Share

2. Butuh Pengawal

Penulis: Difanah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-16 20:33:43

Hujan belum berhenti saat seorang pria tinggi berjaket hitam memasuki lobi rumah sakit. Rambutnya sedikit basah, dan matanya langsung menyapu sekeliling dengan waspada.

Begitu melihat sosok Aluna berdiri tak jauh dari ruang ICU, pria itu melangkah cepat ke arahnya.

“Aluna.”

Aluna menoleh cepat dan langsung menjabat tangannya dengan emosi tertahan.

“Terima kasih sudah datang, Pak Derry.”

“Saya ikut prihatin. Kamu harus kuat ya, karena kamu satu-satunya harapan Kakekmu,” ucapnya saat menatap wajah Aluna yang lelah.

“Terima kasih Pak. Saya baik-baik saja.”

“Bagaimana keadaan Kakekmu?”

“Masih belum sadar. Kata dokter, mungkin akan lumpuh. Ajudan Kakek… Pak Roni, juga koma. Pak Surya masih sadar, tapi tangannya patah, wajah dan badannya banyak luka.”

Pak Derry menarik napas dalam.

“Kecelakaan di tengah malam. Truk yang menabrak… kabur?”

“Iya. Tidak ada plat nomor yang sempat terbaca. Tapi saya yakin ini bukan kecelakaan biasa. Kakek punya banyak musuh… banyak yang kepentingannya terganggu karena proyek-proyeknya.”

Pak Derry mengangguk pelan.

“Kita butuh rekaman. Mobil Kakekmu pasti punya dashcam. Saya juga akan menelusuri CCTV jalanan yang dilalui mobil Kakekmu.”

Pak Surya, yang mendengar percakapan itu, perlahan mendekat.  “Saya bisa membantu membuka akses ke mobil yang kami gunakan saat itu. Sekarang ditahan di kantor polisi. Mobil hancur, tapi semoga dashcam-nya masih bisa diselamatkan.”

“Bagus. Kita harus ke sana secepatnya. Semakin cepat kita dapat rekaman, semakin besar kemungkinan menemukan jejak pelaku.”

“Saya ikut,” sahut Aluna tegas.

“Aluna....” Pak Derry menatap Aluna, sedikit keberatan dengan permintaannya.

“Pak, Kakekku terbaring tak berdaya karena ini. Saya nggak akan tinggal diam di sini tanpa melakukan apapun. Saya nggak akan tenang kalau hanya duduk menunggu.”

Mereka saling bertukar pandang. Pak Derry bisa melihat api yang menyala di mata Aluna, api yang sama seperti almarhum papanya dulu.

“Kalau kamu ikut, siapa yang akan menjaga Kakekmu?”

“Pak Yono dan Bi Ina dalam perjalanan ke sini sekarang. Sebentar lagi pasti datang.”

“Baik. Tapi kamu harus tetap ikut aturan. Saya yang mengatur semua pergerakan kita.”

Aluna langsung mengangguk. “Setuju.”

Hari itu juga, mereka menuju kantor polisi tempat mobil kakek ditahan. Mobil itu sudah hampir tak berbentuk, tapi dashcam masih terpasang meski retak, namun tidak rusak sepenuhnya.

Petugas polisi yang bertugas memperbolehkan mereka menyalin data, berkat surat kuasa dari Aluna sebagai ahli waris langsung.

“Kalau kalian bisa mengambil sesuatu dari sini, silakan. Tapi kami juga sedang dalam tahap penyelidikan,” ucap sang polisi tegas.

“Terima kasih. Kami akan membantu dengan data yang kami temukan.”

Di dalam layar laptop Pak Derry, rekaman itu mulai diputar. Pada menit ke-12, terlihat jelas, sebuah mobil hitam yang mereka yakini menggunakan plat palsu, mengikuti dari kejauhan. Lalu, dari sisi kanan, muncul truk besar yang melaju tak wajar, arahnya sudah mengarah ke mobil Kakek dari jauh.

Rekaman berhenti tepat saat tabrakan besar terjadi.

“Itu… itu jelas bukan kecelakaan biasa,” ucap Aluna dengan suara bergetar. “Ini penyerangan. Dan orang yang melakukan ini… profesional.”

Pak Derry memutar ulang cuplikan video, memperbesar bagian plat truk yang sempat terekam sebagian. Hanya tiga huruf yang tampak: "B 92…"

Pak Derry mengetik cepat, menghubungkan data ke jaringan miliknya. Saat data mulai dianalisis, ia menatap Aluna dengan sorot penuh tekad.

“Kita kejar mereka, Aluna. Sampai tuntas.”

Aluna menganggukkan kepalanya tanpa ragu. “Saya percaya Pak Derry bisa menemukan siapa orang yang sudah mencelakai Kakek saya. Saya serahkan masalah ini pada Pak Derry sepenuhnya.”

“Baik. Sebaiknya kamu kembali ke rumah dulu, saya lihat tadi kamu membawa koper. Apa kamu baru tiba di Indonesia?”

“Iya Pak. Dari bandara saya langsung ke rumah sakit.”

“Pasti kamu kelelahan. Istirahatlah dulu, agar kamu punya tenaga untuk menjaga Kakekmu.”

“Terima kasih Pak Derry. Saya akan pulang sekarang.”

Setelah berpamitan, Aluna dan Pak Surya keluar dari kantor polisi. Aluna langsung menuju ke rumah Kakeknya, sementara Pak Surya memutuskan pulang untuk menenangkan keluarganya.

Aluna mengizinkannya cuti hingga kondisinya benar-benar pulih.

****

Langit sore tampak sendu, seolah ikut merasakan gundah yang membungkus hati Aluna. Suara roda koper yang bergesekan dengan lantai marmer rumah besar itu menggema hampa.

Tak banyak suara, tak banyak gerak. Hanya Aluna yang berjalan pelan melewati ruang tamu yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Koper besar berwarna hitam itu diletakkannya di sudut kamar. Belum sempat ia bongkar isinya. Bahkan niat untuk membuka resletingnya pun belum muncul.

Pikirannya terlalu penuh untuk memikirkan baju dan barang-barang. Terlalu sibuk dengan kekhawatiran tentang keadaan kakek, satu-satunya keluarga yang selalu menjadi tempatnya pulang.

Di ruang makan, meja sudah tertata rapi. Asisten rumah tangga telah menyiapkan sup hangat, ayam goreng kesukaan Aluna, dan sepiring kecil sambal terasi.

Namun, gadis itu hanya menyentuh sedikit makanan. Beberapa suap sup, satu gigitan ayam, lalu sendoknya kembali diletakkan.

"Non Aluna nggak suka makanannya? Bibi buatkan yang lain, ya?" tanya Bi Yuni lembut.

Aluna menggeleng pelan.

"Nggak usah, Bi. Ini sudah cukup. Aku cuma… memang nggak begitu lapar."

"Sejak tadi juga kelihatannya murung. Masih kepikiran Tuan Besar, ya?"

Aluna menghela napas berat. "Iya, Bi. Aku kira, pulang ke rumah ini bisa sedikit nenangin hati. Tapi malah terasa lebih kosong dari biasanya."

Bi Yuni tersenyum miris, menatap Aluna penuh perhatian.

"Kalau Tuan Besar tahu Non Aluna sedih begini, beliau pasti sedih juga. Non harus jaga kesehatan. Nanti kalau Tuan Besar sadar, beliau pasti nyariin Non Aluna."

Aluna tersenyum tipis.

"Aku cuma ingin Kakek tahu… aku pulang. Aku di sini, dan aku nggak akan ke mana-mana."

"Beliau pasti tahu, Non. Hati seorang Kakek pasti tahu kalau cucunya selalu nungguin."

Aluna mengangguk pelan, menatap piring di depannya sekali lagi, lalu mendorongnya pelan.

“Aku mau ke kamar dulu ya, Bi.”

“Baik, Non.”

Aluna berdiri, berjalan kembali ke kamar, melewati lorong panjang yang dindingnya dipenuhi foto-foto masa lalu. Di salah satu foto, ia berdiri kecil di samping kakeknya, dengan senyum cerah yang kini terasa jauh.

Memasuki kamarnya, Aluna mendesahkan napas berat. Tubuhnya terasa kaku, pundaknya pegal, dan matanya berat namun tak bisa tertutup. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Ia lalu berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Suara keran diputar, dan dalam hitungan detik, uap hangat mulai memenuhi ruangan. Aroma sabun lavender menyebar di udara, membawa sedikit rasa nyaman.

Aluna melepas satu per satu pakaian yang menempel di tubuhnya, lalu melangkah ke dalam pancuran. Air hangat menyentuh kulitnya, mengalir perlahan dari kepala hingga kaki.

Sesaat, ia memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam keheningan dan kehangatan.

“Tenang, Aluna… Tarik napas. Semua akan baik-baik saja. Kakek orang yang kuat… Selama ini dia selalu sehat. Kali ini juga pasti bisa bangkit lagi,” bisiknya lirih.

Air terus mengalir, membasuh tubuh dan juga pikirannya yang semrawut. Untuk beberapa menit, Aluna membiarkan dirinya bebas dari ketakutan, dari kecemasan yang sejak kemarin membelenggu.

“Aku harus kuat. Kakek pasti nggak mau lihat aku lemah. Kakek selalu bilang, ‘Cucu Kakek itu harus tegar, apapun yang terjadi.’”

Malam itu, setelah mandi, Aluna mengenakan piyama lembut berwarna abu-abu. Rambutnya dikeringkan seadanya, lalu ia menyelimuti dirinya dan duduk di ranjang. Belum berniat tidur, tapi setidaknya, tubuhnya sudah tidak terlalu tegang.

Ia menatap langit-langit kamar sambil memeluk lututnya, lalu berbisik pelan, “Cepat sembuh, Kek… Aku sudah pulang.”

****

Beberapa hari terlewati begitu saja. Waktu seakan berjalan lambat di tengah kekhawatiran yang menggantung. Tuan Besar Wiratama masih terbaring koma di ruang ICU, tubuhnya diam tak bergerak, hanya detak mesin dan suara alat-alat medis yang menjadi penanda bahwa ia masih bertahan.

Aluna datang hampir setiap hari, terkadang ditemani Bi Ina, di lain waktu bersama Pak Yono yang selalu setia menjemputnya. Meski tak banyak yang bisa ia lakukan selain duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kakeknya yang terasa dingin, Aluna tetap datang. Ia percaya, kakek tahu ia ada di sana.

Hingga suatu malam...

Jam dinding di kamar Aluna menunjukkan pukul 02.13 dini hari. Kamar dalam kondisi gelap, hanya ditemani cahaya remang dari lampu tidur di sudut ruangan. Aluna tertidur dengan posisi meringkuk, selimut masih membungkus rapat tubuhnya.

Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan.

Dengan mata setengah terbuka dan gerakan malas, Aluna meraih ponsel di meja kecil samping ranjang. Layar menunjukkan nama yang langsung membuat jantungnya berdegup kencang, Pak Yono.

Tanpa berpikir panjang, ia segera menjawab.

“Halo, Pak Yono? Ada apa?” tanyanya setengah panik.

“Kabar baik, Non. Tuan Besar baru saja sadar. Beliau membuka mata… dan memanggil nama Non Aluna.”

“Apa… Kakek sadar? Benarkah?!” tanyanya emosional.

“Iya, Non. Saya langsung telepon Nona, begitu dokter memastikan kondisinya stabil. Beliau sadar pelan-pelan… tapi jelas memanggil nama Non Aluna."

“Saya ke sana sekarang, Pak.”

Tanpa mengganti piyama yang masih melekat di tubuhnya, Aluna membuka lemari dan menyambar jaket tebal di gantungan baju. Rambutnya masih sedikit berantakan, namun ia tak peduli. Ia hanya ingin segera melihat Kakeknya.

Aluna berlari menuruni tangga, menimbulkan suara langkah yang menggema di semua bagian rumah.

Begitu membuka pintu luar, dua orang penjaga keamanan yang berjaga di pos langsung berdiri, terkejut melihat gadis itu keluar tergesa-gesa di tengah malam buta.

“Non Aluna? Mau ke mana malam-malam begini?”

Aluna menjawab cepat, napasnya terengah-engah.

“Kakek… Kakek sadar dari koma. Saya harus ke rumah sakit sekarang.”

“Kalau begitu, biar saya yang antar, Non. Ini sudah tengah malam, jalanan sepi, dan nggak aman kalau sendirian,” ucap salah satu penjaga.

Aluna ragu sejenak, lalu mengangguk.

“Baik. Terima kasih. Saya memang nggak yakin jalanan masih sama.”

“Paercaya sama saya, Non. Saya pastikan Non Aluna sampai dengan aman.”

Dengan langkah tergesa dan perasaan campur aduk antara cemas dan haru, Aluna masuk ke mobil. Mesin dinyalakan, dan mobil melaju menembus gelapnya malam, meninggalkan rumah besar yang tadi sunyi, sekarang penuh harapan.

Saat Aluna tiba di rumah sakit, lampu-lampu lorong tampak redup, dan udara dini hari terasa dingin menusuk kulit. Namun, detak jantung Aluna justru semakin cepat, bukan karena dingin, melainkan karena harapan yang kian membuncah.

Ia berlari kecil menuju pintu utama, menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi. Pak Yono sudah menunggu di depan lift, dengan wajah lelah tapi penuh kelegaan.

“Non Aluna… Tuan Besar sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Beliau terus menanyakan Non Aluna.”

Aluna tersenyum bahagia.

“Ayo, Pak. Antar saya ke sana sekarang.”

Dengan cepat Pak Yono masuk ke dalam lift setelah Aluna masuk lebih dulu. Di dalam lift selama beberapa menit saja seperti beberapa jam bagi Aluna. Begitu pintu lift terbuka, Pak Yono segera keluar lebih dulu dan berjalan cepat. Diikuti Aluna yang berjalan tak kalah cepat.

Begitu Pak Yono membuka salah satu pintu kamar, Aluna melihat sosok Kakeknya berbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih tampak lemah, dengan selang infus terpasang di tangan, namun sorot matanya… sorot itu tak berubah. Hangat, tegas, dan penuh cinta.

Ketika tatapan mereka bertemu, Aluna langsung menahan napas. Air mata mengalir tanpa ia sadari.

“Kakek...”

“Aluna… Cucu Kakek datang…” sambut Kakek dengan tangan terangkat pelan. Suaranya terdengar begitu lemah.

Aluna bergegas menghampiri dan memeluk kakeknya.

“Kakek… Kakek sadar… Ya Tuhan, terima kasih…”

Kakek membelai rambut Aluna dengan gerakan lemah.

“Maaf… Kakek... bikin kamu khawatir… Tapi sekarang... Kakek baik-baik saja," suara Kakek terbata-bata, namun itu sudah cukup membuat Aluna merasa lega.

Aluna mengusap air matanya, melepas pelukan Kakek perlahan.

“Kaki Kakek....”

“Tidak... apa-apa... Dokter... sudah menjelaskan,” potong kakek terbata.

Air mata Aluna kembali mengalir. Tak kuasa menahan kesedihan karena kini Kakeknya tak bisa berjalan lagi.

“Tuan Besar masih bisa menggunakan kursi roda, Non. Itu tidak akan menghalangi aktivitas beliau,” ucap Pak Yono menenangkan.

Aluna menganggukkan kepalanya, meski kesedihan masih menghinggapi hatinya.

Di mata Aluna, Kakek benar-benar seorang yang sangat tegar dan selalu optimis menjalani hidup. Membuat kekagumannya semakin bertambah.

“Yono… dengar...” ucap Kakek tiba-tiba. “Cari... pengawal... untuk Aluna.”

Pak Yono terkejut. “Pengawal pribadi, Tuan?”

“Iya. Mereka... Mereka... akan melukai... Aluna.”

“Baik Tuan. Besok pagi, saya akan menghubungi pimpinan tempat Pak Roni.”

Mendengar nama pengawalnya disebut, Kakek menghela napas berat.

“Roni? Bagaimana... dia?”

“Dia... koma... Tuan Besar.”

Mata Tuan Besar langsung merebak, terlihat di matanya sebuah penyesalan yang dalam.

“Bantu... Keluarganya. Kasih... kompensasi. Jangan sampai... mereka... kesulitan.”

Pak Yono menganggukkan kepalanya mengerti.

“Baik, Tuan Besar. Akan saya urus.”

Aluna yang mendengar niat Kakek untuk mencarikannya pengawal pribadi untuknya, merasa sedikit keberatan, karena ia merasa belum memerlukannya sekarang.

“Kakek...,” panggilnya ragu. “Soal pengawal, aku merasa belum membutuhkannya Kek. Lagipula aku hanya sebentar di sini, setelah Kakek sehat aku akan kembali ke Eropa,” ucapnya hati-hati.

"Apa... kamu... tega... meninggalkan Kakek... yang sekarang... lumpuh?" 

Aluna tercekat. Tanpa sadar, matanya terarah peda kedua kaki kakeknya yang tertutup selimut. Untuk sesaat dia lupa, kalau kakeknya tidak bisa berjalan lagi. Rasa bersalah menyeruak di dalam dadanya. Ia merasa sesak.

"Sudah saatnya... kamu... menggantikan Kakek, Aluna."

Aluna tertunduk, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh. "Baik Kek, aku ikuti kemauan Kakek," ucapnya pasrah. "Tapi soal pengawal...."

“Jangan... bantah! Kakek... Tidak mau... kamu terluka.”

Aluna terdiam. Ia tahu, ketika Kakek sudah bicara seperti itu, tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam tangan Kakeknya erat-erat, membiarkan keraguannya tenggelam dalam kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   16. Merayakan

    Tepat jam setengah 4 sore. Bunyi klik yang halus dari pintu besar ruang rapat membuat Reyhan dan Kirana serempak menoleh. Udara di koridor seakan ikut menegang saat daun pintu terbuka perlahan.Satu per satu para pemegang saham keluar dari ruangan dengan raut wajah serius, sebagian mengangguk kecil pada staf yang berdiri di luar, sisanya langsung melangkah cepat ke lift eksekutif tanpa berkata-kata.Mereka tampak elegan dalam setelan jas dan gaun formal, membawa aura kekuasaan dan keputusan besar yang baru saja diambil.Reyhan berdiri dari duduknya. Kirana refleks merapikan blouse-nya. Keduanya menatap ke arah pintu yang masih terbuka, berharap sosok yang mereka tunggu segera muncul.Dan akhirnya, dari balik pintu, Aluna muncul.Wajahnya sedikit pucat, tapi senyum merekah dengan tulus di bibirnya. Tangannya mendorong kursi roda sang Kakek, yang duduk tenang dengan sorot mata penuh bangga.Di belakang mereka, Pak Yono berjalan sambil membawa map rapat, dan dua petugas medis ikut menyer

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   15. Rapat Pemegang Saham

    Pintu lift di depan Aluna terbuka pelan, langsung menghadap lorong berkarpet tebal dengan lampu-lampu gantung bergaya klasik.Di ujung lorong, sebuah pintu besar dari kayu jati terbuka sebagian. Dari sana, suara diskusi ringan terdengar, para pemegang saham tengah menunggu.Langkah Aluna tanpa keraguan. Setelan biru muda dan biru tua yang dikenakannya membuatnya terlihat anggun dan profesional, meski wajahnya masih menyimpan jejak ketegangan.Seorang staf berdiri di dekat pintu masuk, tangannya membawa sebuah tablet dengan layar yang menampilkan profil Aluna. Begitu melihat sosok yang ada di layar tabletnya, ia segera membuka pintu besar itu."Selamat siang, Nona. Silakan masuk. Semua sudah berkumpul."Aluna menganggukkan kepalanya pelan. “Selamat siang.”Beberapa pasang mata menoleh saat Aluna masuk. Para pria dan wanita paruh baya berpakaian rapi itu berhenti bicara, beberapa di antara mereka mengangguk ramah, sementara lainnya hanya menatap tanpa ekspresi.Saat melihat di ujung mej

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   14. Jadwal Berubah

    Pagi datang dengan sunyi yang lembut. Udara masih dingin, dan langit di luar jendela menggantungkan awan-awan kelabu. Tak ada sinar matahari yang menyapa pagi ini, hanya cahaya samar yang menyusup dari sela tirai kamar Aluna.Perlahan, Aluna membuka matanya. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk benar-benar tersadar dari tidurnya yang sempat gelisah.Ia bangkit perlahan dari ranjang, menarik selimut dari tubuhnya, dan berjalan ke arah jendela. Dengan gerakan tenang, dia membuka gorden dan kemudian membuka jendela lebar-lebar.Angin pagi langsung menyapa wajahnya. Dingin. Menyegarkan. Tapi tak cukup untuk mengusir keheningan di hatinya.Langit mendung seperti mencerminkan pikirannya yang berat. Ia menatap langit itu lama… seakan mencari jawab atas segala yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pikirannya kembali pada malam sebelumnya.Percakapan di restoran. Tatapan mata Reyhan. Penjelasan yang selama ini ia tunggu, dan akhirnya datang juga.Tentang kesalahpahaman, tentang permainan y

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   13. Salah Paham

    Mobil berhenti perlahan di depan rumah utama. Gerimis mulai turun, menimbulkan aroma tanah basah yang samar menyusup ke udara sore.Begitu mesin dimatikan, Aluna langsung membuka pintu dan melangkah cepat menuju rumah. Langkahnya tegap namun jelas terburu-buru.“Kayaknya Nona mau langsung kerja lagi,” ucap Kirana sambil membuka pintu mobil.Reyhan hanya mengangguk singkat. Ia menunggu Kirana berjalan ke kamarnya yang berada di halaman belakang, sebelum mulai memundurkan mobil perlahan ke dalam garasi.Suasana di halaman belakang sepi. Cahaya dari rumah utama dan kamar-kamar yang terpisah membuat kesan temaram yang menenangkan. Setelah menutup pintu garasi, Reyhan berjalan pelan menuju bangunan kecil tempat ia tinggal. Saat membuka pintu kamarnya, udara lembab langsung menyambut.Ia meletakkan jasnya di gantungan, kemudian membuka jendela besar di sisi kiri. Dari sana, terlihat jelas ruang kerja Aluna yang berada di lantai dua rumah utama. Tirai jendela ruangan itu tidak ditutup sepenu

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   12. Rencana Perjodohan

    Ketiga gelas es teh di atas meja tinggal separuh. Obrolan ringan telah cukup membuat suasana mencair, meskipun sesekali Reyhan hanya menanggapi dengan anggukan kecil atau senyum yang dipaksakan.Aluna menatap jam di pergelangan tangannya, lalu menoleh ke arah Ibu Reyhan dengan senyum sopan.“Bu, saya pamit dulu, ya. Masih ada acara yang harus saya hadiri siang ini di kota,” ucapnya sambil bangkit perlahan.Kirana mengikutinya berdiri.“Iya, Bu. Kami juga sekalian pulang. Terima kasih banyak untuk es teh dan jamuannya.”Ibu Reyhan ikut berdiri, menepuk tangan Aluna pelan dengan hangat.“Aduh, padahal Ibu masih pengen ngobrol lebih lama. Tapi nggak apa-apa. Lain waktu mampir lagi, ya. Anggap saja ini rumah sendiri.”“Terima kasih, Bu. Ibu baik sekali,” ucap Aluna sambil tersenyum ramah.Reyhan berdiri di belakang mereka, belum berkata apa-apa. Sorot matanya terus mengamati Aluna, mencoba membaca sesuatu dari ekspresi wajah yang kini begitu tenang.Namun sebelum mereka benar-benar melang

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   11. Hanya Dimanfaatkan

    Mobil itu melewati jalanan yang diapit pepohonan rindang. Di ujung jalan, berdiri sebuah rumah tua peninggalan masa kolonial, berarsitektur tinggi, jendela-jendela besar dengan daun kayu lebar, dan tiang-tiang penyangga besar yang mulai dimakan usia.Cat putihnya sudah memudar, namun bangunan itu masih memancarkan kesan anggun dan mewah di masanya.Di sekeliling rumah, halaman luas terbentang, dengan pohon mangga dan jambu tumbuh lebat di beberapa sudut. Bangunan kamar mandi berdiri terpisah beberapa meter dari rumah utama, seperti rumah-rumah zaman dulu. Udara terasa sejuk, dan hanya suara burung serta gesekan angin di dedaunan yang terdengar.“Wah... ternyata masih ada ya, rumah peninggalan jaman Belanda di pinggiran Jakarta,” ucap Aluna takjub.“Waktu pertama kali saya melihatnya, saya juga sama terkejutnya seperti Nona,” sahut Kirana.Saat Reyhan mematikan mesin dan turun dari mobil, pintu depan rumah terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul dengan wajah terkejut.“Reyhan? Tumbe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status