Share

PART 10

“Maaf karena merepotkan anda, pak Bastian,” ujar Gia setelah berhadapan dengan Bastian.

Untuk beberapa detik Bastian dibuat terdiam melihat gadis yang kini ada di depannya, hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah sendiri karena bossnya itu terus memandangnya dari ujung rambut hingga kaki.

Gaun berwarna peach 5cm diatas lutut yang sangat cocok dengan warna kulit Gia yang putih, sepatu high hells yang tak terlalu tinggi, serta rambut yang kini tergerai bergelombang memberikan kesan fress pada dirinya. Penampilan yang tak pernah terbayangkan oleh Bastian. “Kau… sangat berbeda hari ini,” ujar Bastian tanpa sadar.

“A-apa ini terlalu berlebihan? Saya bisa menggantinya dengan yang lebih sederhana lagi, jika anda mau,” kata gadis itu sedikit panik.

“Tidak- tidak, maksudku kau cantik hari ini, eh… emh…, maksudku kau tak perlu menggantinya, itu cocok untukmu,” kata pemuda itu dengan gugup.

“T-terimakasih, pak.”

Entah mengapa Gia merasa kedua pipinya memanas sekarang, ia memegang kedua pipinya mencoba menutupi rona merah yang mungkin saja terlihat disana. “Ada apa nona Gia?”

“Ah, tak apa.”

“Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang,” ujar Bastian lalu membukakan pintu mobilnya untuk Gia.

Setelah keduanya memasuki mobil itu, Bastian segera meluncurkan kendaraannya memecah jalanan ramai. Hening, tak ada yang berniat membuka pembicaraan, Bastian sesekali melirik gadis yang duduk disebelahnya.

Detik berikutnya, ia menekan sebuah tombol untuk menutup atap mobil yang sebelumnya terbuka, karena melihat Gia yang seolah tak nyaman dengan angin yang membuat rambutnya beterbangan juga karena pakaian Gia yang sedikit terbuka dibagian bahunya.

Membutuhkan waktu lebih dari 30 menit untuk mereka samai dikediaman utama keluarga da Franch. Sesampainya disana sudah ada beberapa pelayan juga bodyguard keluarga tersebut yang menyambut keduanya, tentu saja hal ini bukanlah hal yang biasa untuk Gia. Gadis itu bahkan sempat tertegun melihat sekumpulan manusia yang berjajar didepan pintu masuk rumah itu.

Bastian keluar dan berjalan mneuju sisi lain mobilnya bermaksud membukakan pintu untuk Gia, pemuda itu mengulurkan tangannya yang disambut dengan ragu oleh gadis itu. Bastian mengarahkan tangan Gia untuk melingkar di lengannya membuat gadis itu menoleh kearahnya terkejut.

“Kau harus membiasakannya, nona Gia,” gumam Bastian.

Mereka pun masuk kekediaman tersebut, semua pelayan menundukkan kepalanya untuk memberi hormat pada kedua membuat Gia merasa aneh karena diperlakukan seperti itu.

Menit berikutnya, seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah ruangan dengan hebohnya, wajah cantik dan tubuh tinggi itu membuat Gia segera tahu jika itu adalah ibu dari bossnya. Wanita itu menghampiri keduanya dengan senyum lebar, ia merengkuh Bastian sesaat lalu beralih memandang Gia dengan senyuman yang tak kalah lebar dengan sebelumnya.

“Jadi ini wanita yang diceritakan Max itu?” tanya ibu Bastian, wanita itu berjalan mendekati Gia dan memeluknya hangat, “selamat datang dikeluarga kami, sayang,” lanjutnya.

“I-iya tante,” balas Gia gugup dengan sedikit mengangguk.

“No no! panggil aku ‘Mommy’, bukan tante, oke?” Gia terdiam bingung hendak menanggapi bagaimana ucapan ibu bossnya itu, “ah, kalau tidak salah namamu Gia, ‘kan?”

“Benar tan--, eh, m-mommy,” ujarnya.

“Haha bagus, panggil aku begitu.” Wanita itu merangkul bahu Gia, “kalau begitu ayo kita kedalam, Daddy dan kakakmu sedang dalam perjalanan. Jadi selagi menunggu mereka kita bisa lebih banyak mengobrol,” katanya sembari menggiring Gia untuk masuk lebih dalam kekediaman tersebut.

“Mom, kau melupakan anakmu yang sebenarnya?”

“Hah? Bukankah kau masih ingat semua jalan di rumah ini? Aku tak perlu lagi memandumu, ‘kan?” katanya tanpa menghentikan langkahnya. Bastian sedikit berdecak tetapi tetap mengikuti kedua wanita itu dari belakang.

Tak berapa lama, seorang pria paruh baya dengan tampang eropanya muncul memecah perbincangan keduanya. Ketiganya bangkit, ibu Bastian beranjak untuk menyambut pria tersebut, sedangkan Bastian hanya sedikit mengangguk diikuti dengan Gia.

“Siapa ini?” tanya pria itu.

“Dia Gia, Sayang, kekasih Bastian.”

“Jadi kau yang sudah membuat istriku terlalu bersemangat akhir-akhir ini,” katanya sembari mengulurkan tangan kepada Gia. Gadis itu membalasnya dengan sungkan, “tak perlu sungkan Gia, anggap saja kami keluarga dan rumah sendiri,” lanjutnya.

“Terimakasih, Om.” Pria itu mengangguk dengan senyum lalu berlaih memandang anak keduanya itu dan menepuk bahunya beberapa kali.

“Kau harus segera menentukan tanggal pertunangan kalian,” bisik pria itu membuat Bastian terkejut, ayahnya kembali menepuk pelan bahu putranya itu, “kalau begitu aku akan membersihkan diri dulu.”

“Aku akan membantumu,” timpal istrinya, “nikmatilah waktu kalian selagi kami tak ada,” lanjutnya lalu pergi menyusul suaminya.

Bastian duduk disofa sembari memijat pelipisnya, ia menghela napas. Gia duduk tak jauh dari tempat Bastian, melihat pemuda itu dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa pak Bastian membutuhkan sesuatu?” tanya gadis itu.

“Jangan memanggilku seperti itu jika disini, kau bisa menghancurkan rencana kita,” katanya tanpa menjawab pertanyaan Gia, “langsung saja panggil namaku.”

“A-apa tidak apa-apa seperti itu?”

“Justru jika kau memanggilku dengan embel-embel ‘Pak’ itu lebih berbahaya.”

“Baik kalau begitu.”

Menit berikutnya, suara berisik terdengar dari luar ruangan. Detik berikutnya 2 orang dewasa dan 2 bocah laki-laki dan perempuan muncul dengan hebohnya berlarian memasuki ruangan yang Gia dan Bastian tempati.

Gia terkejut saat melihat bocah laki-laki itu tiba-tiba menabraknya, “Ouh, kau tidak apa-apa?” tanyanya panik sembari memeriksa bocah itu.

“Vicky, jangan berlarian!” panggil seorang wanita yang baru masuk itu, “Ouh, maaf kan dia nona.”

“Tidak apa-apa.” Wanita itu menarik bocah laki-laki itu untuk mendekat kearahnya.

“Jaga anak-anakmu dengan benar, Kak!” ketus Bastian yang hanya ditanggappi dengan tatapan tajam dari Serena.

“Kau Gia, kekasih adikku?” tanya wanita itu, Gia mengangguk dan sedikit membungkuk untuk memberi salam pada wanita yang berstatus sebagai kakak Bastian itu. Serena.

Wanita itu mengulurkan tangannya, “Hai, aku Serena, kakak Bastian dan mungkin juga akan jadi kakakmu suatu saat nanti,” ujar wanita itu, Gia ikut mengulurkan tangan sembari tersenyum, “Ini suamiku, Vegas.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Gia, “dan mereka anak-anak kami, Vicky dan Vicka.”

“Beri salam kepada tante Gia, anak-anak,” kata laki-laki yang masih berdiri disamping Serena kepada kedua anaknya yang bersembunyi dibelakang kakinya.

Kedua bocah itu terlihat sangat berhati-hati mengamati Gia dengan seksama, “Ah, maaf, mereka memang pemalu,” lanjutnya.

“Tak apa, anak-anak memang seperti itu, aku mengerti.”

***

Setelah berkumpul dan berbincang cukup lama, waktu makan malam pun tiba. Semua keluarga utama berkumpul dimeja makan dengan berbagai hidangan dihadapan mereka. Acara makan malam itu berlangsung dengan hangat tak terlalu kaku seperti yang ia bayangkan, bahkan terkadang mereka melontarkan candaa-candaan kecil disela-sela makannya. Gia jadi berpikir, dari mana Bastian mewarisi sifat kaku dan sedingin itu.

“Jadi, kapan kalian akan menikah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status