kamu satu-satunya harapan Kakekmu,” ucapnya saat menatap wajah Aluna yang lelah.

“Terima kasih Pak. Saya baik-baik saja.”

“Bagaimana keadaan Kakekmu?”

“Masih belum sadar. Kata dokter, mungkin akan lumpuh. Ajudan Kakek… Pak Roni, juga koma. Pak Surya masih sadar, tapi tangannya patah, wajah dan badannya banyak luka.”

Pak Derry menarik napas dalam.

“Kecelakaan di tengah malam. Truk yang menabrak… kabur?”

“Iya. Tidak ada plat nomor yang sempat terbaca. Tapi saya yakin ini bukan kecelakaan biasa. Kakek punya banyak musuh… banyak yang kepentingannya terganggu karena proyek-proyeknya.”

Pak Derry mengangguk pelan.

“Kita butuh rekaman. Mobil Kakekmu pasti punya dashcam. Saya juga akan menelusuri CCTV jalanan yang dilalui mobil Kakekmu.”

Pak Surya, yang mendengar percakapan itu, perlahan mendekat.  “Saya bisa membantu membuka akses ke mobil yang kami gunakan saat itu. Sekarang ditahan di kantor polisi. Mobil hancur, tapi semoga dashcam-nya masih bisa diselamatkan.”

“Bagus. Kita harus ke sana secepatnya. Semakin cepat kita dapat rekaman, semakin besar kemungkinan menemukan jejak pelaku.”

“Saya ikut,” sahut Aluna tegas.

“Aluna....” Pak Derry menatap Aluna, sedikit keberatan dengan permintaannya.

“Pak, Kakekku terbaring tak berdaya karena ini. Saya nggak akan tinggal diam di sini tanpa melakukan apapun. Saya nggak akan tenang kalau hanya duduk menunggu.”

Mereka saling bertukar pandang. Pak Derry bisa melihat api yang menyala di mata Aluna, api yang sama seperti almarhum papanya dulu.

“Kalau kamu ikut, siapa yang akan menjaga Kakekmu?”

“Pak Yono dan Bi Ina dalam perjalanan ke sini sekarang. Sebentar lagi pasti datang.”

“Baik. Tapi kamu harus tetap ikut aturan. Saya yang mengatur semua pergerakan kita.”

Aluna langsung mengangguk. “Setuju.”

Hari itu juga, mereka menuju kantor polisi tempat mobil kakek ditahan. Mobil itu sudah hampir tak berbentuk, tapi dashcam masih terpasang meski retak, namun tidak rusak sepenuhnya.

Petugas polisi yang bertugas memperbolehkan mereka menyalin data, berkat surat kuasa dari Aluna sebagai ahli waris langsung.

“Kalau kalian bisa mengambil sesuatu dari sini, silakan. Tapi kami juga sedang dalam tahap penyelidikan,” ucap sang polisi tegas.

“Terima kasih. Kami akan membantu dengan data yang kami temukan.”

Di dalam layar laptop Pak Derry, rekaman itu mulai diputar. Pada menit ke-12, terlihat jelas, sebuah mobil hitam yang mereka yakini menggunakan plat palsu, mengikuti dari kejauhan. Lalu, dari sisi kanan, muncul truk besar yang melaju tak wajar, arahnya sudah mengarah ke mobil Kakek dari jauh.

Rekaman berhenti tepat saat tabrakan besar terjadi.

“Itu… itu jelas bukan kecelakaan biasa,” ucap Aluna dengan suara bergetar. “Ini penyerangan. Dan orang yang melakukan ini… profesional.”

Pak Derry memutar ulang cuplikan video, memperbesar bagian plat truk yang sempat terekam sebagian. Hanya tiga huruf yang tampak: "B 92…"

Pak Derry mengetik cepat, menghubungkan data ke jaringan miliknya. Saat data mulai dianalisis, ia menatap Aluna dengan sorot penuh tekad.

“Kita kejar mereka, Aluna. Sampai tuntas.”

Aluna menganggukkan kepalanya tanpa ragu. “Saya percaya Pak Derry bisa menemukan siapa orang yang sudah mencelakai Kakek saya. Saya serahkan masalah ini pada Pak Derry sepenuhnya.”

“Baik. Sebaiknya kamu kembali ke rumah dulu, saya lihat tadi kamu membawa koper. Apa kamu baru tiba di Indonesia?”

“Iya Pak. Dari bandara saya langsung ke rumah sakit.”

“Pasti kamu kelelahan. Istirahatlah dulu, agar kamu punya tenaga untuk menjaga Kakekmu.”

“Terima kasih Pak Derry. Saya akan pulang sekarang.”

Setelah berpamitan, Aluna dan Pak Surya keluar dari kantor polisi. Aluna langsung menuju ke rumah Kakeknya, sementara Pak Surya memutuskan pulang untuk menenangkan keluarganya.

Aluna mengizinkannya cuti hingga kondisinya benar-benar pulih.

****

Langit sore tampak sendu, seolah ikut merasakan gundah yang membungkus hati Aluna. Suara roda koper yang bergesekan dengan lantai marmer rumah besar itu menggema hampa.

Tak banyak suara, tak banyak gerak. Hanya Aluna yang berjalan pelan melewati ruang tamu yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Koper besar berwarna hitam itu diletakkannya di sudut kamar. Belum sempat ia bongkar isinya. Bahkan niat untuk membuka resletingnya pun belum muncul.

Pikirannya terlalu penuh untuk memikirkan baju dan barang-barang. Terlalu sibuk dengan kekhawatiran tentang keadaan kakek, satu-satunya keluarga yang selalu menjadi tempatnya pulang.

Di ruang makan, hidangan di atas meja sudah tertata rapi. Asisten rumah tangga telah menyiapkan sup hangat, ayam goreng kesukaan Aluna, dan sepiring kecil sambal terasi.

Namun, gadis itu hanya menyentuh sedikit makanan. Beberapa suap sup, satu gigitan ayam, lalu sendoknya kembali diletakkan.

"Non Aluna nggak suka makanannya? Bibi buatkan yang lain, ya?" tanya Bi Yuni lembut.

Aluna menggeleng pelan.

"Nggak usah, Bi. Ini sudah cukup. Aku cuma… memang nggak begitu lapar."

"Sejak tadi juga kelihatannya murung. Masih kepikiran Tuan Besar, ya?"

Aluna menghela napas berat. "Iya, Bi. Aku kira, pulang ke rumah ini bisa sedikit nenangin hati. Tapi malah terasa lebih kosong dari biasanya."

Bi Yuni tersenyum miris, menatap Aluna penuh perhatian.

"Kalau Tuan Besar tahu Non Aluna sedih begini, beliau pasti sedih juga. Non harus jaga kesehatan. Nanti kalau Tuan Besar sadar, beliau pasti nyariin Non Aluna."

Aluna tersenyum tipis.

"Aku cuma ingin Kakek tahu… aku pulang. Aku di sini, dan aku nggak akan ke mana-mana."

"Beliau pasti tahu, Non. Hati seorang Kakek pasti tahu kalau cucunya selalu nungguin."

Aluna mengangguk pelan, menatap piring di depannya sekali lagi, lalu mendorongnya pelan.

“Aku mau ke kamar dulu ya, Bi.”

“Baik, Non.”

Aluna berdiri, berjalan kembali ke kamar, melewati lorong panjang yang dindingnya dipenuhi foto-foto masa lalu. Di salah satu foto, ia berdiri kecil di samping kakeknya, dengan senyum cerah yang kini terasa jauh.

Memasuki kamarnya, Aluna mendesahkan napas berat. Tubuhnya terasa kaku, pundaknya pegal, dan matanya berat namun tak bisa tertutup. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Ia lalu berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Suara keran diputar, dan dalam hitungan detik, uap hangat mulai memenuhi ruangan. Aroma sabun lavender menyebar di udara, membawa sedikit rasa nyaman.

Aluna melepas satu per satu pakaian yang menempel di tubuhnya, lalu melangkah ke dalam pancuran. Air hangat menyentuh kulitnya, mengalir perlahan dari kepala hingga kaki.

Sesaat, ia memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam keheningan dan kehangatan.

“Tenang, Aluna… Tarik napas. Semua akan baik-baik saja. Kakek orang yang kuat… Selama ini dia selalu sehat. Kali ini juga pasti bisa bangkit lagi,” bisiknya lirih.

Air terus mengalir, membasuh tubuh dan juga pikirannya yang semrawut. Untuk beberapa menit, Aluna membiarkan dirinya bebas dari ketakutan, dari kecemasan yang sejak kemarin membelenggu.

“Aku harus kuat. Kakek pasti nggak mau lihat aku lemah. Kakek selalu bilang, ‘Cucu Kakek itu harus tegar, apapun yang terjadi.’”

Malam itu, setelah mandi, Aluna mengenakan piyama lembut berwarna abu-abu. Rambutnya dikeringkan seadanya, lalu ia menyelimuti dirinya dan duduk di ranjang. Belum berniat tidur, tapi setidaknya, tubuhnya sudah tidak terlalu tegang.

Ia menatap langit-langit kamar sambil memeluk lututnya, lalu berbisik pelan, “Cepat sadar, Kek… Aku sudah pulang.”

****

Beberapa hari terlewati begitu saja. Waktu seakan berjalan lambat di tengah kekhawatiran yang menggantung. Tuan Besar Wiratama masih terbaring koma di ruang ICU, tubuhnya diam tak bergerak, hanya detak mesin dan suara alat-alat medis yang menjadi penanda bahwa ia masih bertahan.

Aluna datang hampir setiap hari, terkadang ditemani Bi Ina, di lain waktu bersama Pak Yono yang selalu setia menjemputnya. Meski tak banyak yang bisa ia lakukan selain duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kakeknya yang terasa dingin, Aluna tetap datang. Ia percaya, kakek tahu ia ada di sana.

Hingga suatu malam...

Jam dinding di kamar Aluna menunjukkan pukul 02.13 dini hari. Kamar dalam kondisi gelap, hanya ditemani cahaya remang dari lampu tidur di sudut ruangan. Aluna tertidur dengan posisi meringkuk, selimut masih membungkus rapat tubuhnya.

Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan.

Dengan mata setengah terbuka dan gerakan malas, Aluna meraih ponsel di meja kecil samping ranjang. Layar menunjukkan nama yang langsung membuat jantungnya berdegup kencang, Pak Yono.

Tanpa berpikir panjang, ia segera menjawab.

“Halo, Pak Yono? Ada apa?” tanyanya setengah panik.

“Kabar baik, Non. Tuan Besar baru saja sadar. Beliau membuka mata… dan memanggil nama Non Aluna.”

“Apa… Kakek sadar? Benarkah?!” tanyanya emosional.

“Iya, Non. Saya langsung telepon Nona, begitu dokter memastikan kondisinya stabil. Beliau sadar pelan-pelan… tapi jelas memanggil nama Non Aluna."

“Saya ke sana sekarang, Pak.”

Tanpa mengganti piyama yang masih melekat di tubuhnya, Aluna membuka lemari dan menyambar jaket tebal di gantungan baju. Rambutnya masih sedikit berantakan, namun ia tak peduli. Ia hanya ingin segera melihat Kakeknya.

Aluna berlari menuruni tangga, menimbulkan suara langkah yang menggema di semua bagian rumah.

Begitu membuka pintu luar, dua orang penjaga keamanan yang berjaga di pos langsung berdiri, terkejut melihat gadis itu keluar tergesa-gesa di tengah malam buta.

“Non Aluna? Mau ke mana malam-malam begini?”

Aluna menjawab cepat, napasnya terengah-engah.

“Kakek… Kakek sadar dari koma. Saya harus ke rumah sakit sekarang.”

“Kalau begitu, biar saya yang antar, Non. Ini sudah tengah malam, jalanan sepi, dan nggak aman kalau sendirian,” ucap salah satu penjaga.

Aluna ragu sejenak, lalu mengangguk.

“Baik. Terima kasih. Saya memang nggak yakin jalanan masih sama.”

“Percaya sama saya, Non. Saya pastikan Non Aluna sampai dengan aman.”

Dengan langkah tergesa dan perasaan campur aduk antara cemas dan haru, Aluna masuk ke mobil. Mesin dinyalakan, dan mobil melaju menembus gelapnya malam, meninggalkan rumah besar yang tadi sunyi, sekarang penuh harapan.

Saat Aluna tiba di rumah sakit, lampu-lampu lorong tampak redup, dan udara dini hari terasa dingin menusuk kulit. Namun, detak jantung Aluna justru semakin cepat, bukan karena dingin, melainkan karena harapan yang kian membuncah.

Ia berlari kecil menuju pintu utama, menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi. Pak Yono sudah menunggu di depan lift, dengan wajah lelah tapi penuh kelegaan.

“Non Aluna… Tuan Besar sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Beliau terus menanyakan Non Aluna.”

Aluna tersenyum bahagia.

“Ayo, Pak. Antar saya ke sana sekarang.”

Dengan cepat Pak Yono masuk ke dalam lift setelah Aluna masuk lebih dulu. Di dalam lift selama beberapa menit saja seperti beberapa jam bagi Aluna. Begitu pintu lift terbuka, Pak Yono segera keluar lebih dulu dan berjalan cepat. Diikuti Aluna yang berjalan tak kalah cepat.

Begitu Pak Yono membuka salah satu pintu kamar, Aluna melihat sosok Kakeknya berbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih tampak lemah, dengan selang infus terpasang di tangan, namun sorot matanya… sorot itu tak berubah. Hangat, tegas, dan penuh cinta.

Ketika tatapan mereka bertemu, Aluna langsung menahan napas. Air mata mengalir tanpa ia sadari.

“Kakek...”

“Aluna… Cucu Kakek datang…” sambut Kakek dengan tangan terangkat pelan. Suaranya terdengar begitu lemah.

Aluna bergegas menghampiri dan memeluk kakeknya.

“Kakek… Kakek sadar… Ya Tuhan, terima kasih…”

Kakek membelai rambut Aluna dengan gerakan lemah.

“Maaf… Kakek... bikin kamu khawatir… Tapi sekarang... Kakek baik-baik saja," suara Kakek terbata-bata, namun itu sudah cukup membuat Aluna merasa lega.

Aluna mengusap air matanya, melepas pelukan Kakek perlahan.

“Kaki Kakek....”

“Tidak... apa-apa... Dokter... sudah menjelaskan,” potong kakek terbata.

Air mata Aluna kembali mengalir. Tak kuasa menahan kesedihan karena kini Kakeknya tak bisa berjalan lagi.

“Tuan Besar masih bisa menggunakan kursi roda, Non. Itu tidak akan menghalangi aktivitas beliau,” ucap Pak Yono menenangkan.

Aluna menganggukkan kepalanya, meski kesedihan masih menghinggapi hatinya.

Di mata Aluna, Kakek benar-benar seorang yang sangat tegar dan selalu optimis menjalani hidup. Membuat kekagumannya semakin bertambah.

“Yono… dengar...” ucap Kakek tiba-tiba. “Cari... pengawal... untuk Aluna.”

Pak Yono terkejut. “Pengawal pribadi, Tuan?”

“Iya. Mereka... Mereka... akan melukai... Aluna.”

“Baik Tuan. Besok pagi, saya akan menghubungi pimpinan tempat Pak Roni.”

Mendengar nama pengawalnya disebut, Kakek menghela napas berat.

“Roni? Bagaimana... dia?”

“Dia... koma... Tuan Besar.”

Mata Tuan Besar langsung merebak, terlihat di matanya sebuah penyesalan yang dalam.

“Bantu... Keluarganya. Kasih... kompensasi. Jangan sampai... mereka... kesulitan.”

Pak Yono menganggukkan kepalanya mengerti.

“Baik, Tuan Besar. Akan saya urus.”

Aluna yang mendengar niat Kakek untuk mencarikannya pengawal pribadi untuknya, merasa sedikit keberatan, karena ia merasa belum memerlukannya sekarang.

“Kakek...,” panggilnya ragu. “Soal pengawal, aku merasa belum membutuhkannya Kek. Lagipula aku hanya sebentar di sini, setelah Kakek sehat aku akan kembali ke Eropa,” ucapnya hati-hati.

"Apa... kamu... tega... meninggalkan Kakek... yang sekarang... lumpuh?" 

Aluna tercekat. Tanpa sadar, matanya terarah peda kedua kaki kakeknya yang tertutup selimut. Untuk sesaat dia lupa, kalau kakeknya tidak bisa berjalan lagi. Rasa bersalah menyeruak di dalam dadanya. Ia merasa sesak.

"Sudah saatnya... kamu... menggantikan Kakek, Aluna."

Aluna tertunduk, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh. "Baik Kek, aku ikuti kemauan Kakek," ucapnya pasrah. "Tapi soal pengawal...."

“Jangan... bantah! Kakek... Tidak mau... kamu terluka.”

Aluna terdiam. Ia tahu, ketika Kakek sudah bicara seperti itu, tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam tangan Kakeknya erat-erat, membiarkan keraguannya tenggelam dalam kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   26. Grup Karyawan

    Langkah Aluna terhenti ketika melihat Reyhan sudah berdiri di dekat mobilnya, menunggunya dengan senyum yang tak biasa, senyum penuh kekaguman.Aluna mengernyit, menatapnya curiga.“Kamu lihat... apa yang aku lakukan tadi?”Reyhan mengangguk sambil menahan senyum. “Lihat dengan jelas, malah dari awal sampai akhir. Gerakanmu mulus sekali… refleksmu sangat bagus.”Aluna menyandarkan tubuh ke pintu mobil, menatapnya sambil menahan senyum.“Lucu ya, sebenarnya gerakan itu aku siapkan untuk seseorang yang nyakitin aku di masa lalu. Padahal aku sudah bertekad akan menghajarnya begitu aku melihatnya.” Reyhan sempat terdiam, keningnya sedikit terangkat karena terkejut. Ia tahu, Aluna menyindirnya. Tapi bukannya tersinggung, ia malah terkekeh pelan.“Kalau gitu… lain kali nggak usah repot-repot. Aku dengan sukarela akan menjatuhkan diriku sendiri di pelukanmu, biar kamu nggak perlu bersusah payah.”Aluna termangu, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menatap Reyhan dengan kesal. Detik

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   25. Bertemu Raditya

    Langit mulai gelap saat Aluna berdiri di balkon ruang kerjanya, memandang ke kejauhan dengan pandangan penuh tekad. Tangannya menggenggam ponsel, sementara jari-jarinya mengetikkan sebuah nama yang membuatnya dipenuhi kemarahan, Raditya.Dengan napas dalam, ia menekan tombol panggil. Tak lama kemudian, teleponnya tersambung."Raditya? Ini Aluna,” sapanya datar."Aluna!” suara di seberang terdengar riang, sedikit terkejut. “Wah, akhirnya kamu hubungi aku juga. Apa karena kamu tak bisa melupakan aku sejak pertemuan kita semaalam?"Aluna mengabaikan pertanyaan itu, ia benar-benar tak ingin membuang waktunya untuk laki-laki itu."Aku ingin bertemu. Langsung. Malam ini,” ucapnya tegas.Raditya tertawa kecil. "Tentu. Aku senang sekali kamu minta bertemu. Kebetulan aku punya reservasi di sebuah restoran rooftop malam ini. Tempatnya tenang, hanya kita berdua. Aku kirimkan alamatnya sekarang."“Baik. Sampai nanti."Setelah menutup telepon, Aluna berbalik. Di ambang pintu berdiri Reyhan, wajahn

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   24. Ancaman

    Tuan Besar Wiratama duduk bersandar di ranjang rumah sakit, matanya tajam menatap ke arah kursi di hadapannya.Pak Yono berdiri tegak, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Wajahnya tegas, tapi ada kegugupan yang tak bisa disembunyikan."Kenapa aku harus mendengar kabar tentang cucuku dari orang lain, Yono? Kenapa bukan kamu yang memberitahuku langsung?" tanyanya dengan suara pelan tapi penuh tekanan.Pak Yono menunduk hormat, ia menjawab dengan suaranya rendah. "Maafkan saya, Tuan. Saya… saya khawatir. Kondisi kesehatan Tuan belum stabil, dan saya tidak ingin kabar seperti ini membuat tekanan darah Tuan naik."Tuan Besar terdiam sejenak, seolah menahan sesuatu di dadanya. Tapi kemudian, ia menghela napas panjang dan menatap lurus ke arah Pak Yono, sorot matanya tenang namun menyala."Yono, aku memang tua… tapi aku tidak bodoh. Jangan pikir aku akan runtuh hanya karena sebuah skandal. Apalagi kalau itu menyangkut Aluna, cucu semata wayangku.""Saya hanya ingin melindun

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   23. Melindungi Reyhan

    "Aku minta penjelasan. Sekarang,” ucap Pak Yono pada Reyhan. Itu bukan permintaan, melainkan perintah.Reyhan menundukkan kepala, menarik napas pelan. "Saya bisa jelaskan, Pak. Tapi semuanya tidak seperti yang....""Saya tidak butuh pembenaran. Saya butuh kejujuran." Pak Yono memotong. "Kau dipekerjakan untuk satu tugas, mengawal dan melindungi Nona Aluna. Bukan menciptakan skandal. Bukan mendekati dia. Dan jelas-jelas bukan menjatuhkannya.""Saya tidak pernah berniat menjebak siapa pun. Tidak Nona Aluna, tidak siapa-siapa. Saya tetap menjalankan tugas saya. Hanya saja... beberapa hal berada di luar kendali saya.”Pak Yono tidak langsung percaya. "Kau yakin? Karena dari sudut pandangku, seolah-olah kau memang sudah menargetkan Nona Aluna sejak awal. Kau selalu berada di dekatnya, lebih dekat dari yang seharusnya. Dan sekarang, muncul foto-foto itu. Siapa lagi yang harus saya curigai?""Saya peduli pada Nona Aluna. Saya....”“Itu semua bukan salah Reyhan,” potong Aluna cepat.Hatinya

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   22. Skandal

    Suasana di ruang makan mulai mereda dari ketegangan emosional beberapa menit sebelumnya. Aluna dan Reyhan masih duduk berseberangan, cangkir teh masing-masing kini tinggal setengah isinya.Hening yang menggantung terasa berbeda, lebih ringan, namun tetap menyimpan banyak yang belum sempat terucapkan.Suara langkah Kirana memecah keheningan itu. Ia masuk dengan tablet kecil di tangannya, menatap keduanya bergantian, lalu duduk di samping Aluna."Maaf, lama. Saya baru ngecek agenda hari ini,” ucapnya dengan nada profesional tapi santai. “Dan ternyata, hari ini Nona nggak ada jadwal resmi apa-apa. Hari Minggu ini kosong. Total. Tapi kalau besok....”“Jadwal besok, kasih tahu aku malam nanti saja, Kak. Seharian ini aku mau santai, nggak mau mikirin apapun,” potong Aluna cepat.“Oke,” jawab Kirana patuh. Ia menutup tabletnya.Aluna lalu menghela napas ringan. "Bagus. Jadi hari ini aku bisa nemenin Kakek di rumah sakit. Aku mau habiskan waktu penuh di sana."Kirana mengangguk cepat, siap m

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   21. Rasa yang Kembali

    Mobil berhenti tepat di depan rumah utama. Malam sudah larut, tapi lampu di teras depan masih menyala.Saat Reyhan turun dari mobil, ia segera menggendong tubuh Aluna, membuatnya setengah bersandar di pelukannya. Napasnya cepat dan pendek, tubuhnya gelisah, tangannya masih terus meraba dada Reyhan tanpa arah.Langkah kaki Reyhan cepat menuju pintu depan. Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka dari dalam. Kirana menyambutnya dengan nada tinggi penuh amarah."Reyhan! Dari mana saja kamu?! Kamu tahu....""Bantu saya dulu Bu, nanti saya jelaskan,” potongnya cepat.Kirana menatap Aluna yang berada di dekapan Reyhan dengan mata membelalak lebar.Kirana yang awalnya hendak melontarkan kemarahan, langsung bungkam saat melihat kondisi Aluna. Mata Aluna sayu, wajahnya memerah, napasnya tersengal. Jemarinya yang terus mengelus dada Reyhan membuat Kirana langsung tahu, ada sesuatu yang tidak wajar.“Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan padanya?” “Bukan saya. Minuman itu dicampur obat.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status