Sesuai janji yang sebelumnya ia katakan kepada Carlos, mereka pergi kerumah Gia untuk mengadakan pesta ulang tahunnya. Carlos dan Gia sampai dengan bebrapa pepperbag yang dibawa Carlos, berisi bahan bahan yang Gia butuhkan.
"Mama, Gia pulang."
"Oh, sayang, kau pulang cepat?"
Gadis itu mencium pipi ibunya, "Iya, dan lihat siapa yang kubawa kemari," katanya sembari sedikit menyingkir memperlihatkan Carlos yang baru saja masuk.
"Carlos, sudah lama kau tak berkunjung kemari. Kau semakin tampan saja, ya," kata wanita itu sembari memeluk pemuda itu.
"Maaf tante, pekerjaanku cukup menumpuk akhir-akhiri ini."
"Ck, kalian berdua itu sama saja. Terlalu sibuk dengan pekerjaan juga bukan hal bagus, kesehatan kalian yang terpenting," ujar wanita itu menceramahi keduanya yang kini hanya saling pandang.
"Baiklah-baiklah, tenang saja mama, kami akan menjaga diri," kata Gia dengan senyuman, "berikan itu padaku, Carl," lanjutnya sembari mengambil alih pepperbag yang dibawa Carlos.
"Kalian berdua duduklah, aku akan membuatkan sesuatu yang spesial malam ini," katanya sembari berjalan menuju dapurnya.
"Ada apa ini?"
"Hari ini ulang tahun Carlos mama, aku ingin membuat makan malam spesial untuknya."
"Itu pun setelah kau melupakannya, 'kan," sindir pemuda itu.
"Ouh, C'mon Carl. Aku sudah minta maaf untuk itu."
Gia mulai sibuk dengan acar memsaknya, sedangkan Carlos dan ibunya sibuk berbincang dan bercanda, sesekali gadis itu juga menimpali candaan dari keduanya.
*****
Tok tok tok
Pintu terbuka menampilkan seorang laki-laki dengan setelah jas hitam memasuki ruangan kerja Bastian. Laki-laki itu menyerahkan satu map coklat, sesuatu yang depan oleh bossnya beberapa jam yang lalu.
"Kau boleh pergi," katanya tanpa berbasa-basi. Bastian segera membuka map tersebut danmembaca dengan teliti hasil pekerjaan anak buahnya.
"Menarik."
Cklek!
Pintu kerjanya kembali terbuka, kini bukan salah satu anak buahnya, melainkan manusia yang menurutnya paling berisik dan merepotkan. Serena da Franch. Wanita yang 3 tahun lebih tua darinya itu berjalan mendekatinya dengan semangat.
Brak!
Wanita itu menggebrak meja kerja adik laki-lakinya, "Katakan dengan sejelas-jelasnya, Bas."
"What?"
"Mommy bilang kau akan mengenalkan kekasihmu akhir pekan ini, benar?"
"Hanya karena itu kau membuat keributan dirumahku?"
"Jawab saja pertanyaanku, anak nakal!"
"Aku belum memutuskannya! Lagi pula kenapa kau sangat tertarik dengan itu, huh?"
Serena menyentil kening Bastian, "Aku mengkhawatirkan gadis yang kau kencani itu, bodoh. Bagaimana bisa dia terjerumus kedalam perangkap laki-laki kaku sepertimu?" kata Serena bertanya-tanya, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan adiknya.
"Kenapa kau selalu membuatku kesal, kak?" Bastian memijat pelipisnya, "apa kau tak punya pekerjaan lain? aku dengar anak perusahaan yang kau urus sedang ada masalah," lanjutnya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Masalah itu sudah diatasi oleh Vegas," kata Serena, wanita itu mendekatkan tubuhnya kearah Bastian, "jadi? seperti apa dia?"
"Siapa?"
"Wanitamu, bodoh, siapa lagi memangnya?"
"Untuk apa aku memberitahumu?" katanya kembali menyibukkan diri dengan berkas yang ada dihadapannya.
Serena memicingkan matanya, "Kau menghindari obrolan ini? Jangan bilang kalau kau berbohong?"
Tepat sasaran, Bastian melirik kakak perempuannya itu tanpa menimpali ucapannya, "Bukankah kau lebih baik pulang? apa anak-anakmu tidak mencari ibunya yang berkeliaran kemana-mana ini?"
Serena menyandarkan punggungnya kekepela kursi, "Kau tidak bisa membohongiku, Bas," katanya dengan senyum, lalu bangkit, "baiklah aku akan menunggu gadis itu bersamamu akhir pekan, aku harap kau berhasil, Bro." Wanitu itu keluar dari ruangan tersebut, mmbuat Bastian cukup lega.
"Huh! merepotkan sekali."
*****
Seperti biasanya, Gia sampai dikantor 30 menit lebih cepat. Ia segera menyiapkan beberapa berkas yang harus ia serahkan pada CEO nya, ia juga menyiapkan minuman untuk Bastian. Gadis itu melirik arlojinya setelah siap dengan tugas diawal harinya.
"Lima menit lagi pasti dia datang," gumamnya, Gia segera keluar dari ruangan Bossnya itu dan kembali ketempat kerjanya.
Tak lama, sesuai perkiraannya, Bastian datang dengan perfeksionisnya. Sesaat hal itu membuat Gia terpikat sesaat, tetapi segera tersedar dari pikiran lainnya itu. Gadis itu bangkit dan memberi salam pada Bastian yang dibalas hanya dengan anggukan kepala.
Gia kembali duduk saat melihat boss nya sudah memasuki ruangan, "Aku rasa ia taka kan pernah menikah dengan perilaku dingin dan kaku seperti itu," gumamnya.
Di sisi lain ruangan, Bastian sibuk dengan berkas-berkasnya sesekali ia menyesap minuman yang ada dimejanya. Ditengah-tengah pekerjaannya dering telepon berbunyi, Bastian meraih benda pipih itu dan menerima panggilan tersebut tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas miliknya.
"Halo?"
"Bastian, apa makanan favorit kekasihmu?"
"Mom? makanan favorit?"
"Iya, Mommy akan berbelanja hari ini dan berencana membuatkan calon menantu mommy makanan kesukannya. Jadi?"
Bastian memijat pelipisnya, ia melupakannya, "Mom, kau bisa menyiapkan apapun, aku yakin dia pasti menyukainya," ujar Bastian pasrah.
"Ah, kalau begitu, apa yang tidak bisa ia makan? Mommy tidak mau melukai calon menantu mommy."
"Dia bisa memakan semuanya, Mom, dan berhenti memanggilnya 'Calon menantu', itu menggangguku."
"Mengapa itu mengganggumu? kalian akan segera menikah, wajar jika mommy memanggilnya begitu, 'kan"
Bastian menghela napas, "Oky, terserah saja. Bastian sibuk sekarang, nanti Bas telepon lagi." Bastian memutus panggilan tersebut sebelum mommynya sempat menjawab.
Pemuda itu meletakkan ponselnya keatas meja sedikit membanting, ia menyandarkan punggung ke kepala kursi sembari menghela napas berat. Bastian melirik ketempat Gia berada, gadis berkuncir kuda, dengan penampilan sederhana dan profesional, hal yang membuatnya bisa mempertahankan Gia menjadi sekretarisnya selama lebih dari 2 tahun.
"Apa aku harus benar-benar menggunakannya?" gumamnya. Menit berikutnya ia beralih kembali dengan layar tab nya, tetapi baru beberapa menit ia sudah kembali melirik tempat sekretarisnya itu. "Akh, sudahlah. Aku hanya ingin masalah ini segera selesai," monolognya, lalu menekan satu tombol di telepon kantornya yang menyambungkan ketelepon kantor Gia.
"Keruanganku, sekarang!" ujarnya tegas.
Pintu diketuk, setelah mendapat ijin untuk masuk Gia membuka pintu ruangan bossnya. Gadis itu berdiri dihadapan Bastian, sedikit terkejut dan kaget karena tiba-tiba dipanggil keruangan itu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Bastian diam dan justru mengamati gadis itu dengan teliti, ia bangkit dan berjalan mengitari tubuh Gia membuat gadis itu merasa ngeri. Bastian bersandar dipinggir meja menghadap Gia dengan tangan masuk kedalam saku celananya.
"Apa kau ada rencana akhir pekan ini?" tanya Bastian semakin membuatnya terkejut, tetapi tetap dengan ekspresi yang masih bisa ia kontrol.
"Akhir pekan ini saya ada jadwal kunjungan adik saya, Pak."
"Begitu rupanya." Bastian mengangguk paham.
"Tapi, jika ada sesuatu yang mendesak, saya bisa membatalkan kunjungan adik saya," tambahnya.
Bastian menaikkan sebelah alisnya, "Apa tak masalah? aku membutuhkanmu dari pukul 4 sore sampai malam," katanya.
"Ah, begitu. Kalau begitu saya akan mengunjungi adik saya dipagi hari, setelah itu saya akan segera menemui anda. Kalau boleh tahu, dimana kita akan mengadakan rapat, Pak?"
"Rapat? aku tidak mengajakmu untuk rapat. Aku mengajakmu untuk dinner bersama keluargaku." Satu kalimat yang mampu membuat fungsi otak Gia terasa berhenti sejenak. Gadis itu mencerna perlahan kata-kata CEOnya itu.
"M-maaf pak, apa saya tidak salah dengar, dinner?" tanya Gia mengkonfirmasi ulang ucapan Bastian.
"Aku rasa telingamu masih berfungsi dengan baik, nona Gia."
Gia masih dibuat speecless dengan ucapan Bastian, "K-kenapa saya? anda bisa pergi bersama kekasih anda, bukan?" Konyol, Gia merutuki pertanyaan konyolnya. Ia sesaat lupa jika Bastian paling tidak suka jika ada orang yang membicarakan kekasih di depannya.
"Bukankah kau tahu, nona Gia?" Gadis itu menunduk.
"Maaf, pak. Tapi, tetap saja, kenapa harus saya?"
"Karena aku tak punya pilihan lain. Tenang saja, aku akan membayarmu, anggap saja ini adalah kerja lemburmu."
Gia terdiam, ia merasa aneh, ada sedikit rasa yang membuatnya merasa sesak, "Maaf pak, tapi saya tidak bisa." Gia membungkuk, "permisi."
Setelah menyelesaikan semua jadwal mereka pada hari itu, keduanya memutuskan kembali ke rumah orang tua Bastian saat bulan sudah meninggi. Sangat terlihat dari raut muka Gia jika gadis itu kelelahan. Seperti biasa mereka disambut hangat oleh seluruh penghuni rumah, tak terkecuali para pelayan. Gia berjalan menuju kamarnya setelah lebih dulu menyapa calon mertuanya yang ada di ruang keluarga. Gadis itu menghempaskan tubuhnya yang kelelahan keatas kasur empuk milik keluarga Da Frans itu. Gadis itu memandang langit-langit kamar tidurnya, pikirannya masih mencerna apakah keputusan yang ia pilih sampai kini adalah yang terbaik. Bagaimana jika justru pilihannya akan membuat hidupnya semakin terluka? Gia bangkit dari tidurnya, gadis itu menepuk kedua pipinya cukup kencang secara tiba-tiba, "Kau harus menerima semua resiko dari keputusan yang kau ambil, Gia!" monolognya. Tanpa ia sadari seorang pria sedang berdiri diambang pintu sembari menatapnya aneh, "Sedang apa kau? kenapa menam
Siang itu Gia dan Bastian disibukkan dengan pemilihan baju pernikahan mereka. Banyak gaun yang harus Gia coba, meskipun gadis itu sejujurnya lebih ingin acara yang sederhana, tetapi mengingat jika pasangannya adalah salah satu anggota keluarga da Franch, pada akhirnya ia pun memutuskan untuk mengikuti permintaan Lousi dan keluarganya.Da Franch Family, keluarga kaya raya yang memiliki banyak scandal tetapi tak pernah terjatuhkan selama puluhan tahun. Bahkan, saat sebuah rumor tersebar dengan cepat pula rumor itu menghilang bak tak pernah ada.Meskipun kakek Thomson masih cukup sehat, tetapi jabatan kepala keluarga Da Franch kini sudah diturunkan pada Jefran, ayah Bastian. Tentu saja Bastian yang akan meneruskan menjadi kepala keluarga selanjutnya."Bagaimana menurut anda?" tanya seorang pelayan pada Bastian setelah Gia muncul. Ini adalah gaun ke 10 yang gadis itu coba, dan hampir semua gaun yang ia coba mendapat komentar tak sedap dari Bastian.Dengan wajah kesalnya gadis itu menatap
"Jadi, acara makan malam kali ini adalah untuk membahas tanggal pernikahan kalian yang akan dipercepat!" ujar Jefran membuat Gia membelalakkan matanya terkejut, "kami berencana untuk mengadakan pernikahan kalian dalam 2 minggu lagi." "Apa?!" pekik Gia, "t-tunggu mom, dad, kenapa tiba-tiba dipercepat? bukankah mom dan dad sudah setuju jika pernikahan kami dilakukan 3 bulan lagi?" "Ini untuk kebaikan kamu dan mama kamu, Gia," ujar Lousi. "Iya, Gia. Semakin cepat kamu menjadi anggota keluarga Da Franch, semakin mudah untuk kami menjaga kalian," jelas Jefran. "Kenapa mom dan dad tidak mengobrolkannya dulu pada kami?" "Kami sudah mengobrolkannya dengan mamamu Gia, begitupun Bastian yang juga tidak ingin membuat kalian lebih tidak aman lagi dari sebelumnya," ucap Lousi, gadis itu menoleh bergantian pada mamanya dan juga Bastian. Apakah hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa disini? "Tetap saja kenapa kalian tidak bertanya pendapat Gia terlebih dulu?" tanyanya. "Sayang, ini untuk kebaik
Bastian berdiri dibarisan rak pembalut hanya diam memandang satu persatu produk-produk itu. Ia agak menyesali dirinya karena tidak bertanya apa yang biasa ia gunakan, dan juga ia masih mempertanyakan didalam otaknya bagaimana bisa pembalut wanita memiliki sayap? "Sayap? Apa dia akan terbang?" gumamnya, "merk apa yang harus aku belikan untuknya?" monolognya lagi, "Akh. Kubelikan saja semua merk biarkan dia memilih sendiri apa yang dia mau." Final, pada akhirnya Bastian membeli 1 pembalut setiap merk dan setiap kemasan yang berbeda. Sekembalinya Bastian dari swalayan, ia segera mencari keberadaan Gia dengan membawa satu kantong belanja full yang hanya berisi pembalut, membuat Gia membelalakkan matanya terkejut terheran-heran dengan laki-laki satu ini. "Bas! kamu mau membuka toko, kenapa beli sebanyak ini?" Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Aku tidak tahu apa yang biasanya kau gunakan, dan apa maksud dari pesanmu yang bersayap." Gia memijat pelipisnya, "Kau kan
"Jika bukan karena kita adalah tunangan, dia pasti sudah ku tendang keujung dunia!" ujarnya asal. Tak berapa lama, Gia menyusul Bastian yang sudah menunggunya diloby toko. Tanpa memperdulikan pemuda itu ia berlalu begitu saja keluar toko meninggalkan Bastian dibelakangnya. Bastian yang terkejut melihat tingkah Gia pun segera menyusul gadis yang kini sudah memasuki mobil itu. Setelah Bastian memasuki mobil, mereka pun melajukan kendaraannya. Tak ada satupun obrolan dikeduanya membuat suasanasemakin canggung, terlebih dengan wajah Gia yang terlihat tidak bersahabat. Pemuda itu teringat dengan penjelasan Max yag mengatakan wanita yang bisa berubah seperti singa sewaktu-waktu, apakah saat ini ia akan menjumpai sosok Gia yang seperti itu? "Ekhem." pada akhirnya Bastian mencoba untuk memberanikan diri untuk membuka obrolan, "ada apa denganmu?" tanya pemuda itu sembari sesekali melirik gadis yang hanya diam dengan tangan bersilang didepan dada dan wajah yang menatap keluar jendela. "Aku
Sudah satu minggu semenjak kejadian penculikan Gia terjadi, dan juga kini Gia dan ibunya sudah tinggal di apartement yang sama dengan Bastian, kamar mereka hanya bersebelahan. Mulai saat itu pula Gia dan Bastian selalu berangkat dan pulang kantor bersama.Meski terlihat romantis dan baik-baik saja, nyatanya hubungan mereka masih sangat canggung. Namun, juga banyak orang yang mendoakan dan mendukung hubungan mereka agar sampai dijenjang pernikahan, tentu saja tak sedikit manusia yang masih menghujat Gia yang tak pantas bersanding dengan seorang Bastian."Kau sudah memberitahu mama, jika nanti kita ada acara makan malam bersama keluargaku?" tanya Bastian."Sudah, nanti akan ku ingatkan lagi." Bastian mengangguk.*****Jam makan siang tiba, Gia hendak bangkit dari duduknya sebelum Bastian lebih dulu mengajaknya untuk makan siang di luar area kantor. Tentu saja gadis itu tidak bisa menolak ajakan pemuda itu. Setelah makan siang selesai, Bastian tidak mengajak Gia untuk kembali ke kantor t
BRAK! Suara gebrakan pintu mengejutkan semua orang yang ada disana, tak lama puluhan orang berbaju hitam sudah mengepung tempat tersebut. "Apa-apaan ini?" tanya Bertho bingung sekaligus panik. Seorang pemuda yang berwajah sangat familiar segera menghampiri Bastian yang masih tersungkur dengan diikuti beberapa anak buahnya yang segera meringkus orang-orang suruhan Bertho dengan pemuda itu juga. "Brengsek! lepaskan aku! apa-apaan ini, Bas! kau menjebakku, Sialan!" Makinya sembari berjalan keluar dari gedung tersebut, bersama anak buah BAstian yang lain. "Kenapa kau lama sekali?" tanya Bastian pada Max yang kini mencoba membantunya bangkit. Detik berikutnya Gia pun menghampiri Bastian dan mencoba membantu pemuda itu untuk berdiri. Entah kenapa rasanya menyesakkan melihat Bastian meringis kesakitan seperti itu. "Tentu saja aku harus menikmati moment yang belum pernah ku lihat sebelumnya," jawabnya santai. "Kau baik-baik saja, Bas?" tanya Gia khawatir. "Bukankah seharusnya aku yang
BUGH! Bastian tersungkur saat sebuah benda tumpul menghantam punggungnya. Namun satu pukulan tak cukup untuk menumbangkannya, ia segera bangkit dan berbalik menghadap beberapa orang yang sudah siap untuk menyerangnya. Pemuda itu tersenyum simpul, "Trup, huh?" gumamnya. Bastian bersiap dengan posisi kuda-kudanya, siap menghabisi semua orang yang ada ditempat itu. Satu orang, dua orang, tiga orang, ia berhasil melumpuhkan setengah dari orang-orang itu dalam waktu singkat. Memukuli orang adalah bakatnya yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, ia sudah di didik dengan sedemikian rupa untuk menjadi pewaris keluarga konglomerat. Kini hanya tinggal beberapa orang saja dihadapannya, ia harus menyelesaikannya sesegera mungkin untuk bisa mencari keberadaan Gia yang sebenarnya.Satu pukulan terakhir, setelah ini ia akan segera pergi mencari Gia. Setidaknya itu yang ia rwncanakan sebelum matanya menangkap sosok Gia yang tengah di seret oleh seorang pria.Konsentrasinya buyar seketika membu
Bastian memasuki sebuah ruangan dengan raut marah yang sangat terlukis jelas diwajahnya, seolah-olah berkata siapapun yang menahannya maka dia akan mati saat itu juga. Dia membuka paksa pintu ruangan tersebut, membuat seseorang yang ada di dalamnya memandangnya terkejut."Bisakah kau berhenti mengganggu milikku sejenak, David?!" ujar Bastian yang sudah sebisa mungkin menahan keinginannya untuk langsung memukuli pria dihadapannya itu.Laki-laki yang duduk di sebuah sofa itu memandang bergantian Bastian dan beberapa anak buahnya yang kini menatapnya takut. Laki-laki itu menghela napas, "Bukankah aku sudah bilang tidak ingin menerima tamu." Ucapan itu ia tujukan untuk anak buahnya."Maaf tuan, tapi tuan Bastian yang--"Prangg!Sebuah vas bunga meluncur melewati Bastian begitu saja, tepat terkena pemuda berpakaian hitam yang ada di belakanag Bastian, pemuda yang sesaat sebelumnya berbicara. "Siapa yang menyuruhmu bicara, bangsat?" tanyanya dengan santai, ia menghela napas, "pergilah kalia