Share

Part 4 Rumah Babu

Karta kembali ke depan rumahnya, lantas memanggil kedua centeng yang sedang menjaga rumahnya. Berdiri bertolak pinggang di depan teras rumah. 

"Sarkim! Kuroo!" 

Tanpa menunggu lama, kedua centengnya datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri, datang menghadap dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. 

"Tabee, Juragan?" tanya Kuro, centeng Karta yang bertubuh kurus tinggi. 

"Nyai Sumi kemana!" tanya Karta dengan membentak. 

"Ti-tidak tau, Juragan."

"Dasarr gob*ookk! Kerja kalian apa di sini! Makan gaji buta, haa!" bentak Karta dengan sangat gusar. 

"Ma-maaf, Juragan. Nyai Sumi tidak ada keluar rumah dari saat kami berjaga di sini, Gan." Sarkim kali ini yang menjawab. 

"Tapi nyai tidak ada!" 

Kedua centeng itu saling melihat satu sama lain, seperti saling memberikan kode, dan Karta membacanya sebagai sesuatu yang seperti dirahasiakan. 

"Kalian berdua pasti tahu sesuatu?" selidik Karta kepada keduanya. 

"Bicara! Atau aing suruh si Rustam buat memenggal kepala kalian?" ancam Karta kepada kedua centengnya tersebut yang langsung pucat setelah mendengar nama Rustam disebut majikannya. Rustam adalah jawara nomor satu yang paling ditakuti di Desa Kemangi ini, rumahnya ada di dekat batas desa. Centeng nomor satu Juragan Karta. 

Kembali kedua centeng itu saling melihat, dan   akhirnya Kuro yang bicara. 

"Mu-mungkin nyai ada di rumah-rumah babu, Juragan," 

"Rumah-rumah babu? Ngapain nyai di situ?" 

"Kami tidak tau, Gan?" 

Rumah-rumah babu adalah tempat yang sengaja Karta bangun untuk para pekerjanya. Baik pekerja lelaki ataupun perempuan. Bentuk bangunannya seperti bedeng-bedeng yang berdekatan, hanya saja semua bangunannya terbuat dari bilik-bilik bambu. Letaknya ada di belakang rumah utama ini, berjarak sekitar 20 meter. Halaman rumah Karta memang sangat luas sekali, semua dikelilingi tembok, dan rumah-rumah babu tersebut berada di ujung batas tembok. 

"Kalian pasti tau, ngapain nyai di situ?" tanya Karta lagi, melangkah mendekati kedua centengnya tersebut. Firasatnya mengatakan, ada sesuatu yang sengaja mereka berdua sembunyikan. Kedua centeng itu masih terdiam. Saling menatap satu sama lain dengan wajah antara bingung dan ketakutan. 

"Jawabb!" 

Plak ... plak

Juragan Karta menghadiahi kedua centengnya tersebut dengan gamparan yang sangat keras, sampai kedua tukang pukul itu mengaduh kesakitan. Sepertinya, kedua centeng itu memang sengaja disuruh untuk tutup mulut oleh seseorang yang sudah memberikan keduanya "uang diam"

"Mu-mungkin a-ada di bedengnya si Syarif, Gan?" jawab Sarkim pelan sambil memegangi pipinya yang terasa panas bekas dari gamparan yang keras. 

Syarif adalah salah satu babu laki-laki usia remaja yang bertugas mencari rumput dan mengurusi domba-domba aduan milik Juragan Karta. Tinggalnya memang di rumah babu-babu. 

Syarif? Buat apa Nyai Sumi di situ?" gumam Karta bertanya-tanya. Hatinya mulai timbul rasa curiga.

"Kalian ikut, aing!" ujar Juragan Karta kepada kedua centengnya tersebut. 

"Tabee, Juragan."

Juragan Karta berjalan terlebih dahulu, melewati samping rumahnya untuk menuju ke pemukiman babu-babu. Dari kejauhan sudah terlihat deretan gubuk-gubuk bambu yang terlihat gelap, dan hanya di terangi dua buah obor, masing-masing satu obor di tiap-tiap ujung pemukiman. 

"Jangan bersuara," bisik sang Juragan kepada kedua centengnya tersebut. Yang hanya dijawab lewat anggukan. Mereka berjalan mengendap-endap, semakin mendekati tempat penampungan. 

Jumlah rumah-rumah babu yang terbuat dari bilik bambu itu  semuanya ada lima gubuk. Mayoritas babu yang bekerja memang perempuan, hanya Syarif saja yang lelaki remaja. Syarif ini adalah anak dari babu yang berusia paling tua, Mak Ncum. Satu gubuk ditempati oleh satu babu. 

Kemarahan Juragan Karta semakin bergejolak, darahnya sudah menggelegak, tetapi coba dia redam. Kali ini, kemarahannya bukan karena cemburu terhadap Syarif dan Sumi, tetapi karena Karta merasa selama ini sudah dibohongi. Dan Karta pun sekarang jadi memiliki alasan yang cukup kuat untuk mencampakkan nyainya tersebut. 

10 meter sebelum mereka sampai, Karta menghentikan langkahnya. Dia sengaja bersembunyi di sebuah pohon tua yang besar. Memang ada puluhan pohon-pohon buah ukuran besar di belakang rumahnya. 

Bisa dibilang, jarak antara rumah induk yang biasa Karta dan Sumi tempati ke pemukiman babu-babu dipisahkan oleh pohon-pohon tua berukuran besar-besar. Layaknya seperti hutan kecil. 

Karta lantas kembali berbicara dengan kedua centengnya tersebut, dengan nada geram. 

"Aing tau, selama ini maneh berdua sudah merahasiakan hal ini sama aing," cabik Karta kepada kedua centengnya tersebut. 

"Ma-maaf, Juragan. Kami dipaksa oleh Nyai Sumi agar tutup mulut," jawab Sarkim takut takut, kedua centeng itu hanya menunduk, tidak berani menatap wajah sang juragan. 

"Baji*g*n, Manehh! Sialan!" geram Karta, dia tidak berani bersuara kencang, karena takut terdengar oleh para babu. Sarkim dan Kuro sampai terbungkuk-bungkuk, tanda mengakui kesalahan mereka. 

"Sudah berapa lama kalian mengetahui hubungan gelap mereka?" tanya Karta lagi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status