“Dewa…!” Buyung menjerit ke langit tinggi. “Ibu…” dan lantas tertunduk dengan air mata berderai jatuh ke bumi. “Ma—maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menemukanmu. Maafkan aku, Bu…!”
Bagaimanapun, ia tahu ia tidak akan lagi bertemu dengan ibunya. Ia tidak tahu ke mana harus mencari. Dan tangis menggelegar itu adalah bentuk pelampiasan dari itu semua. Raungan panjang yang merobek keheningan malam buta di dasar lembah Ngarai Sianok.
Setelah tangis itu mereda, sang bocah perlahan-lahan kembali bangkit dan melanjutkan langkahnya menuju selatan.
Jauh melangkah di antara bebatuan yang ada di tepian sungai, terkadang tidak sengaja ia menginjak sisi tajam dari batu-batu yang pecah dan terpaksa ia berguling lagi demi menahan rasa sakit di telapak kakinya.
Sampai pada satu titik, titik di dasar lembah yang begitu rimbun dengan begitu banyaknya bayangan hitam dari lebatnya pepohonan, Buyung Kacinduaan meliha
Sang harimau menggeser posisi sang bocah yang tertelungkup di telapak kakinya. Sedikit salah perhitungan saja, maka, kuku-kuku harimau yang melengkung tajam itu pasti sudah menembus dada dan perut Buyung Kacinduaan. Setelah memposisikan tubuh sang bocah sedemikian rupa, sang harimau besar kembali melanjutkan menyantap kijang yang telah ia tangkap sebelumnya itu. Sesekali, harimau itu melirik ke arah sang bocah yang pingsan di sampingnya. Merasa kenyang, sang harimau bangkit, lalu meninggalkan kijang yang telah tinggal setengah itu, meninggalkan sang bocah begitu saja. Sang harimau menuju tepian sungai dangkal. Di tepian itu, binatang buas tersebut minum dengan sorot matanya yang liar pertanda ia sedang siaga kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saja membahayakannya yang sedang bersembunyi di satu tempat di tengah kegelapan. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa di sekitar sana. Sang harimau mengibas-ngibaskan kepala dan lehernya sedemikian rupa. Seolah-olah
Plekh! Gerakan tangan Sutan Kobeh kali ini justru sengaja ditahan oleh Darna Dalun. Pemuda itu dengan cepat telah berhasil menangkap pergelangan tangan sang ayah sebelum tangan itu untuk kedua kalinya mendarat ke pipinya, pipi yang masih terasa perih dan dengan telinga yang berdenging. “Kau berani melawanku, Darna!” hardik Sutan Kobeh yang semakin larut dalam kemarahannya terhadap sang anak. “Ayah, tolong,” ujar Darna Dalun sembari melepaskan pegangannya pada tangan sang ayah. “Dengarkan aku untuk sekali ini saja.” Sutan Kobeh membanting tangannya itu, memukul udara kosong, sekencang mungkin, demi melampiaskan kemarahannya. Darna Dalun menghela napas lega. Paling tidak, ia merasa sang ayah sudah lebih bisa diajak bicara. Atau pula, sang ayah telah menyadari bahwa sesungguhnya, tenaga dalam yang dimiliki Darna Dalun justru telah menyamai tingkat tenaga dalam sang ayah sendiri. Sang pemuda menyembunyikan seringainya. “Tiga purnam
Sang istri pun merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Untuk sesaat, Sutan Kobeh masih menggendong putrinya, dan satu tangannya mengusap kening sang istri.“Maafkan aku…”Sang istri tersenyum. “Aku tahu,” ujar sang istri, “aku tidak berhak untuk berkata ini padamu, Suamiku.”“Karena Darna bukan anakmu?”“Benar,” ujar sang istri pula. “Tapi, bisakah kau tidak beringan tangan kepada putramu sendiri, Suamiku?”Sutan Kobeh menghela napas dalam-dalam. Ia tahu, putrinya yang dalam gendongannya itu belumlah tidur, jadi, ia menahan ucapannya untuk mengatakan perihal bunuh membunuh keluarga Sialang Babega yang dilakukan Darna Dalun sebelumnya.Ya, tidak baik bagi anak kecil untuk mendengar hal mengerikan seperti itu.Kembali Sutan Kobeh mengusap kening sang istri tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan istrinya tersebut. Ia membaringkan putri kecilnya itu di tenga
Sisa-sisa api masih terlihat pada puing-puing menghitam dari rumah Sialang Babega. Puing-puing itu telah ambruk ke tanah, dan ya, masih mengepulkan asap di sana-sini. Bahkan, masih saja ada bara yang menyala.Mayat-mayat itu masih bergelimpangan di sana, termasuk mayat Sialang Babega sendiri.Tidak ada tetangga yang berani mendekat ke areal rumah yang telah terbakar habis itu, tidak seorang pun. Selain karena jarak satu rumah ke rumah lainnya memang cukup berjauhan, juga lantaran disebabkan sore sebelumnya itu mereka tahu bahwa ada perkelahian di rumah tersebut.Para tetangga Sialang Babega yang rata-rata adalah petani dan pencari kayu bakar di hutan—dan itu artinya, mereka tidak membekal ilmu silat apa pun—memilih untuk tidak ikut campur. Sehingga, tiada seorang tetangga pun yang tahu siapa yang kali ini berkelahi dengan Sialang Babega.Padahal, sebagai Wali Jorong, Sialang Babega cukup terkenal baik dan ramah pada para tetan
Hingga subuh menjelang pagi, ketika selimut gelap sang malam tak lagi mampu membendung cahaya sang mentari, Rumada dan Daro tetap berada di atas pohon yang lebat itu. Mereka tetap mengawasi dua orang pria di bawah sana.Semakin terang langit, semakin ramai para tetangga yang berdatangan ke lokasi rumah Sialang Babega yang kini hanya tersisa puing-puing hitam yang masih saja mengepulkan asap tipis.Orang-orang yang berdatangan itu langsung membantu dua orang yang telah lebih dahulu berada di sana.Mereka mengumpulkan jasad-jasad mengenaskan itu. Terlebih lagi, pada jasad Sialang Babega. Tidak sedikit di antara orang-orang itu yang muntah-muntah dan terpaksa menjauh atau melakukan hal lain selain harus mengurusi jasad yang satu itu.Dan sampai sejauh itu, Rumada dan Daro tidak melihat seorang pun orang-orang dari Kerajaan Minanga.“Kurasa orang-orang itu tidak akan datang,” bisik Daro pada Rumada. “Sutan Kobeh dan Darna hanya terlal
“Inyiak Tuo,” ujar Darna Dalun sembari mengambil ancang-ancang langkahnya sendiri. “Tolong, jangan teruskan!”Harimau putih kembali menggeram, perlahan-lahan ia justru mendekati Darna Dalun yang melangkah mundur.Bersamaan dengan itu, Buyung Kacinduaan pun terbangun dari tidurnya—atau, lebih tepatnya disebut; siuman dari pingsan semalaman.Lalu, ia mendengar suara geraman kencang dari seekor harimau, juga, suara yang sempat ia rekam di dalam kepalanya sebelum ini.Ia mencoba bangkit, lalu, dari balik semak belukar yang lebat dan tinggi itu, sang bocah melihat sosok Darna Dalun.Hanya saja, bersamaan dengan ia melihat sosok pemuda itu, sang bocah langsung menunduk. Menyembunyikan dirinya di balik kerimbunan semak belukar tersebut.Buyung terlihat begitu cemas. Bagaimanapun, ia tahu, pria itulah yang sebelumnya bertarung dengan ayahnya, Sialang Babega. Dan pria itu juga yang telah menyebabkan ibunya terjun dari at
Harimau putih bermata biru berdiri mematung sembari menatap Buyung Kacinduaan yang masih bersujud menahan tangisnya. Kedua tangan bocah itu semakin kotor oleh tanah hitam. Dan saat sang bocah menyadari ada satu sosok yang sedang memerhatikannya, ia pun mengangkat wajahnya. Buyung Kacinduaan sempat terkesiap, namun ingatannya kembali ke malam tadi. ‘Benar, i—itu harimau yang sama. Ta—tapi, kenapa putih? Kenapa matanya berwarna biru?’ Seolah ingin mengadukan nasibnya yang malang, sang bocah kembali menjulurkan tangannya untuk bisa menyentuh wajah sang harimau. Sang bocah, sudah terlihat seperti seseorang yang kehilangan gairah kehidupannya. Pasrah meski hati tak rela begitu saja. ‘Biarlah, jika aku harus mati menjadi mangsa dari harimau putih ini, mungkin itu lebih baik sebab aku tidak tahu lagi harus menumpang hidup pada siapa? Harus bergantung kepada siapa? Konon pula untuk membalaskan dendam orang tuaku…’ Seperti malam kemarin itu, sa
Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak mengentakkan tinjunya ke permukaan bebatuan, asap tipis mengepul dari kepalan tangannya itu. Sorot matanya menegang dan memerah, ia menggeram kencang laksana seekor harimau yang sedang terluka.“Tidak bisa tidak!” gumam Darna dengan semakin bertambah geram. “Pasti ini abu sisa pembakaran Zuraya! Jahanam…!”Darna bangkit seraya mencakar dan menerbangkan sejumlah bebatuan kerikil ke berbagai arah, tubuhnya berputar sedemikian rupa diiringi teriakan menggelegar dari mulutnya.“Seseorang pasti telah menemukan tanda khusus itu!”Darna kembali menatap sisa abu yang memang adalah sisa-sisa dari tubuh Zuraya yang terbakar. Meski tiada secarik pakaian pun yang tersisa di sana, tidak pula sekepal daging, sejumput rambut, atau juga sejengkal tulang yang bisa dilihat oleh Darna Dalun.Hanya saja, pemuda itu sangat yakin bahwa seseorang telah membantu mengkremasi jasad Zuray