Share

Bagian 2 — Gara-Gara Mie Instan

.

.

.

"Kiana. Apa kau tahu, yang kau lakukan itu hal yang tidak pantas untuk dilakukan di desa ini!" ujar pria paru baya memarahi gadis bernama Kiana tersebut di dalam rumah.

"Maafkan aku Ayah, aku tidak tahu siapa dia, aku tidak kenal dia. Aku hanya ingin menolongnya." Tunjuknya pada pemuda yang sekarang sudah mengenakan pakaian milik ayah Kiana. "Kau siapa?" tanya Kiana akhirnya. Pemuda itu tampak kebingungan. Ia seperti orang linglung yang tidak tahu apa-apa.

"Aku siapa?" tanyanya balik bingung, bahkan berbicara pun ia tampak berpikir.

"Sepertinya pemuda ini sedang lupa ingatan." Ujar ibu Kiana datang membawakan minuman.

Setelah memperhatikan pria linglung itu, mereka menyadari pria itu memang mengalami lupa ingatan.

"Apa yang harus kita lakukan padanya, Ibu?" tanya Kiana.

"Karena Kiana yang menemukan pemuda ini, keluarga ini yang harus bertanggung jawab merawatnya sampai sembuh dan tahu rumahnya di mana, kita tidak bisa juga menelantarkan orang lain yang kesusahan seenaknya." Ucap paman yang memergoki Kiana di hutan tadi. Beruntungnya paman itu adalah kerabat Kiana juga.

"Ta-tapi, Paman..." Kiana ingin protes.

"Sebenarnya jika ini hukuman desa, gadis lajang dan pemuda melakukan hubungan seperti itu di tengah hutan. Harusnya akan langsung dinikahkan." Ujar Paman masih berceramah.

"Tapi aku tidak melakukan apa-apa, dia yang menarikku dan menindihku tiba-tiba, tidak seperti yang Paman pikirkan." Ujar Kiana tidak terima, sepanjang perjalanan pulang Kiana menjelaskan pada pamannya, namun pamannya masih berpikiran sebaliknya.

"Sudahlah Kiana, itu lebih baikan? Daripada kamu dinikahkan dengannya." Ujar Ayah dan Ibu Kiana yang sudah pasrah saja, karena anaknya sudah kepergok dengan lelaki dengan pose yang tidak baik, walaupun itu hanya salah paham.

Ayah dan Ibu Kiana bisa menganggap pemuda itu adalah kerabat mereka dari jauh. "Terserah Ayah dan Ibu." Ucap Kiana masuk ke kamarnya. Lagipula Kiana tidak ingin meninggalkan pria lupa ingatan itu sendirian di luaran sana, ia juga tidak setega itu.

.

.

.

Setelah yang terjadi kemarin, Kiana mendatangi Leon yang sedang memandangi langit cerah pagi hari, pria itu terlihat tidak memikirkan apa-apa sama sekali.

Kiana menghampirinya. Kemudian duduk di dekatnya. "Ka-kau tidak akan menendangku lagi, kan?" tanya Leon takut sambil memegang senjatanya.

Wajah Kiana yang putih langsung memerah menahan malu.

"Shhht, tolong lupakan kejadian kemarin." Ujar Kiana tidak ingin ingat lagi, "Atau aku akan tendang lagi milikmu jika kau terus mengingatnya." Ujar Kiana tampak kejam.

Kepolosan Kiana hari itu serasa ternodai hanya karena melihat pria telanjang kemudian ditindihnya dengan penampilan seperti itu. Kiana tidak ingin mengingat hari itu lagi dan Leon hanya menelan ludahnya takut.

.

.

.

"Kalau begitu kita belajar dari awal lagi, tapi sepertinya kau paham saja perkataanku." Pria itu hanya mengangguk.

Kiana tidak akan heran jika ia menemukan pria amnesia seperti ini, atau orang berkekuatan super. Karena di dunia ini sudah sangat lazim dengan hal-hal yang tidak masuk akal, bahkan kemunculan monster-monster yang meresahkan itu sudah bukan hal yang mengejutkan untuk Kiana. Walaupun baginya itu tetaplah menyeramkan.

"Jadi, kau bisa berbicara bahasaku ya. Uum, dengarkan aku. Siapa namamu?" Kiana berbicara dengan nada lambat agar pemuda itu paham maksudnya.

Kiana menyadari ketika ia berbicara cepat, pria itu tampak kebingungan dan kurang memahaminya.

"A-ku tidak ingat namaku." Ucapnya gagap tidak tahu namanya.

Kiana tampak berpikir, "Bagaimana kalau kamu kupanggil Leon sampai kau ingat dengan namamu sendiri?" Kiana tetap meminta persetujuan pada orangnya.

"Nama yang bagus, aku merasa tidak asing, aku mau menggunakan nama itu, terima kasih." Ucap Leon senang, dan mulai hari itu pemuda itu dipanggil Leon.

"Ternyata kau ingat banyak kata juga rupanya. Kupikir kita akan banyak belajar tentang kata-kata yang kau tidak pahami, ternyata kau mengerti." Ucap Kiana tertarik, karena pemuda itu berkembang dengan pesat.

"Aku hanya tidak ingat masa laluku dan bagaimana aku dulu, tapi jika itu kalimat atau kata, sepertinya aku mengerti walaupun agak lemot." Jelas Leon.

"Mungkin karena kita masih terlahir di negara yang sama." Gumam Kiana tetapi ia tidak ingin memikirkan hal itu lagi, intinya untuk kata dan kalimat Leon tidak perlu repot-repot untuk diajarkan lagi.

"Aku bersyukur ini cukup mudah, tinggal mengembalikan ingatanmu lagi saja ke depannya." Ucap Kiana tersenyum ramah.

.

.

.

.

"Manusia super kelas SSS, Noel Ricard telah menghilang dari dunia ini karena tertelan oleh portal waktu. Semoga saja pahlawan dunia kita akan kembali ...."

Suara reporter berita memberitahukan berita duka atas hilangannya Noel Ricard. Saat itu Leon sedang menatap layar televisi sambil melamun.

Kiana yang datang ke arahnya, sekarang sedang bergantian menatap televisi dan Leon.

"Apa ada masalah?" tanya Leon bingung melihat Kiana yang seperti itu.

"Kalian bukan orang yang sama, kan? Aku hanya berpikir jika kau adalah Noel, si manusia super sombong itu." Ujar Kiana langsung berucap. "Mentang-mentang kuat dia seenaknya menindas orang lemah sembarangan." Lanjut Kiana, ia teringat skandal yang Noel buat karena menghajar orang sampai sekarat. Tetapi, tidak ada hukum yang bisa menjeratnya. Hanya cukup dengan uang tutup mulut, kasus itu langsung menghilang.

"Tapi kulihat kalian berbeda. Orang itu memiliki tubuh kekar, tapi kau kurus. Berarti kau bukan dia sih. Walaupun wajahnya aku tidak tahu karena dia selalu mengenakan topeng." Ujar Kiana memegang dagunya memperhatikan Leon, kemudian pergi ke arah dapur. Leon hanya memandangi kepergian Kiana bengong, kemudian memperhatikan tubuhnya yang kurus.

"Kau benar mana mungkin aku adalah dia." Ujar Leon mematikan televisi. Wajah asli milik Noel tidak ada yang tahu. Jadi, tidak ada yang bisa memastikannya. Noel terkenal dengan hanya mengenakan topeng yang menutup seluruh wajahnya dan menyembunyikan wajah aslinya.

Di dunia ini, senjata canggih sekalipun tidak ada yang bisa mengalahkan monster dari Dungeon atau sebuah portal reruntuhan yang bisa muncul di mana saja ketika energi magis terakumulasi dengan kuat.

Monster dari Dungeon hanya bisa dilumpuhkan oleh para manusia super dengan kemampuannya yang bisa mengalahkan monster-monster yang muncul, senjata pun hanya akan berfungsi jika dialiri dengan kemampuan mereka.

Kruyuuuk!

Suara perut Leon berbunyi nyaring saat Kiana duduk di dekatnya dan Kiana menatapinya heran.

"Aku lapar, boleh minta makan?" Leon langsung berucap seperti anak kecil, ia lupa kapan terakhir kali ini makan, tadi malam ia hanya diberi makan roti.

"Kenapa kau bersikap seperti anak kecil begitu sih." Kata Kiana, Kiana ini orangnya tidak tegaan. Ia awalnya suka memprotes suatu hal, tetapi akhirnya dikerjakannya juga.

"Aku lapar tapi tidak tahu harus memasak itu seperti apa." Jelas Leon membuat Kiana menghela nafasnya.

"Haaa ... baiklah biarkan aku menyiapkan makanan untukmu." Kiana langsung pergi ke dapur.

.

.

.

Tidak lama kemudian ia membawa semangkuk mie, Leon menatapnya ragu.

"Ada apa?" tanya Kiana yang duduk tidak jauh dari Leon, wajah Leon terlihat masam.

"Apa ada makanan lain." Ujar Leon terus menatapi mie instan itu.

"Saat ini tidak ada, aku tidak ada niat masak. Makan apa yang ada dulu, kau 'kan sedang lapar." Ujar Kiana.

"Tidak mau." Tolak Leon.

"Haish, mau Kakak suapin?" Kiana tersenyum jahil mengambil mangkuk berisi mie instan dan benar-benar akan menyuapi Leon dengan itu, seharusnya tidak ada orang yang bisa menolak pesona mie instan dan rasanya. Padahal jelas terlihat jika Kiana itu lebih muda daripada Leon, tetapi Kiana malah bersikap menjadi yang lebih tua dari Leon.

.

.

.

"Anak pintar." Ujar Kiana merasa puas sambil membawa mangkuk yang sudah kosong.

Tidak lama kemudian, muka Leon terlihat pucat tanpa Kiana sadari dan perutnya mulai terasa sakit. Setelahnya Leon berakhir ke luar masuk toilet . Sampai ia terkulai lemas.

.

.

.

"Kamu beri makan apa anak orang, Kiana?" ibu Kiana mengomelinya di depan Leon yang terbaring lemas karena sakit perut.

Kiana hanya tertunduk merasa bersalah. "Maafkan aku Leon, maafkan aku Ibu. Aku tidak tahu jika Leon tidak bisa makan mie instan." Ujarnya merasa bersalah.

Setelah mendengar penjelasan itu, ibu Kiana terlihat tampak berpikir. Ia bingung karena selama ini ia belum pernah bertemu orang yang tidak bisa makan mie instan sampai sakit seperti itu. Kecuali, kalau punya masalah kesehatan.

"Benar kau sakit perut karena mie instan?" tanya ibu Kiana tidak percaya dan Leon mengangguk.

Ibu Kiana kemudian masuk ke dalam kamar dan mengambil sebuah obat. "Intinya kau tanggung jawab dan rawat Leon sampai pulih. Ibu ada urusan," ibu Kiana memberikan obat itu pada anaknya. "Oh iya, jangan berbuat macam-macam." Ujar Ibu kemudian meninggalkan mereka.

"Siapa yang mau buat macam-macam, Ibu!" Kiana berteriak kesal, bisa-bisanya ibunya menggodanya seperti itu. "Lagian kalau takut anaknya berbuat aneh, kenapa ditinggal." Lanjut Kiana lagi, ibunya hanya tertawa dan melambaikan tangan keluar dari rumah.

"Dasar Ibu." Gumam Kiana, menatap ke arah Leon yang terbaring.

"Apa kau lihat-lihat sambil tersenyum begitu. Lepas gigimu baru tahu." Ketus Kiana sambil tetap merawat Leon.

"Galaknya ...." Ujar Leon langsung terdiam.

"Hmpft!" Kiana membuang muka dan meninggalkan Leon ke dapur.

Setelah beberapa lama Kiana kembali lagi ke ruang tamu tempat Leon yang berbaring di kasur kecil. Karena rumah Kiana hanya ada dua kamar, kamarnya dan kamar orang tuanya. Jadi, Leon terpaksa tidur di luar.

"Aku minta maaf sebelumnya, karena membuatmu jadi seperti ini." Kiana duduk di samping kanan Leon memegang semangkuk bubur.

"Tidak apa-apa, kok." Leon menyentuh puncak kepala Kiana.

"Ya, sudah deh kalau gitu. Kamu tidak trauma, kan memakan makanan buatanku?" tanya Kiana tidak enak hati. "Kalau kau trauma, aku tidak masalah aku akan memakannya sendiri." Kiana terus berucap bahkan sebelum Leon menjawab.

"Tidak kok, aku akan memakannya. Kau sudah berusaha membuatkannya untukku. Tapi, bisakan kau menyuapiku lagi." Ujar Leon memasang wajah yang dilemas-lemaskan.

"Kau, kan bisa makan sendiri." Ketus Kiana.

"Tanganku lemas." Leon mengangkat tangannya dan menjatuhkannya. Kiana memutar bola matanya malas, tetapi ia tidak menolaknya juga.

Saat menyuapi Leon, seorang pria tiba-tiba membuka pintu, hal itu membuat Kiana benar-benar tampak terkejut dibuatnya bahkan Kiana sampai membulatkan matanya kaget, ketika melihat siapa pria tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status