"Ti-tidak tau tepatnya kapan, Tuan? Saya dan Sarkim baru tau hampir sebulan belakang ini," jelas Kuro kepada sang juragan.
"Berarti sudah cukup lama si jal*ng Sumi bermain api di belakangku. Mungkin ini yang dimaksud oleh Neng cantik Asih agar aku mengusir si jal*ng itu dari rumahku," gumam Karta, berbicara ke dirinya sendiri. Semakin tergila-gila saja sang juragan kepada perawan tua tersebut.
Karta lantas memberikan perintah kepada Sarkim dan Kuro.
"Nanti, saat kita masuk, jangan dikasih kesempatan bagi mereka untuk mengelak. Tangkap dan langsung seret, jika perlu maneh berdua aing persilahkan untuk memakai kekerasan."
"Tabeee ... Juragann."
"Di mana si babu Syarief tinggal?"
"I-itu, Juragan. Di pojok yang paling kiri," jawab Kuro lagi. Karta tidak menjawab, langsung menuju ke arah gubuk yang ditunjuk oleh centengnya barusan.
Satu meter lagi mendekati gubuk tempat Syarif tinggali, hati Karta malah sudah semakin panas membara. Suara Sumi yang berkali-kali mendesah, bahkan menjerit, terdengar sangat jelas di telinganya Karta.
Tampangnya Karta semakin mengeras, sampai urat-urat di keningnya keluar semua. Sarkim dan Kuro mencoba mengintip dari cela-cela bilik, lantas memberikan kode bahasa isyarat dengan tangannya kepada Karta, apa yang sedang dilakukan Syarif dan Sumi di gubuk, yang setiap dalam gubuknya hanya diterangi oleh cahaya lampu templok.
Juragan Karta yang memiliki harga diri dan kesombongan yang setinggi langit merasa tidak lagi dihargai martabatnya. Dia mengambil sebuah balok kayu sebesar lengan, yang biasa dipakai buat kayu bakar dan langsung berjalan memutar ke arah depan gubuk. Amarahnya sudah menggelegak.
Didobraknya kencang dengan menggunakan kakinya, pintu gubuk yang hanya terbuat dari lembaran papan tua hingga langsung terbuka dengan papannya yang langsung hancur remuk. Terdengar suara Sumi yang langsung menjerit ketakutan.
Keduanya terlihat sedang tanpa busana di atas sebuah dipan bambu, langsung terlonjak melihat kedatangan sang juragan yang tiba-tiba. Pemandangan yang tidak se*onoh membuat Karta tidak lagi bisa berpikir panjang.
Diayunkannya balok di tangan dengan membabi buta kepada kedua pasangan yang sedang berbuat m*sum tersebut. Jerit ketakutan dan kesakitan mulai terdengar membelah langit, diiringi dengan permohonan pengampunan.
Betapa sebuah keadaan bisa berubah sangat cepat. D*sah ke*ikmatan berganti dengan jerit kesakitan yang memilukan.
Syarif yang menjadi incaran utama keberutalan Juragan Karta. Pukulan balok kayu berkali-kali menghantam tubuhnya hingga sampai tergeletak tak berdaya. Sementara Sumi menangis kesakitan di sudut ruangan sembari memegangi kepalanya, yang juga terkena hantaman dari suaminya Karta. Darah sudah membasahi seluruh wajahnya. Rambut panjangnya yang dahulu tergerai indah kini terlihat berantakan.
"Seret mereka berdua, bawa ke depan halaman depan, biar dilihat oleh semua warga," perintah Juragan Karta dengan nafas terengah-engah karena kelelahan setelah habis memukuli Syarif dan Sumi.
Di depan gubuk sudah berkumpul babu-babu yang lain, mereka semua terbangun karena mendengar jeritan Sumi dan Syarif. Terdengar berbisik-bisik satu sama lain, setelah mereka mengetahui jika perbuatan zi*ah keduanya dipergoki langsung oleh Juragan Karta.
Hanya seorang babu yang sudah berusia lanjut menyaksikan kejadian menghebohkan ini hanya dari kejauhan. Dia hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Dialah, Mak Ncum, emak kandungnya si Syarif. Pemuda yang kepergok sedang berhubungan mesum dengan istri dari majikannya sendiri.
Sarkim dan Kuro yang sedari awal kejadian hanya diam saja menyaksikan Juragan Karta mengamuk, memukuli secara membabibuta mulai mendekati Syarif dan Sumi sesuai perintah sang juragan. Namun kembali terdiam, saat keduanya melihat secara dekat istri dari majikan mereka, Sumiarsih.
Keadaan kedua mahluk yang terpergok sedang beradu hasrat ini sungguh sangat memilukan. Terutama Syarif, yang sekujur tubuhnya terus dihantam balok oleh sang juragan berkali-kali, tanpa berhenti. Sampai sang juragan lelah sendiri. Entahlah, apakah pemuda yang masih berusia belasan tahun itu masih hidup atau sudah berkalang tanah. Karena terlihat tidak bergerak sedikit pun.
Sumi yang sedari tadi duduk tersudut di pojok kamar sambil menangis ketakutan, mencoba untuk mengambil kain dan kebayanya yang sedari awal sudah ada di lantai yang masih dari tanah.
Juragan Karta yang melihat istri sirinya Sumi ingin mengambil pakaiannya yang berserak di lantai langsung bergerak cepat. Diinjaknya kain dan pakaian tersebut, sehingga Sumi tidak bisa mengambilnya. Terdengar sumpah serapah Juragan Karta terhadap dirinya.
"Dasar perempuan jalang! Terakhir kulihat kau sudah tel*njang. Keluar dari rumahku pun kau tetap seperti yang terakhir kulihat!"
"Ampunn, Kang, ampunn ...." Sumi sang mantan primadona penari jaipong sampai bersujud-sujud, meminta Karta untuk mengampuni segala perbuatannya.
"Apaa ... ampun? Apa kupingku tidak salah dengar?" Karta sampai membungkukkan badannya, sambil tangan kanannya menempel di belakang telinga, seolah-olah tidak mendengar ucapan Sumi.
"Ampunn, Kang, aku khilaf." Kembali Sumi beralasan. Tubuhnya masih menunduk, kaki dan telapak tangannya sebisa mungkin dia pakai untuk menutupi sebagian tubuhnya. Karta terus membiarkan Sumi tetap dalam keadaan tanpa busana.
"Apaa? Khilaf katamu? Khilaf itu sekali, bukan berkali-kali! Dasar perempuan jal*ng!" bentak Juragan Karta lagi, masih terbakar emosinya. Lantas dia ambil kain dan kebaya milik sang istri, dan langsung menyobek-nyobeknya hingga tidak lagi berbentuk. Sobekan kain dia buang sekenanya tangan melempar. "Jangan, Kang, ampunn." Berkali-kali Sumi berusaha mencegah perbuatan suaminya, tapi Karta terus saja melakukannya. Kuro dan Sarkim, yang sedari tadi diperintahkan untuk menyeret Syarif, namun keduanya hanya berdiri terdiam. Sepertinya, mereka sedang menikmati tubuh sang nyai secara gratis. Karena, siapa pun pria di Desa Kemangi ini pasti bermimpi untuk bisa tidur dengan istri dari sang juragan, tidak terkecuali dengan para centeng suaminya. "Setan alass! Dasar manusia tidak ada guna! Cepat seret mereka keluar!" bentak Karta gusar, melihat Sarkim dan Kuro hanya diam saja memperhatikan Sumi. "Maaf, maaf, Juragan," jawab keduanya sampai terbungkuk-bungkuk tubuhnya untuk meminta maaf, kar
Mak Encum tubuhnya langsung terasa lemas, menggelosor begitu saja di atas rerumputan bagai badannya tak lagi bertulang. Dia sudah menduga jika suatu hari nanti hubungan gelap putranya dengan sang nyai pasti akan terbongkar juga. Tangisannya sudah tidak lagi berarti, tidak bisa untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi. Yang paling si emak sesali, mengapa putranya tidak mau mendengar dan mengikuti nasehatnya, agar jangan lagi melanjutkan hubungan gelapnya dengan Nyai Sumi. Mak Encum sangat tahu, putranya itu hanya dimanfaatkan oleh sang majikan perempuan untuk melayani hasrat birahi sang nyai yang tidak terkendali. Sejak dari pertama sang nyai masuk ke rumah Juragan Karta, bahkan hingga saat ini, Mak Encum adalah saksi dari aksi petualangan hasrat sang nyai dalam mencari mangsa untuk melampiaskan hasrat kelainan se*sualnya. Dan ternyata apesnya Nyai Sumi saat sedang bersama putranya si emak. Sekali lagi, pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya terpampang jelas di depan ma
PELET DARAH KOTORPart 8Seperti tidak lagi punya rasa kasihan terhadap Sumi, Karta langsung menjambak rambut istrinya tersebut, memaksa menyeretnya ke halaman depan rumah yang sudah berkumpul banyak warga desa. Tubuh Sumi langsung tertarik dengan badan membungkuk. Sumi berteriak kesakitan. Berkali-kali meminta pengampunan dan minta dilepaskan, tetapi Karta seperti tidak menghiraukan. Sumi benar-benar diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri. Teriakan meminta tolong Sumi pun dianggap percuma. Karena, tidak ada satu orang warga pun yang berani berurusan dengan Juragan Karta. Sama saja dengan mencari perkara. Suara riuh semakin ramai terdengar, setelah semua warga yang datang berkumpul juga melihat Nyai Sumi datang dengan rambut panjangnya yang dijambak oleh suaminya sendiri, juga tanpa busana. Sebagian besar warga yang kaum lelaki tidak menyia-nyiakan hal ini. Perempuan primadona istri sang juragan, yang selalu menjadi bahan hayalan dipertontonkan dengan keadaan ya
PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy
Part 12Sabetan arit dari salah satu pemuda yang memang niatnya ingin mematikan karena dihantamkan ke arah kepalanya, dengan mudah berhasil Ikhsan hindari. Amarah remaja itu semakin meluap, kali ini sabetan arit dia arahkan ke leher dari Ikhsan, itu pun dengan mudah bisa Ikhsan elakkan. Jika dari gerakannya, pemuda di hadapannya ini sama sekali tidak memiliki ilmu bela diri, keberaniannya hanya karena membawa senjata tajam. Dua orang kawannya ikut mengurung Ikhsan, semua menatapnya dengan penuh kemarahan. Cukup kiranya bagi Ikhsan untuk bermain-main, dengan gerakan cepat yang tak terduga, Ikhsan langsung menerjang dengan tendangannya yang keras, menghantam dada pemuda yang pertama kali menyerangnya hingga jatuh terjungkal. Matanya melotot, mulutnya termagap-magap karena kesulitan bernafas. Satu orang lagi yang masih terkesima, kembali jatuh dengan hidung dan mulutnya langsung mengeluarkan darah. Pukulan keras Ikhsan menghajarnya dengan tanpa ampun, dan langsung berteriak kesakitan.
Bagian 13Kedua perempuan yang salah satunya masih anak-anak terlihat celingak-celinguk, ada kesan ketakutan yang terlihat dari gerak-gerik mereka. Di tangan mereka terlihat seperti membawa bungkusan dari daun pisang, dan sepertinya kedua perempuan itu adalah yang selama ini selalu membawakan makanan untuk Nyai Sumi. Ikhsan keluar dari tempat persembunyiannya dengan membawa air dan beberapa buah-buahan hutan. Kedatangan Ikhsan cukup mengejutkan keduanya. Dua perempuan itu cepat-cepat ingin pergi dengan raut wajah yang ketakutan, seperti maling yang tertangkap basah. "Tenang, tenang, nggak usah takut. Abdi bukan orang jahat," ucap Ikhsan mencoba menenangkan mereka berdua. Perempuan yang lebih tua memberanikan diri bertanya kepada Ikhsan. "U-ubi dan singkong yang dimakan Nyai Sumi dipersembahkan dari, Akang?" Ikhsan mengangguk. "A-Akang, bukannya anak buah Juragan Karta'kan?" tanyanya lagi. "Bukan, abdi nte kenal Juragan Karta. Tadi kebetulan abdi lewat hutan, dan melihat ada pon