Share

Tanpa Arah

Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, ia juga tidak mengingat kenapa ia sampai tertidur. Namun yang pasti, kelepar sayap burung hantu dan suara burung itu sendiri mengagetkan bocah tujuh tahun tersebut, dan itu membuat ia terbangun.

“Ibu…!”

Saat bocah itu membuka matanya, kondisi di sekitar masihlah sangat gelap sebab sejatinya ia terbangun di tengah malam. Suhu udara di sekitar ngarai itu terasa sangat sejuk bagi sang bocah yang hanya mengenakan celana komprang.

Dengan penerangan seadanya dari sang rembulan yang tepat berada di titik tertingginya itu, sang bocah meraba-raba untuk mengawasi kawasan di sekitar lewat mulut goa.

Sepertinya orang-orang itu memang sudah pergi, pikirnya. Dan mulailah ia mencari-cari cara untuk turun.

“Ibu, tunggu aku, Bu…”

Sang bocah sama sekali tidak terpikirkan bahaya seperti apa yang akan ia temui jika ia memaksa untuk turun ke dasar lembah. Yang ada dalam pikirannya, ia harus menemukan tubuh sang ibu yang sebelumnya ia lihat jatuh tepat di hadapannya.

“Aku akan segera ke bawah.”

Jadi, besar kemungkinan tubuh sang ibu pasti berada tepat di bawah goa ini, begitu harapan sang bocah tujuh tahun. Dan berharap saja, ibu masih hidup.

“Tunggu aku…”

Sayangnya, ia hanya menemukan urat-urat kayu yang pendek di sekitar mulut goa itu. Tapi itu sudah cukup, pikirnya. Ia pun mengikatkan satu ujung tali dari kain sarung yang masih melingkar di pinggangnya itu ke salah satu urat kayu yang menyembul di mulut goa.

Perlahan-lahan dengan kaki yang gemetar, sang bocah mulai turun. Tapi, tali itu terlalu pendek untuk ia bisa mencapai dasar ngarai. Bahkan, ia belum mencapai setengah ketinggian dari tebing ngarai itu sama sekali.

“Para dewa, selamatkan ibuku.”

Buyung Kacinduaan menggapai-gapai, dan ia akhirnya berhasil berpegangan pada rumpun tanaman menjalar di dinding ngarai. Setelah memastikan pegangannya cukup kuat dengan satu tangan, dan tangan lainnya ia gunakan untuk melepas ikatan tali di pinggangnya.

Setelah berhasil melepas ikatan tali kain, sang bocah perlahan-lahan merayap turun dengan berpegangan pada tanaman menjalar yang sepertinya adalah tanaman jenis kerakap.

Sayangnya, beberapa hasta ke bawah, Buyung Kacinduaan tidak lagi menemukan tanaman tersebut. Jadi, ia bergantung begitu saja di setengah ketinggian tebing ngarai.

“Ibu, ak—aku, aku tidak kuat lagi…”

Lama kelamaan sang bocah tidak mampu menahan pegangannya. Tidak saja karena tenaganya yang lemah sebab masih kecil, juga lantaran tanaman kerakap itu yang telah mengeluarkan embunnya, sehingga menjadi cukup licin bagi genggaman sang bocah.

“Ibu…!”

Dan tidak dapat dihindari, Buyung Kacinduaan akhirnya jatuh ke bawah, ia berteriak kencang.

Tubuh sang bocah terhempas ke dalam rumpun semak belukar yang tebal, laju jatuh bocah itu seperti teredam. Kembali ia terguling, dan terjatuh bebas lagi.

Buyung Kacinduaan melenguh pendek ketika tubuhnya membentur dahan pohon yang besar. Tertahan sesaat di dahan pohon itu, lalu tergelincir dan kembali terjatuh.

Ada semak belukar lainnya di bawah sana yang menahan tubuh itu dari terbentur dengan batu-batu besar yang ada di dasar ngarai.

Kembali tubuh itu terguling-guling di lantai ngarai menjauh dari dinding ngarai itu sendiri. Dan kemudian tergeletak hening. Pingsan.

Ketika bulan tergelincir di sepertiga sudutnya ke arah barat, bocah itu terbangun dengan terbatuk-batuk. Ia tersedak dan kemudian memuntahkan darah kental dari mulutnya.

“Ib—Ibu…”

Buyung Kacinduaan mencoba bangkit di tengah kondisi yang gelap gulita. Sang bocah meringis, ia merasakan seluruh tubuhnya remuk redam.

Seakan sebuah mukjizat sang bocah tidak mengalami luka parah di tubuhnya, tidak pula dengan tulang yang patah.

Hanya saja, kini sang bocah menjadi bingung sendiri. ‘Ke mana langkah akan kubawa? Ke mana arah akan kutuju?’ gumamnya di dalam hati.

Sang bocah melangkah tertatih di tengah kegelapan dengan kedua tangan menggapai-gapai. Namun sejatinya, ia justru melangkah ke arah selatan, ke arah hilir. Sedangkan jasad sang ibu yang telah terbakar habis yang bahkan tidak lagi ada api yang terlihat di sana, itu berada di arah barat, ke arah tepian sungai.

“Bu…?” panggil bocah itu sembari terus melangkah. “Ibu…?”

Buyung Kacinduaan terus melangkah meski tanpa tahu arah, meski kedua tangan menggapai-gapai tanpa ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan pegangan. Dan sembari memanggil-manggil sang ibu hingga suaranya menjadi serak.

“Ib—”

Satu ketika sang bocah tersungkur karena tidak sengaja menendang batu yang lebih besar. Ia berguling-guling, mengerang kesakitan sembari mengusap-usap jari kaki yang terasa kebas mati rasa.

“Dewa…!”

Lalu, ia mendengar suara aliran air yang begitu dekat di telinganya. Saat matanya sudah terbiasa dengan kegelapan, ia sedikit tersenyum sebab ia melihat bayangan terang pantulan rembulan di permukaan sungai.

Bergegas sang bocah merangkak ke tepian sungai itu. Ia memang haus, dan lantas minum begitu saja dari aliran air sungai yang lambat.

Sesaat kemudian, setelah ia merasa puas melepas dahaganya dan merasa kakinya tidak terlalu sakit, ia pun bangkit.

Sang bocah mengedarkan pandangan. Sama, masih terlihat gelap meski sepasang mata sedikit terbiasa. Dan tetap saja ia tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mencari sang ibu.

Bocah tujuh tahun kembali melanjutkan langkahnya ke arah selatan, hingga sampai sepeminuman teh[1] ia akhirnya merasakan lelah. Kakinya seolah tidak lagi mampu diajak untuk bekerja sama.

“Ibu…” gumamnya dengan lirih dan air mata yang kembali tumpah.

Buyung Kacinduaan jatuh berlutut, tertunduk. Tubuh itu bergetar, dan kemudian kepala itu tersentak, mendongak ke langit tinggi dengan satu raungan panjang dalam tangis yang menyayat hati.

CATATAN ...

[1] Rentang waktu antara 15 sampai 20 menit.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Samisagita Msi
pas msh gratis,, ampe blm kelar baca nya mlh udah abis gratis semua bab nya...
goodnovel comment avatar
Minang KW
Haha ^^ hajarr...
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
mumpung gratis semua babnya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status