Share

PART 9

Gia menarik pergelangan tangan Bastian kasar untuk segera keluar dari ruangan tersebut, setelah sedikit lebih jauh dari ruangan ibunya, ia menghempas cekalannya itu dan menghadap Bastian dengan kesal. “Kenapa anda bisa berbicara semudah itu didepan mama saya?”

“Aku hanya mempermudah urusan kita.”

“Mempermudah? Saya bahkan tidak pernah setuju dengan itu.”

Bastian memandang Gia aneh, “Bukankah itu juga menguntungkan untukmu? Aku tidak melakukannya untuk kepentinganku sendiri.”

Gia mengusap wajahnya kasar, ia kesal dan lelah. Mengapa ia harus menghadapi manusia seperti Bastian untuk saat ini? Gadis itu menghela napas, “Sebaiknya anda pergi sekarang, pak. Bukankah anda ada urusan?”

Bastian mengangguk, “Baiklah, aku tunggu kau besok pagi diruanganku.” Ia pun pergi meninggalkan Gia dengan perasaan yang masih dongkol itu.

“Apalagi ini, Tuhan?”

*****

Gia berangkat kekantornya seperti biasanya, tetapi dengan perasaan yang berbeda. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar enggan untuk berangkat kekantornya, terlepas dari kejadian semalam, tubuhnya pun terasa sangat lelah.

“Hei, ada apa ini? Kenapa kau kusut sekali?” tanya seseorang dengan merangkul bahunya.

“Jangan menggangguku, Carl,” kata Gia sembari melepas lengan Carlos dari bahunya.

“Hoho… ada apa ini?”

“Aku sedang malas bercanda saat ini.”

Keduanya berdiri didepan lift menunggu pintu tersebut terbuka. Namun, ketika pintu terbuka gadis itu dibuat terkejut karena sudah ada Bastian didalam sana. Saat Carlos hendak melangkah ia tersadar jika Gia masih diam diposisi yang sama.

“Kau tidak masuk?”

“Sepertinya aku akan naik dengan tangga.”

“Bukankah kau masih ingat aturanku, nona Gia,” timpal Bastian tiba-tiba membuat gadis itu mengurungkan niatnya.

Gia masuk kedalam lift dengan enggan diikuti oleh Carlos. Hening, tak ada yang membuka suara sama sekali, bahkan Carlos yang sebelumnya biasa berisik pun kini hanya bungkam. “Nona Gia, bagaimana keadaan ibumu?” tanya Max mencoba untuk memecah keheningan.

“Sudah cukup membaik, pak.”

“Syukurlah. Oh ya, apakah temanku melakukan tugasnya dengan baik?” tanyanya lagi sembari melirik kearah Bastian yang masih fokus dengan tabletnya.

“Ah, mungkin,” jawab Gia ragu-ragu.

Lift berdenting di lantai 8 dan detik berikutnya pintu terbuka, Bastian segera keluar mendahulu anak buahnya yang lain dan diikuti Max, Gia dan Carlos. Gia terus mengikuti langkah kaki Bastian, sedangkan Carlos dan Max berbelok menuju ruangan mereka masing-masing.

Gia meletakkan tasnya diatas meja, belum sempat ia duduk dan menyiapkan pekerjaannya telepon kantornya berdering. “Kau tak lupa yang ku bilang kemarin bukan?”

“Baik pak.”

Gia meletakkan teleponnya kembali, ia menghela napas panjang sebelum masuk keruangan bossnya. Setelah mengetuk pintu ia pun segera masuk dan berdiri dihadapan Bastian.

“Duduklah,” kata laki-laki itu, tetapi tak direspon olehnya, “baiklah, aku hanya ingin memberikan perjanjian kita, kau bisa menambahkannya jika perlu tapi kau tak bisa menguranginya,” jelas laki-laki itu sembari menyerahkan dua lembar kertas berisi beberapa perjanjian hubungan yang sudah ia buat.

Gia menerima surat itu, dan membacanya dengan seksama. Matanya sesekali membelalak, dan alisnyapun sesekali mengerut saat membaca perjanjian tersebut. “Kenapa saya harus memberitahu anda kemanaun saya pergi?” tanya gadis itu.

“Untuk berjaga-jaga jika saja ibumu menanyakannya padaku.”

“Lalu, kenapa saya harus selalu menghadiri dinner yang keluarga anda adakan?”

“Sandiwara ini aku ingin sesempurna mungkin, dan itulah upayanya.”

Gia sedikit menggelengkan kepalanya, “Jadi sampai kapan perjanjian dan sandiwara ini berlangsung?”

“Sampai aku bisa meyakinkan mereka jika aku tak butuh untuk menikah,” jawabnya, “jadi, apa ada yang ingin kau tambahkan?”

“Saya akan memikirkannya nanti.” Gia berbalik sembari membawa kertas perjanjian itu.

“Ah ya. Aku akan menjemputmu besok jam 3 sore,” ujar Bastian sebelum gadis itu keluar dari ruangannya.

Gia tersenyum, “Baik, tuan Bastian,” katanya sembari menutup pintu ruangan itu.

Gadis itu menghela napasnya sembari melihat suarat perjanjian aneh itu, ia pun kembali menuju ruangannya dan menghempas tubuhnya dikursi kerjanya. “Aku benar-benar bisa gila.”

*****

Keesokan harinya, Gia masih menemani ibunya yang masih menjalani perawatan. Gadis itu duduk disofa yang tak jauh dari tempat tidur ibunya. Di tangannya masih terus ia perhatian sebuah kertas yang berisi perjanjian yang Bastian berikan padanya, dengan sesekali helaan napas.

“Ada apa, Gia? Kenapa kau terus-terusan menghela napas?”

Gia menoleh kesumber suara, “Tidak apa-apa, mama.”

“Benarkah?”Gadis itu mengangguk.

Gia menyimpan kertas tersebut kedalam tas, lalu bangkit dan mendekat kepada ibunya. Gadis itu duduk di kursi yang ada disamping tempat tidur ibunya. “Nanti sore Carlos yang akan menjaga mama, aku harus pergi karena ada pekerjaan,” katanya.

“Pekerjaan? Diakhir pekan seperti ini?”

“Yeah, tidak bisa disebut pekerjaan kantor, tetapi aku ada urusan dengan pak Bastian.”

“Ah, kau akan kencan rupanya,” timbal wanita itu seolah menggoda putrinya.

Gia membulatkan matanya saat mendengar pernyataan ibunya, “B-bukan seperti itu, Mama,” elaknya.

“Yahh, kalau bersama Bastian mama bisa apa? Jangan lupa percantik dirimu. Mama yakin dia pun sebenarnya bosan melihat penampilanmu itu.”

“Memangnya ada apa dengan penampilanku?”

“Mama memberimu saran padamu. Gunakan dress, berdandan dan gerai rambutmu itu” kata ibunya, “kau lebih cantik dengan rambut yang tergerai, Gia.”

***

Gia sudah siap dengan setelan dressnya, pada akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi kesalon dan butik untuk mempercantik diri karena paksaan dari Vilya, sepupunya yang tiba-tiba saja datang untuk menjenguk ibu Gia. Tentu saja Wanita itu menceritakan semua kepada keponakannya sehingga kejadian pemaksaan terhadap Gia pun terjadi.

“Kau sangat cantik, Gia. Aku yakin boss mu akan semakin tergila-gila denganmu,” ujar gadis itu.

“Apa ini tidak berlebihan? Aku hanya pergi makan malam dengannya, bukannya ingin pergi ke pesta,” keluh gadis itu yang merasa risih melihat pakaian dan riasannya.

“Sssstttt! Laki-laki itu suka memanjakan mata, salah satu caranya dengan ini. Meskipun hanya makan malam tapi hal seperti ini bisa membuat mereka senang dan merasa bangga karena berati dirinya dihargai olehmu, kau paham, Gia?” jelas gadis itu membuat Gia melongo. Apakah dia baru saja dinasehati oleh anak yang lebih muda darinya?

“Kau sepertinya sudah sangat berengalaman, ya?”

“Kau tau bukan kota Paris seperti apa?”

Setelah mengurus semua keperluan Gia, keduanya memutuskan untuk menunggu Bastian di butik tempat Gia membeli pakaian, karena sangat tidak mungkin jika mereka harus kembali ke rumah ataupun kerumah sakit.

Tak berselang lama, sebuah mobil lamborgini biru dengan atap yang terbuka berhenti didean butik tersebut. Tanpa perlu menebak pun, Gia tahu jika itu adalah Bastian. Gia pun memutuskan untuk keluar dari butik tanpa sepupunya itu, lalu menghampiri pemuda yang sudah berdiri diluar mobil dengan setelah jas rapi berwarna biru gelap.

“Maaf karena merepotkan anda, pak Bastian.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status