Karta kembali ke depan rumahnya, lantas memanggil kedua centeng yang sedang menjaga rumahnya. Berdiri bertolak pinggang di depan teras rumah.
"Sarkim! Kuroo!"
Tanpa menunggu lama, kedua centengnya datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri, datang menghadap dengan tubuh terbungkuk-bungkuk.
"Tabee, Juragan?" tanya Kuro, centeng Karta yang bertubuh kurus tinggi.
"Nyai Sumi kemana!" tanya Karta dengan membentak.
"Ti-tidak tau, Juragan."
"Dasarr gob*ookk! Kerja kalian apa di sini! Makan gaji buta, haa!" bentak Karta dengan sangat gusar.
"Ma-maaf, Juragan. Nyai Sumi tidak ada keluar rumah dari saat kami berjaga di sini, Gan." Sarkim kali ini yang menjawab.
"Tapi nyai tidak ada!"
Kedua centeng itu saling melihat satu sama lain, seperti saling memberikan kode, dan Karta membacanya sebagai sesuatu yang seperti dirahasiakan.
"Kalian berdua pasti tahu sesuatu?" selidik Karta kepada keduanya.
"Bicara! Atau aing suruh si Rustam buat memenggal kepala kalian?" ancam Karta kepada kedua centengnya tersebut yang langsung pucat setelah mendengar nama Rustam disebut majikannya. Rustam adalah jawara nomor satu yang paling ditakuti di Desa Kemangi ini, rumahnya ada di dekat batas desa. Centeng nomor satu Juragan Karta.
Kembali kedua centeng itu saling melihat, dan akhirnya Kuro yang bicara.
"Mu-mungkin nyai ada di rumah-rumah babu, Juragan,"
"Rumah-rumah babu? Ngapain nyai di situ?"
"Kami tidak tau, Gan?"
Rumah-rumah babu adalah tempat yang sengaja Karta bangun untuk para pekerjanya. Baik pekerja lelaki ataupun perempuan. Bentuk bangunannya seperti bedeng-bedeng yang berdekatan, hanya saja semua bangunannya terbuat dari bilik-bilik bambu. Letaknya ada di belakang rumah utama ini, berjarak sekitar 20 meter. Halaman rumah Karta memang sangat luas sekali, semua dikelilingi tembok, dan rumah-rumah babu tersebut berada di ujung batas tembok.
"Kalian pasti tau, ngapain nyai di situ?" tanya Karta lagi, melangkah mendekati kedua centengnya tersebut. Firasatnya mengatakan, ada sesuatu yang sengaja mereka berdua sembunyikan. Kedua centeng itu masih terdiam. Saling menatap satu sama lain dengan wajah antara bingung dan ketakutan.
"Jawabb!"
Plak ... plak
Juragan Karta menghadiahi kedua centengnya tersebut dengan gamparan yang sangat keras, sampai kedua tukang pukul itu mengaduh kesakitan. Sepertinya, kedua centeng itu memang sengaja disuruh untuk tutup mulut oleh seseorang yang sudah memberikan keduanya "uang diam"
"Mu-mungkin a-ada di bedengnya si Syarif, Gan?" jawab Sarkim pelan sambil memegangi pipinya yang terasa panas bekas dari gamparan yang keras.
Syarif adalah salah satu babu laki-laki usia remaja yang bertugas mencari rumput dan mengurusi domba-domba aduan milik Juragan Karta. Tinggalnya memang di rumah babu-babu.
Syarif? Buat apa Nyai Sumi di situ?" gumam Karta bertanya-tanya. Hatinya mulai timbul rasa curiga.
"Kalian ikut, aing!" ujar Juragan Karta kepada kedua centengnya tersebut.
"Tabee, Juragan."
Juragan Karta berjalan terlebih dahulu, melewati samping rumahnya untuk menuju ke pemukiman babu-babu. Dari kejauhan sudah terlihat deretan gubuk-gubuk bambu yang terlihat gelap, dan hanya di terangi dua buah obor, masing-masing satu obor di tiap-tiap ujung pemukiman.
"Jangan bersuara," bisik sang Juragan kepada kedua centengnya tersebut. Yang hanya dijawab lewat anggukan. Mereka berjalan mengendap-endap, semakin mendekati tempat penampungan.
Jumlah rumah-rumah babu yang terbuat dari bilik bambu itu semuanya ada lima gubuk. Mayoritas babu yang bekerja memang perempuan, hanya Syarif saja yang lelaki remaja. Syarif ini adalah anak dari babu yang berusia paling tua, Mak Ncum. Satu gubuk ditempati oleh satu babu.
Kemarahan Juragan Karta semakin bergejolak, darahnya sudah menggelegak, tetapi coba dia redam. Kali ini, kemarahannya bukan karena cemburu terhadap Syarif dan Sumi, tetapi karena Karta merasa selama ini sudah dibohongi. Dan Karta pun sekarang jadi memiliki alasan yang cukup kuat untuk mencampakkan nyainya tersebut.
10 meter sebelum mereka sampai, Karta menghentikan langkahnya. Dia sengaja bersembunyi di sebuah pohon tua yang besar. Memang ada puluhan pohon-pohon buah ukuran besar di belakang rumahnya.
Bisa dibilang, jarak antara rumah induk yang biasa Karta dan Sumi tempati ke pemukiman babu-babu dipisahkan oleh pohon-pohon tua berukuran besar-besar. Layaknya seperti hutan kecil.
Karta lantas kembali berbicara dengan kedua centengnya tersebut, dengan nada geram.
"Aing tau, selama ini maneh berdua sudah merahasiakan hal ini sama aing," cabik Karta kepada kedua centengnya tersebut.
"Ma-maaf, Juragan. Kami dipaksa oleh Nyai Sumi agar tutup mulut," jawab Sarkim takut takut, kedua centeng itu hanya menunduk, tidak berani menatap wajah sang juragan.
"Baji*g*n, Manehh! Sialan!" geram Karta, dia tidak berani bersuara kencang, karena takut terdengar oleh para babu. Sarkim dan Kuro sampai terbungkuk-bungkuk, tanda mengakui kesalahan mereka.
"Sudah berapa lama kalian mengetahui hubungan gelap mereka?" tanya Karta lagi.
"Ti-tidak tau tepatnya kapan, Tuan? Saya dan Sarkim baru tau hampir sebulan belakang ini," jelas Kuro kepada sang juragan. "Berarti sudah cukup lama si jal*ng Sumi bermain api di belakangku. Mungkin ini yang dimaksud oleh Neng cantik Asih agar aku mengusir si jal*ng itu dari rumahku," gumam Karta, berbicara ke dirinya sendiri. Semakin tergila-gila saja sang juragan kepada perawan tua tersebut. Karta lantas memberikan perintah kepada Sarkim dan Kuro. "Nanti, saat kita masuk, jangan dikasih kesempatan bagi mereka untuk mengelak. Tangkap dan langsung seret, jika perlu maneh berdua aing persilahkan untuk memakai kekerasan.""Tabeee ... Juragann.""Di mana si babu Syarief tinggal?" "I-itu, Juragan. Di pojok yang paling kiri," jawab Kuro lagi. Karta tidak menjawab, langsung menuju ke arah gubuk yang ditunjuk oleh centengnya barusan. Satu meter lagi mendekati gubuk tempat Syarif tinggali, hati Karta malah sudah semakin panas membara. Suara Sumi yang berkali-kali mendesah, bahkan menjeri
"Apaa? Khilaf katamu? Khilaf itu sekali, bukan berkali-kali! Dasar perempuan jal*ng!" bentak Juragan Karta lagi, masih terbakar emosinya. Lantas dia ambil kain dan kebaya milik sang istri, dan langsung menyobek-nyobeknya hingga tidak lagi berbentuk. Sobekan kain dia buang sekenanya tangan melempar. "Jangan, Kang, ampunn." Berkali-kali Sumi berusaha mencegah perbuatan suaminya, tapi Karta terus saja melakukannya. Kuro dan Sarkim, yang sedari tadi diperintahkan untuk menyeret Syarif, namun keduanya hanya berdiri terdiam. Sepertinya, mereka sedang menikmati tubuh sang nyai secara gratis. Karena, siapa pun pria di Desa Kemangi ini pasti bermimpi untuk bisa tidur dengan istri dari sang juragan, tidak terkecuali dengan para centeng suaminya. "Setan alass! Dasar manusia tidak ada guna! Cepat seret mereka keluar!" bentak Karta gusar, melihat Sarkim dan Kuro hanya diam saja memperhatikan Sumi. "Maaf, maaf, Juragan," jawab keduanya sampai terbungkuk-bungkuk tubuhnya untuk meminta maaf, kar
Mak Encum tubuhnya langsung terasa lemas, menggelosor begitu saja di atas rerumputan bagai badannya tak lagi bertulang. Dia sudah menduga jika suatu hari nanti hubungan gelap putranya dengan sang nyai pasti akan terbongkar juga. Tangisannya sudah tidak lagi berarti, tidak bisa untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi. Yang paling si emak sesali, mengapa putranya tidak mau mendengar dan mengikuti nasehatnya, agar jangan lagi melanjutkan hubungan gelapnya dengan Nyai Sumi. Mak Encum sangat tahu, putranya itu hanya dimanfaatkan oleh sang majikan perempuan untuk melayani hasrat birahi sang nyai yang tidak terkendali. Sejak dari pertama sang nyai masuk ke rumah Juragan Karta, bahkan hingga saat ini, Mak Encum adalah saksi dari aksi petualangan hasrat sang nyai dalam mencari mangsa untuk melampiaskan hasrat kelainan se*sualnya. Dan ternyata apesnya Nyai Sumi saat sedang bersama putranya si emak. Sekali lagi, pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya terpampang jelas di depan ma
PELET DARAH KOTORPart 8Seperti tidak lagi punya rasa kasihan terhadap Sumi, Karta langsung menjambak rambut istrinya tersebut, memaksa menyeretnya ke halaman depan rumah yang sudah berkumpul banyak warga desa. Tubuh Sumi langsung tertarik dengan badan membungkuk. Sumi berteriak kesakitan. Berkali-kali meminta pengampunan dan minta dilepaskan, tetapi Karta seperti tidak menghiraukan. Sumi benar-benar diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri. Teriakan meminta tolong Sumi pun dianggap percuma. Karena, tidak ada satu orang warga pun yang berani berurusan dengan Juragan Karta. Sama saja dengan mencari perkara. Suara riuh semakin ramai terdengar, setelah semua warga yang datang berkumpul juga melihat Nyai Sumi datang dengan rambut panjangnya yang dijambak oleh suaminya sendiri, juga tanpa busana. Sebagian besar warga yang kaum lelaki tidak menyia-nyiakan hal ini. Perempuan primadona istri sang juragan, yang selalu menjadi bahan hayalan dipertontonkan dengan keadaan ya
PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy
Part 12Sabetan arit dari salah satu pemuda yang memang niatnya ingin mematikan karena dihantamkan ke arah kepalanya, dengan mudah berhasil Ikhsan hindari. Amarah remaja itu semakin meluap, kali ini sabetan arit dia arahkan ke leher dari Ikhsan, itu pun dengan mudah bisa Ikhsan elakkan. Jika dari gerakannya, pemuda di hadapannya ini sama sekali tidak memiliki ilmu bela diri, keberaniannya hanya karena membawa senjata tajam. Dua orang kawannya ikut mengurung Ikhsan, semua menatapnya dengan penuh kemarahan. Cukup kiranya bagi Ikhsan untuk bermain-main, dengan gerakan cepat yang tak terduga, Ikhsan langsung menerjang dengan tendangannya yang keras, menghantam dada pemuda yang pertama kali menyerangnya hingga jatuh terjungkal. Matanya melotot, mulutnya termagap-magap karena kesulitan bernafas. Satu orang lagi yang masih terkesima, kembali jatuh dengan hidung dan mulutnya langsung mengeluarkan darah. Pukulan keras Ikhsan menghajarnya dengan tanpa ampun, dan langsung berteriak kesakitan.