Di sisi barat daya Gunung Singgalang, di tengah-tengah jalan tanah yang biasa digunakan oleh mereka yang menunggang kuda, di antara dua sisi hutan yang begitu rimbun. Empat orang terlibat perkelahian. Tiga melawan satu.
Sosok yang di tengah-tengah itu terluka di banyak sisi tubuhnya, pakaiannya pun telah banyak yang robek. Namun, sepertinya ia tetap terus bertahan untuk bisa melawan tiga orang yang mengeroyoknya.
Tiga pengeroyok itu tidak lain adalah Rumada alias Siladiang Kamba, Daro alias Sijundai Bakuku Api, dan seorang pria yang memakai pakaian serbaputih begitu juga dengan tudung kepalanya yang dari kulit hewan sejenis cerpelai. Sedangkan orang yang dikeroyok itu adalah salah satu Hulubalang Kerajaan Minanga.
“Kau sudah tua, Rimau Buluah,” ujar Rumada sembari menunjuk sosok di tengah-tengah dengan ujung goloknya. “Kenapa tidak menyerah baik-baik, dan katakan saja pada kami, siapa pemegang tanda khusus ketiga, hemm?”<
Si Rimau Buluh menggeram kencang, namun ia tidak dapat melakukan apa-apa lagi selain berlutut seperti itu di tanah. Dua tangannya terkulai sebab remuk di dalam, dua kakinya pun telah tidak bisa ia gerakkan sebab urat-urat besar di bagian belakang lututnya telah putus.Kondisi pria setengah abad itu benar-benar menyedihkan dengan darah yang masih menetes ke bumi dari luka-luka di sekujur badannya. Ia juga mengenakan pakaian panghulu layaknya si Kuciang Ameh, namun pakaian berwarna biru itu sudah tidak berbentuk lagi.“Kini kau tahu,” ujar si orang muda kepada Rimau Buluah. “Di atas langit masih ada langit. Kau memandangku sebagai orang yang lebih muda dan mungkin dengan senang kau jatuhkan. Tapi, sayang seribu kali sayang, kau salah mengukur kemampuan orang, Rimau Buluah.”Rimau Buluah mendengus, antara tertawa dan jeritan yang menyatu, lalu lelehan darah juga muncul di sudut bibirnya.“Kalau kau mau membunuhku,” ujar Ri
“Biar kuberi tahu padamu satu rahasia, Rimau Buluah,” ujar Darna Dalun, dan kembali berdiri, menjauh dua langkah dari si Hulubalang Kerajaan itu. “Agar kau tidak mati penasaran.”Darna berbalik, tersenyum menanggapi tatapan yang masih mampu memberikan kesan membunuh yang kuat itu meski air mata masih bergulir dari sana.“Kepingan pertama dan kepingan kedua,” ujar Darna kemudian. “Kami sudah mendapatkannya.”“Ka—kau,” ujar si Rimau Buluah di tengah linangan air matanya. “Kau hanya membual saja, Darna. Kalau aku, aku sudah tua, tentu kalian mampu mengalahkanku. Tapi tidak dengan Simpai Gilo[1] dan Sialang Babega!”Darna menyeringai, ia lalu memandang pada Daro. “Perlihatkan padanya!”Daro pun mengeluarkan dua kepingan dari pecahan Teratai Abadi, tentu saja, satu kepingan adalah palsu sebab mereka tidak mendapat kepingan kedua yang dimiliki Sialang Bab
“Bagaimana dengan kuda itu?” Darna Dalun melirik ke arah kuda coklat yang sedang berada di bawah sebuah pohon.Kuda itu adalah kuda tunggangan si Rimau Buluah sebelumnya.“Tinggalkan saja,” sahut Rumada.“Tidak,” kata Daro. “Kurasa lebih baik dibawa saja.” Dan saat melihat tatapan tidak menyenangkan dari mata suaminya itu, Daro kembali berkata, “Kalian laki-laki memang tidak bisa berpikir panjang.”“Jelaskan maksudmu itu,” ujar Rumada pula sementara itu Darna Dalun hanya menyeringai saja, ini bukan hal asing lagi baginya menyaksikan dua orang gurunya itu saling bertengkar. “Perempuan!”“Apakah kalian akan merampok saja kedai-kedai makan ketika kita kelaparan nanti di tengah perjalanan, hemm?”Rumada terkekeh dan mengangguk-angguk, sekarang ia paham apa yang dimaksudkan oleh istrinya itu.“Paling tidak,” kata Daro. “Kita bi
Langkah-langkah yang gontai itu setapak demi setapak akhirnya memasuki aliran air sungai. Tanpa diminta oleh sang harimau putih sekalipun, Buyung Kacinduaan perlahan-lahan duduk di aliran air. Ya, meski baru sebatas perutnya, namun Buyung sudah merasakan kesegaran yang luar biasa.Benar, luar biasa.Buyung sedikit terkesiap sembari memandangi sang harimau putih yang berbaring di tengah-tengah aliran, hanya bagian leher dan kepalanya itu saja yang berada di atas permukaan air. Makhluk buas itu melenguh dua kali, lenguhan kedua sedikit lebih panjang.Sang bocah menelan ludah. ‘Mungkinkah Inyiak Balang tahu bahwa tubuhku memang sedang terasa panas saat ini? Panas dan begitu lemas?’Buyung beringsut mendekati sang harimau putih. Dan ketika ketinggian air mencapai lehernya, ia memang merasakan sensasi kesegaran yang lebih, seolah-olah aliran pelan dari sungai dangkal itu mampu menghanyutkan rasa panas sekaligus rasa lemas yang ia rasakan.&l
Rumada menghentikan ucapannya, Daro sengaja menyentuh tangannya sebab wanita dan pria si pemilik lapau mendatangi mereka dengan membawa beberapa makanan untuk mereka.“Mari, silakan Uni, Uda,” ujar sang wanita seraya menghidangkan ke atas meja itu beberapa piring tembikar.Satu piring berisi jagung bakar, satu piring berisi singkong rebus, satu piring berisi irisan-irisan daging rusa bakar, dan semangkuk sambal hijau. Sementara yang pria menghidangkan tiga cangkir bambu ke hadapan masing-masing orang tersebut. Ketiga cangkir itu masih mengepulkan uap tipis.Lalu, tiga mangkuk yang dibikin dari batok kelapa, dan satu cerek air. Cerek yang terbuat dari loyang. Pria itu menuangkan air dari cerek ke dalam batok kelapa yang dimaksudkan sebagai pencuci tangan tamu-tamunya itu.“Mari, Uni, Uda, silakan dinikmati,” ujar sang pria pula.“Apakah ini daging rusa?” tanya Daro sebab irisan daging itu berwarna agak gelap.
Empat orang di dalam lapau sama menelan ludah. Tiga pria berbadan besar itu dikalahkan semudah itu saja oleh ketiga orang lainnya. Bahkan, mereka tidak melihat sama sekali bagaimana caranya di pria kedua sampai terjengkang seperti itu dengan kening yang benjut besar.Apa dan bagaimana bisa demikian, tidak satu pun dari keempat orang tersebut tahu. Mereka hanya melihat di tangan pemuda berpakaian serbaputih itu sudah tidak ada lagi potongan jagung bakar yang sebelumnya ia pegang.“Selagi guru-guruku sedang berbaik hati,” ujar Darna Dalun tanpa memandang tiga bandit hutan yang mengerang-erang di tanah itu. “Lebih baik secepatnya kalian berambus[1] dari sini!”Setelah mengetahui mereka telah salah mengincar mangsa, ketiga bandit itu pun segera meninggalkan lapau tersebut. Pria ketiga dan pria kedua memapah pria pertama yang mengalami luka lebih parah, seinci di atas kemaluannya, bahkan luka bolong berjumlah lima itu masih mengucur
Sang rembulan di horizon timur terlihat cukup indah, meski dengan kehadiran setengahnya saja dari wujud keindahan itu, tapi itu sudah cukup untuk memberi ketenangan bagi makhluk yang mendambakan kedamaian.Burung-burung hantu itu contohnya. Mereka bersahut-sahutan dari satu sudut rimba ke sudut rimba lainnya. Seolah ketenangan malam di bawah siraman cahaya lembut sang rembulan adalah sebuah pertanda bagi mereka untuk beranak pinak.Buyung Kacinduaan masih duduk memeluk lutut di atas salah satu batu besar di tepian sungai sisi timur. Duduk melamun seraya menatap kelembutan rona sang rembulan.Di belakang sang bocah, pada batu yang lebih besar dan lebih tinggi, Inyiak Tuo Bamato Biru berbaring di atas batu tersebut. Tatapannya juga tertuju kepada sang ratu malam di ujung ketinggian sana, namun lebih seringnya, tatapannya itu tertuju ke punggung sang bocah di hadapannya.Gemericik aliran air sungai lebar namun dangkal itu menambah denting da
“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Buyung Kacinduaan terkesiap, ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu ke belakang dan terhenti pada sosok harimau putih itu yang masih melenguh pendek dan halus.‘Tidak,’ gumam sang bocah dalam hati. ‘Jelas bukan Inyiak Balang yang berucap barusan itu!’Kembali tatapan Buyung tertuju ke arah sang rembulan separo.“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Tiba-tiba wajah sang bocah tenggelam dalam kesedihan. Benar, bisik hati kecilnya. Itu suara ayahnya. Suara Sialang Babega yang seperti terputar ulang di dalam bilik ingatan sang bocah.“Aku tidak tahu, Ayah. Yang aku tahu, bulan sangat indah, apalagi dengan bentuk bulat sempurna seperti sekarang itu.”Sialang Babega tertawa pelan seraya mengusap kepala Buyung Kacinduaan.“Keindahan rembulan ada pada ketenangannya, Buyung.”“Ketenangan?&rd