Darna Dalun beserta Rumada dan Daro telah jauh meninggalkan lapau sebelumnya itu, seperti janji mereka sebelumnya, Darna memberikan koin lebih kepada si pemilik lapau. Meskipun pemilik lapau itu tidak tahu menahu siapa ketiga orang tersebut, tapi itu tidak penting baginya, yang terpenting ia mendapatkan ganti rugi atas makanan yang ditinggalkan dan tidak dibayar oleh para bandit hutan sebelumnya itu.
Dan kini rombongan Darna tengah menyusuri sisi selatan Danau Maninjau menuju ke arah barat. Darna dengan menunggang kuda coklat milik mendiang Rimau Buluah, Rumada dan Daro pula dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh mereka. Tujuan mereka masih sama, mencari keberadaan Datuak Sani dan mendapatkan kepingan ketiga Teratai Abadi.
Permukaan Danau Maninjau di malam hari seperti kali ini terlihat mengagumkan. Riak-riak kecil yang disebabkan embusan angin malam atau pula sesuatu di bawah permukaannya yang berlarian, berkilauan memantulkan cahaya lembut
Kokok ayam hutan yang melengking panjang menembus kelebatan hutan itu sendiri membangunkan Darna Dalun, kicau burung di pagi hari itu sama sekali tidak dipandang indah oleh Darna. Tidak pula udara pagi yang sangat segar di kawasan itu mampu mengubah raut sinis di wajah pemuda itu kini.Ia turun dari batu besar itu, Rumada dan Daro pun baru saja terbangun. Darna mencuci wajah dan kepalanya di tepian danau.“Apakah kau akan berkata lagi untuk kita harus mengisi perut terlebih dahulu sebelum menemui orang tua itu?”Rumada dan Daro yang akan mendekati tepian danau saling pandang sebelum akhirnya tatapan mereka tertuju kepada Darna.“Tidak,” sahut Rumada. “Itu tidak perlu. Kecuali kau memang mau mengisi perutmu.”“Bagus,” sahut Darna datar saja. Ia lantas mendekati kuda yang terpaut tidak jauh dari batu besar tersebut. “Lebih cepat, lebih baik.”“Apa yang terjadi p
“Kau yakin,” ujar Darna Dalun dari atas punggung kuda kepada Rumada, “orang tua yang satu ini yang bernama Datuak Sani?”“Tentu saja,” sahut Rumada. “Tidak ada orang tua berusia 70 tahun yang masih menggunakan minyak akar bahar[1] agar rambutnya menjadi rapi. Dia satu-satunya.”Si orang tua yang memang adalah Datuak Sani terkekeh mengangguk-angguk. “Matamu jeli juga ternyata.”“Jadi kau mengakui bahwa kau adalah Datuak Sani?” tanya Daro, sekali lagi.“Apa kalian melupakan etika?” sahut Datuak Sani. “Datang tampak wajah pulang tampak punggung, hemm? Atau, memang seperti inilah orang-orang muda zaman sekarang?”“Aku hanya berkata sekali saja,” ujar Darna dari atas kudanya. “Berikan pada kami kepingan ketiga Teratai Abadi, dan kami akan langsung pergi dari sini.”Datuak Sani tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepa
Dalam posisi Darna Dalun dan Datuak Sani yang seperti itu, Rumada dan Daro tidak tinggal diam, keduanya langsung menyerang.Daro dari arah samping kiri dengan cakar Kuku Api mengincar rusuk Datuak Sani, manakala Rumada pula dari samping kanan dengan tebasan satu goloknya ke arah pinggang lawan.Hanya saja, untuk seorang pendekar tua sekelas Datuak Sani, semua pergerakan tersebut telah masuk dalam perhitungannya. Ia menyalurkan tenaga dalamnya ke kaki kanan lalu menghantamkan kaki kanannya itu dengan cepat ke arah datangnya tebasan golok.Tebasan Rumada terhenti, bahkan goloknya yang tajam itu seolah menyentuh sesuatu yang lembut namun juga kuat, telapak kaki si pria tua memerah menahan golok Rumada.Dan bersamaan dengan tendangan kaki kanannya itu, Datuak Sani mengentakkan tangan kirinya menyongsong sepuluh cakar dari Daro dalam bentuk cakaran juga.Lima cakar bahkan mampu menahan sepuluh cakar wanita tersebut. Bahkan, itu dilakukan Datuak Sani tan
Dari dalam rumah, di balik jendela berdaun ganda yang sedikit renggang, Arum menyaksikan semua pertarungan di depan rumah mereka tersebut. Tiga orang mengeroyok ayahnya, namun tak satu jua dari mereka yang mampu melukai sang ayah.Gadis manis itu terlihat sedikit bengis ketika mengernyitkan keningnya.‘Dasar orang-orang tidak tahu diri!’ umpatnya di dalam hati. ‘Apakah kalian tidak mengukur terlebih dahulu dalamnya lautan? Tingginya langit? Ayahku sayang pasti akan membunuh kalian semua!’Tapi kenyataannya, Datuak Sani hanya berdiri saja di dekat lio-nya itu, Rantai Narako yang melilit tangannya kembali terurai, berputar-putar dan menjela ke tanah dengan mengeluarkan suara berdesis seperti tersiram air.Dan sepertinya, keinginan Arum tidak akan terjadi.Sementara itu, Rumada pun membantu memapah Darna Dalun bersama Daro.“Ke—kenapa?” ujar Darna dengan wajah merah dan keringat sebesar butir-butir jagu
Pagi yang sama di mana Buyung Kacinduaan terbangun dengan tubuh mengejang di dalam gua itu. Memang, tubuh bocah tujuh tahun itu tidak mengelinjang-gelinjang seperti yang sudah-sudah, namun tentu, bila dibiarkan begitu saja hanya akan menjadikan bocah itu semakin tersiksa.Sang harimau putih mengawasi tubuh yang mengejang di lantai gua, tatapannya terfokus pada dada sang bocah.Makhluk buas yang didewakan oleh masyarakat itu seolah mampu melihat hingga ke lapisan dalam tubuh tersebut.Satu-satunya penjelasan mengapa tubuh itu kembali mengejang adalah kenyataan bahwa di dalam tubuhnya itu telah bersarang racun dari serangga legendaris Sipasan Api, juga racun dari cacing-cacing bercahaya.Namun sesungguhnya, alasan terbesar sang harimau putih meminta Buyung Kacinduaan menelan cacing-cacing bercahaya itu hanyalah demi mengobati luka-luka dalam bocah tersebut yang tidak disadari oleh bocah itu sendiri.Dan kini, siapa yang bisa menduga
Upik Andam terlihat lebih bersemangat di pagi ini. Ia memang sedang membawa semangkuk singkong rebus dengan beberapa butir cabai hijau, dan sebuah kendi kecil di kedua tangannya. Namun, langkah kaki gadis 18 tahun itu jelas sedang menggambarkan perasaannya yang riang gembira.Begitu ia sampai di gubuk kecil itu, ia tidak menemukan apa yang ia cari. Tapi, sang gadis tersenyum dengan sangat manis. Paling tidak, ia tahu harus mencari ke mana sesuatu yang ingin ia jumpai tersebut.Gadis itu pun kembali melangkah, meninggalkan gubuk kecil untuk terus menuju ke arah hutan belantara di belakang sana.Senandung tanpa lirik yang mengalun lembut dari mulut sang gadis terdengar begitu indah. Seolah-olah ia sedang memuji suasana pagi ini yang begitu hangat lagi menyenangkan. Rumput-rumput liar bergoyang bersinggungan dengan tubuh sang gadis, seakan-akan ikut menari bersama keceriaan yang ada.Di bibir hutan itu, ada sebuah aliran anak sungai dengan d
Semenjak di hari itu, Buyung Kacinduaan selalu menjalani proses latihan yang sama dan proses pengobatan yang sama pula, berulang-ulang setiap hari.Di mana, di setiap malam tubuhnya akan mengejang dan terkadang di awal pagi, lalu kembali harus menelan cacing-cacing bercahaya itu, mengejang lagi, menggelepar lagi. Dan kemudian, ia juga harus menelan empedu ular yang didapatkan oleh Inyiak Tuo Bamato Biru. Dan ya, setiap kali ia menelan emepedu ular itu, hal yang sama akan kembali terulang dan berakhir dengan ia jatuh pingsan dengan cairan biru kental meleleh dari sudut mulutnya.Meskipun Buyung sendiri menganggap apa yang dilakukan sang harimau putih terhadap dirinya hingga berulang-ulang itu setiap hari, hanyalah sekadar memperpanjang umurnya akibat dari menelan dan mencerna Sipasan Api secara tidak sengaja, namun, tanpa ia sadari, justru ketiga jenis racun yang ada di dalam tubuhnya telah membentuk sesuatu yang sangat menguntungkan baginya.Rac
Malam ini, bulan sangat indah dan terang benderang. Buyung Kacinduaan ingin melewati malam ini dengan bersemadi di atas batu besar di tepian sungai yang membelah lembah Ngarai Sianok. Ya, seperti malam-malam sebelumnya yang selalu ia manfaatkan untuk mengkaji diri.Hal yang sama yang berulang-ulang disarankan oleh si harimau putih itu kepadanya, hal yang pada akhirnya disadari oleh Buyung bahwa semua itu untuk membangkitkan dan mengolah tenaga dalamnya sendiri.Hanya saja, malam ini sepertinya ia tidak akan bisa tenang melakukan semadinya. Padahal, bentuk bulan yang nyaris bulat sempurna itu—pertanda esok akan terjadi purnama—sangat mendukung keinginan Buyung untuk bersemadi.Pasalnya, sejak beberapa saat yang lalu, si harimau putih yang mengalai di atas batu besar lainnya selalu melenguh-lenguh, kadang pendek, kadang pula panjang, sembari menatap ke arah rembulan.Buyung memang hampir memahami semua bahasa tubuh dan arti lenguhan sang harimau