Share

Tanpa Arah

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2021-11-26 16:00:29

Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, ia juga tidak mengingat kenapa ia sampai tertidur. Namun yang pasti, kelepar sayap burung hantu dan suara burung itu sendiri mengagetkan bocah tujuh tahun tersebut, dan itu membuat ia terbangun.

“Ibu…!”

Saat bocah itu membuka matanya, kondisi di sekitar masihlah sangat gelap sebab sejatinya ia terbangun di tengah malam. Suhu udara di sekitar ngarai itu terasa sangat sejuk bagi sang bocah yang hanya mengenakan celana komprang.

Dengan penerangan seadanya dari sang rembulan yang tepat berada di titik tertingginya itu, sang bocah meraba-raba untuk mengawasi kawasan di sekitar lewat mulut goa.

Sepertinya orang-orang itu memang sudah pergi, pikirnya. Dan mulailah ia mencari-cari cara untuk turun.

“Ibu, tunggu aku, Bu…”

Sang bocah sama sekali tidak terpikirkan bahaya seperti apa yang akan ia temui jika ia memaksa untuk turun ke dasar lembah. Yang ada dalam pikirannya, ia harus menemukan tubuh sang ibu yang sebelumnya ia lihat jatuh tepat di hadapannya.

“Aku akan segera ke bawah.”

Jadi, besar kemungkinan tubuh sang ibu pasti berada tepat di bawah goa ini, begitu harapan sang bocah tujuh tahun. Dan berharap saja, ibu masih hidup.

“Tunggu aku…”

Sayangnya, ia hanya menemukan urat-urat kayu yang pendek di sekitar mulut goa itu. Tapi itu sudah cukup, pikirnya. Ia pun mengikatkan satu ujung tali dari kain sarung yang masih melingkar di pinggangnya itu ke salah satu urat kayu yang menyembul di mulut goa.

Perlahan-lahan dengan kaki yang gemetar, sang bocah mulai turun. Tapi, tali itu terlalu pendek untuk ia bisa mencapai dasar ngarai. Bahkan, ia belum mencapai setengah ketinggian dari tebing ngarai itu sama sekali.

“Para dewa, selamatkan ibuku.”

Buyung Kacinduaan menggapai-gapai, dan ia akhirnya berhasil berpegangan pada rumpun tanaman menjalar di dinding ngarai. Setelah memastikan pegangannya cukup kuat dengan satu tangan, dan tangan lainnya ia gunakan untuk melepas ikatan tali di pinggangnya.

Setelah berhasil melepas ikatan tali kain, sang bocah perlahan-lahan merayap turun dengan berpegangan pada tanaman menjalar yang sepertinya adalah tanaman jenis kerakap.

Sayangnya, beberapa hasta ke bawah, Buyung Kacinduaan tidak lagi menemukan tanaman tersebut. Jadi, ia bergantung begitu saja di setengah ketinggian tebing ngarai.

“Ibu, ak—aku, aku tidak kuat lagi…”

Lama kelamaan sang bocah tidak mampu menahan pegangannya. Tidak saja karena tenaganya yang lemah sebab masih kecil, juga lantaran tanaman kerakap itu yang telah mengeluarkan embunnya, sehingga menjadi cukup licin bagi genggaman sang bocah.

“Ibu…!”

Dan tidak dapat dihindari, Buyung Kacinduaan akhirnya jatuh ke bawah, ia berteriak kencang.

Tubuh sang bocah terhempas ke dalam rumpun semak belukar yang tebal, laju jatuh bocah itu seperti teredam. Kembali ia terguling, dan terjatuh bebas lagi.

Buyung Kacinduaan melenguh pendek ketika tubuhnya membentur dahan pohon yang besar. Tertahan sesaat di dahan pohon itu, lalu tergelincir dan kembali terjatuh.

Ada semak belukar lainnya di bawah sana yang menahan tubuh itu dari terbentur dengan batu-batu besar yang ada di dasar ngarai.

Kembali tubuh itu terguling-guling di lantai ngarai menjauh dari dinding ngarai itu sendiri. Dan kemudian tergeletak hening. Pingsan.

Ketika bulan tergelincir di sepertiga sudutnya ke arah barat, bocah itu terbangun dengan terbatuk-batuk. Ia tersedak dan kemudian memuntahkan darah kental dari mulutnya.

“Ib—Ibu…”

Buyung Kacinduaan mencoba bangkit di tengah kondisi yang gelap gulita. Sang bocah meringis, ia merasakan seluruh tubuhnya remuk redam.

Seakan sebuah mukjizat sang bocah tidak mengalami luka parah di tubuhnya, tidak pula dengan tulang yang patah.

Hanya saja, kini sang bocah menjadi bingung sendiri. ‘Ke mana langkah akan kubawa? Ke mana arah akan kutuju?’ gumamnya di dalam hati.

Sang bocah melangkah tertatih di tengah kegelapan dengan kedua tangan menggapai-gapai. Namun sejatinya, ia justru melangkah ke arah selatan, ke arah hilir. Sedangkan jasad sang ibu yang telah terbakar habis yang bahkan tidak lagi ada api yang terlihat di sana, itu berada di arah barat, ke arah tepian sungai.

“Bu…?” panggil bocah itu sembari terus melangkah. “Ibu…?”

Buyung Kacinduaan terus melangkah meski tanpa tahu arah, meski kedua tangan menggapai-gapai tanpa ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan pegangan. Dan sembari memanggil-manggil sang ibu hingga suaranya menjadi serak.

“Ib—”

Satu ketika sang bocah tersungkur karena tidak sengaja menendang batu yang lebih besar. Ia berguling-guling, mengerang kesakitan sembari mengusap-usap jari kaki yang terasa kebas mati rasa.

“Dewa…!”

Lalu, ia mendengar suara aliran air yang begitu dekat di telinganya. Saat matanya sudah terbiasa dengan kegelapan, ia sedikit tersenyum sebab ia melihat bayangan terang pantulan rembulan di permukaan sungai.

Bergegas sang bocah merangkak ke tepian sungai itu. Ia memang haus, dan lantas minum begitu saja dari aliran air sungai yang lambat.

Sesaat kemudian, setelah ia merasa puas melepas dahaganya dan merasa kakinya tidak terlalu sakit, ia pun bangkit.

Sang bocah mengedarkan pandangan. Sama, masih terlihat gelap meski sepasang mata sedikit terbiasa. Dan tetap saja ia tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mencari sang ibu.

Bocah tujuh tahun kembali melanjutkan langkahnya ke arah selatan, hingga sampai sepeminuman teh[1] ia akhirnya merasakan lelah. Kakinya seolah tidak lagi mampu diajak untuk bekerja sama.

“Ibu…” gumamnya dengan lirih dan air mata yang kembali tumpah.

Buyung Kacinduaan jatuh berlutut, tertunduk. Tubuh itu bergetar, dan kemudian kepala itu tersentak, mendongak ke langit tinggi dengan satu raungan panjang dalam tangis yang menyayat hati.

CATATAN ...

[1] Rentang waktu antara 15 sampai 20 menit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Samisagita Msi
pas msh gratis,, ampe blm kelar baca nya mlh udah abis gratis semua bab nya...
goodnovel comment avatar
Minang KW
Haha ^^ hajarr...
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
mumpung gratis semua babnya..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status