“Daro,” lagi-lagi Rumada menyentuh bahu wanita tersebut demi menenangkannya. “Sudahlah, jangan terlalu keras kepadanya.”
“Kau juga sama, Rumada!” karena semakin merasa kesal, Daro pun memutar langkah dan berlalu dari tepi tebing tersebut, masuk kembali ke dalam hutan.
Rumada mendesah panjang menatap kepergian Daro sembari bertolak pinggang, dan kemudian kepalanya tertunduk.
“Sudahlah,” ujar Angku Mudo dan berhenti sejenak di samping Rumada. “Perempuan memang susah untuk dipahami. Lebih baik, sekarang kita tinggalkan saja tempat ini atau istrimu itu akan semakin mengamuk.”
Rumada menyeringai. Dan seperti sebelumnya, sekali mereka begerak, tubuh keduanya langsung menghilang di dalam kelebatan hutan.
Kembali kepada Buyung Kacinduaan yang meringkuk di dalam cekungan di dinding ngarai.
Meski bocah tujuh tahun itu tidak lagi mendengar suara seseorang dari atas tebing sana, namun tidak sedikit pun ia bergerak untuk mencari tahu. Bisa saja itu hanya sebuah tipuan dan ketika ia menampakkan diri, pastilah orang-orang itu akan menangkapnya.
Ak—aku, aku harus kuat. Mereka pasti masih di atas.
Ibu… aku pasti akan ke bawah, aku pasti akan menolongmu, Bu.
Tunggu aku!
Bocah laki-laki itu tetap diam dengan memeluk lututnya, lama kelamaan tubuh itu akhirnya rebah. Buyung Kacinduaan menyembunyikan wajah di antara kedua lutut yang bertekuk.
Sang bocah sangat ingin melampiaskan kesedihan dan duka mendalam itu dengan raungan panjang, atau sekadar tangisan demi mengurangi rasa sesak di dalam dada, namun ia bersikeras untuk tidak melakukan itu. Buyung Kacinduaan tetap memegang teguh janjinya kepada sang ibu untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Sementara itu sesuatu melayang cepat di atas aliran sungai yang ada di dasar ngarai. Sosok itu seolah terbang dari arah hulu ke hilir sungai.
Di satu titik, sosok itu berhenti. Seolah sebuah kepulan asap, dengan sangat ringan ia menapak di atas sebuah batu besar di tepian sungai. Lalu, tatapannya tertuju pada gerakan yang sangat-sangat mustahil untuk bisa dilihat oleh mata manusia biasa di tengah kegelapan seperti sekarang ini.
Siapa?
Siapa di sana?
Kembali sosok yang berbalut pakaian serbahitam itu—atau seperti itulah yang terlihat—melayang ke arah daratan. Dan kini, di hadapannya telah tergolek seorang wanita hamil yang tengah berada di ujung kematiannya.
Ooh, para dewa… apa yang terjadi pada wanita malang ini?
Dan dia sedang hamil besar.
Wajah sosok itu tidak jelas. Hanya terlihat bahwa dia adalah seseorang yang bertubuh tidak terlalu tinggi dengan rambut panjang. Angin malam di lembah itu membuat rambut sosok tersebut riap-riapan.
“To—tolong…”
Wanita hamil yang tak lain adalah Zuraya itu perlahan-lahan mengangkat tangannya. Tangan itu terjulur dengan gemetar dan sangat lemah ke arah sosok yang berdiri memandanginya tersebut.
Napas Zuraya hanya tersisa satu-satu, kadang dada itu terlihat bergerak sesekali, kadang malah hening.
“In—Inyiak…” ujar Zuraya dengan suara yang nyaris tak terdengar. “An—anakku, tolong…”
Dan kemudian tangan itu kembali terhempas seiring nyawa di raga Zuraya lepas sudah.
Sosok yang dipanggil Inyiak[1] oleh Zuraya itu terdengar menghela napas dalam-dalam lalu diembuskan dengan begitu lirih.
“Mengapa manusia begitu lemah?”
Dan barulah diketahui dari suaranya yang sangat pelan, bahwa sosok itu adalah seorang laki-laki.
“Mengapa manusia suka menindas kepada manusia lainnya?”
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Tidak sosok Zuraya yang telah kehilangan nyawa, tidak pula aliran sungai, batu, hutan, bahkan hewan-hewan malam yang ada di sekitar ngarai itu sendiri.
Ia berjongkok di hadapan jasad Zuraya, lalu menempelkan satu telapak tangannya di perut yang buncit dan terlihat bergerak-gerak halus itu.
Kembali terdengar desahan lirih dari mulut sang inyiak.
“Mungkin ini sudah takdirmu…”
Sekejap saja, telapak tangan yang menempel di perut buncit Zuraya itu memancarkan cahaya kemilauan kekuningan. Seolah kembali hidup, kedua kaki Zuraya yang patah itu membuka lebih lebar dan seiring itu pula perut yang besar itu seolah mendapat tekanan dari dalam.
Pada akhirnya, bayi di dalam kandungan Zuraya keluar dengan sendirinya. Sosok itu langsung menyambut bayi tersebut.
Bayi itu terlihat bergerak-gerak dengan masih diselimuti darah, namun tidak terdengar suara tangisan meski mulut sang bayi terlihat terbuka.
Kembali sang inyiak mendesah panjang, tatapannya tertuju pada jasad Zuraya.
“Aku tidak tahu kehidupan seperti apa yang telah menunggu bayi perempuanmu ini… Akan tetapi, jika ini sudah takdirnya, maka, tidak ada yang bisa kulakukan selain merawat dia hingga dia bisa menjalankan takdirnya sendiri.”
Lalu, bola mata sang inyiak seakan berkilat, tertuju pada sebuah benda yang tidak jauh dari tubuh Zuraya. Ia mengembangkan satu telapak tangannya ke arah benda tersebut dan seketika benda itu melayang ke dalam genggamannya.
Benda itu tidak lain adalah pecahan tembikar yang sebelumnya terjatuh secara tidak sengaja oleh Buyung Kacinduaan.
Pria tua yang kumis dan jenggotnya menyatu dan riap-riapan oleh angin malam yang mulai berembus kencang itu mendesah panjang ketika ia menyadari bentuk ukiran yang ada pada pecahan tembikar tersebut. Meskipun gelap, namun ia dapat merasakan guratan-guratan halus pada permukaan tembikar dengan jari-jari tangannya.
Dan setelah itu, sang inyiak menghentakkan satu tangannya ke arah jasad Zuraya hingga jasad itu terbakar.
“Ini lebih baik daripada jasadmu dimakan makhluk buas.”
Setelah berkata seperti itu, sang inyiak dalam sekejap telah melesat kembali menuju ke arah hilir aliran sungai dengan membawa bayi perempuan Zuraya dalam gendongannya.
Api semakin membesar membakar habis seluruh jasad Zuraya. Di tengah kehidupan masyarakat Pulau Andalas yang masih memegang kepercayaan Animisme dan Dinamisme, hal semacam membakar jasad bukanlah sesuatu yang buruk.
***
CATATAN ...
[1] Inyiak adalah sapaan takzim bagi sesepuh di Tanah Minang, berlaku untuk laki-laki maupun perempuan, hampir sama dengan kata ‘eyang’ dari Tanah Jawa. Berbeda dengan kata ‘datuak’ atau ‘datuk’ yang lebih khusus digunakan untuk sesepuh laki-laki saja. Terkadang, kata ‘inyiak’ diposisikan lebih tinggi dari kata ‘datuak’ ataupun ‘datuk’ itu sendiri.
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada