Share

Eps.10 - Ngambek

(Sekar)

          Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang.

          “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali.

          “Iya.”

          “Dijemput? Tumben nggak naik suami lo.”

          “Naik bus.” jawabku sambil berjalan beriringan dengannya.

          “Istri Mahesa kok masih naik bus?”

          Aku melirik tajam ke Laras. Memberikan peringatan agar tidak berbicara dengan keras dan terdengar oleh karyawan-karyawan yang belum pulang. Laras menutup mulutnya, kemudian aku melambaikan tanganku pada Laras. Dia membalas lambaian tanganku. Di lobi aku baru sadar dengan kartu busku yang aku letakkan di kamar. Terpaksa aku membeli kartu di supermarket terdekat. Tidak bisa dibilang dekat karena aku harus berjalan sekitar 15 menit menuju supermarket dan berjalan kembali ke jalan raya untuk naik ke dalam halte bus TransJakarta.

          Mahesa sialan! Dia nggak angkat teleponku! Aku betul-betul lupa password kunci apartemennya. Soalnya setiap hari aku selalu pulang ke apartemen dengannya dan selalu Mahesa yang membukakan pintu. Akhirnya, aku turun di halte yang memiliki transit bus menuju rumahku. Sudah hampir pukul setengah 8 malam aku tiba di rumah. Kedua orang tuaku terkejut karena kedatanganku di rumah.

          Waktu aku ingin mandi, ponselku berdering.

          Gak Jelas.

          Iya, aku mengganti nama Mahesa tadi ketika perjalananku pulang ke rumah menjadi “Gak Jelas”. Ponselku berdering hingga tiga kali dan tidak ada niatanku untuk mengangkatnya. Hingga aku selesai mandi. Sepuluh panggilan tak terjawab.

          “Sekar kamu kenapa gak angkat telpon dari Mahesa?” tanya Ibu waktu aku keluar dari kamar ingin meletakkan handuk di jemuran.

          “Aku lagi mandi.” Aku menjawab santai pertanyaan Ibu.

          “Ibu bilang kamu ke sini .”

          Aku hanya mengangguk-angguk cuek. Membuka tudung saji di meja makan dan mencomot beberapa lauk.

          “Tunggu Mahesa dulu, baru kamu makan malam.” ujar Ibu pelan dari ruang keluarga.

          Memang tidak berapa lama, Mahesa datang. Wajahnya yang putih bersih terlihat kelelahan. Dia menyapa Ibu dan Ayahku dengan ramah dan langsung menuju meja makan. Lapar katanya. Bahkan dia tidak berbicara padaku sedikit pun di meja makan.

          “Kamu mau pulang atau tidur di sini?” tanyanya tiba-tiba ketika dia membuka pintu kamar.

          Aku tidak menjawab.

          “Kenapa kamu nggak langsung ke apartemen?”

          Aku menoleh ke arah Mahesa.

          “Maaf, hapeku ketinggalan di kantor.” katanya sebelum aku menerjangnya dengan banyak makian. “Lalu kamu balas dendam nggak angkat teleponku.” Dia mulai menuduh.

          “Aku lagi mandi.”

          “Oh… “ Mahesa menganggukkan kepalanya. Tidak jadi menuduh.

          “Kalau kamu nggak di kantor trus kamu kemana?”

          “Ketemu calon gamers.”

          “Trus kamu berhubungan dengan gamers itu pakai apa?”

          “Kiano yang berhubungan dengan mereka.”

          “Kiano?”

          “Iya, asistenku.”

          Aku mengerti. Mungkin aku bisa memahami kesibukan Mahesa karena dia baru merintis perusahaannya. Aku mulai memasukkan beberapa buku yang kemungkinan akan kubaca di apartemen Mahesa.

          “Jadi? Kita akan pulang apa tidur di sini?”

          “Kapan kamu mau kasih tahu aku password apartemen?”

          “Eh? Bukannya kamu tahu. Aku kan pernah kasih tahu sebelumnya.” Mahesa heran. Dia duduk di sebelahku. Bersila di lantai. “Yaudah nanti aku ganti saja deh passwordnya.” Mahesa memegang rambutku yang tergurai dan menyibakkannya ke belakang telinga.

(Mahesa)

          Aku memencet beberapa tombol pada kunci pintu apartemenku dan mengatur beberapa password baru.

          “Angkanya mau apa biar kamu ingat?” tanyaku. Sekar terlihat bingung.

          “Kalau Derry datang dan dia nggak bisa masuk bagaimana?”

          “Derry? Dia sudah aku larang ke sini. Kenapa kamu mikirin dia?” Suaraku terdengar kesal.

          “Enggak aku cuma tanya aja. Waktu aku ketemu dia di apartemen, dia kan udah masuk duluan sementara aku belum datang.”

          Tiga hari yang lalu Sekar janji bertemu dengan Derry di apartemen. Waktu itu aku dan Sekar terkena macet di jalan menuju apartemen. Ketika kami datang, Derry sudah berada di dalam apartemen.

          “Jadi mau diganti apa?” Aku tidak sabaran.

          “Tanggal pernikahan aja.” usulnya.

          Ide bagus. Aku mulai memasukkan beberapa angka dan pintu apartemen pun terbuka.

          “Awas kamu lupa lagi.” ancamku padanya.

          Sekar masuk duluan karena dia membawa satu kardus kecil berisi buku-buku. Lalu dia menuju lemari bukuku dan menyusunnya di sana. Di tempat yang tidak terlalu banyak bukunya.

          “Oh, aku lupa.” teriak Sekar tiba-tiba ketika selesai menyusun buku.

          “Apa?” tanyaku dari kamar. Aku sedang membuka kemejaku.

          Sekar berlarian mencari sesuatu di dalam tasnya. Lalu dia mengambil dompet.

          “Udah tutup belum ya minimarket di bawah? Udah jam setengah 11 malam soalnya.” Wajahnya cemas.

          “Kenapa? Kenapa?”

          “Aku mau beli roti buat sarapan besok.”

          “Mungkin belum kalau kamu lari ke sana sekarang.” perintahku.

          Sekar tidak menoleh ke arah ku sedikit pun karena aku sudah membuka kemejaku.

          “Coba kamu cek di lemari, apa selainya masih ada atau enggak. Nanti kamu telepon aku ya.” Kemudian dia melesat pergi dan menghilang.

          Aku berjalan ke arah dapur dan membuka pintu lemari yang ada di atas. Mengecek sesuai perintah Sekar. Aku mengambil dua toples kaca. Hampir habis. Akhirnya aku menelpon Sekar untuk memberitahu bahwa selainya habis. Nihil. Aku mendengar ponsel Sekar berdering di dalam kardus yang dibawanya tadi. Ternyata Sekar lupa ponselnya.

          Gak Jelas? Dia menulis namaku dengan Gak Jelas? Aku membuka ponsel Sekar dan mengubah namaku dan mengambil foto selfie-ku. Rasa penasaranku besar sekali. Aku membuka ponsel Sekar dan melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya. Masih ada foto-fotonya dengan Kevin. Seketika aku menghapusnya dan beberapa e-mail dari Kevin. Aku terlihat sangat kesal kenapa Sekar masih menyimpan fotonya dengan Kevin.

          Selesai mandi, aku melihat Sekar merapihkan beberapa barang di pantry.

          “Selainya habis loh. Hapemu ketinggalan pas aku telepon.” kataku. Tubuhku masih terlihat basah dan hanya berbalut handuk. Sekar selalu menjaga pandangannya dari tubuhku.

          “Iya. Tapi aku beli kok selainya.” ujarnya.

          Selesai memakai baju, aku merebahkan tubuhku di sofa dan menyalakan TV.

          “Sekar.”

          “Hmmm.” gumamnya sambil menaikkan suhu ruangan dan masuk ke dalam selimut tebal di tempat tidur.

          “Sini.” Aku melambaikan tanganku. Memanggilnya.

          “Mau tidur ih.”

          “Sebentar aja.”

          Sekar sudah duduk di sebelahku.

          “Ada apa?”

          “Temani aku nonton.” Aku merangkul tubuh Sekar. Dia menaikkan kakinya ke sofa. Hampir setiap malam aku menggoda Sekar. Sayangnya Sekar tidak pernah tergoda akan pesonaku. Kenapa ya aku selalu menggoda Sekar? Aku suka sekali.

          “Ini sambungan yang kemarin?” tanyanya.

          “Iya. Masak kamu gak bisa bedakan sih? Tiap hari kan episodenya berbeda.”

          “Aku nggak pernah nonton yang bersambung begini.” katanya serius menatap ke arah TV. Aku masih memeluk Sekar. Apa Sekar menganggapku sebagai temannya? Aku masih bertanya-tanya dalam hati. Eh? Kenapa aku yang terlalu bawa perasaan? Aku menelan air liurku.

          “Kamu masih simpan foto-foto Kevin?”

          Sekar yang menyandarkan kepalanya di bahuku langsung terkejut.

          “Kamu buka-buka hapeku?”

          “Aku sudah hapus semua foto-fotonya.”

          “Mahesa, kamu melanggar poin dua.”

          Aku menghela napas.

          “Coba ingat poin tiga dari perjanjianku.”

          Sekar mengernyitkan dahinya.

          “Memangnya kenapa sama poin tiga? Aku harus apa?” Sekar membusungkan dadanya. Seolah-olah ngajak berantem.

          “Hak aku sebetulnya menghapus foto Kevin, karena aku suamimu.” Aku mendekatkan wajahku padanya.

          “Tapi kamu sudah melanggar. Itu kan privasiku. Suka-suka aku dong mau hapus apa enggak.” Raut wajah Sekar berubah menjadi tidak suka. Dia berdiri dan meninggalkanku di sofa menonton TV sendirian.

          Besok paginya, ketika aku terbangun, aku tidak melihat Sekar di tempat tidur maupun di kamar mandi. Aku berjalan ke pantry dan melihat beberapa roti bakar dan jus jeruk yang disediakan.

          Habiskan roti dan jus jeruknya.

          Sampai ketemu nanti malam. Aku akan masak.

          -SAM-

          Apa Sekar marah karena kejadian semalam. Aku memang melanggar poin yang sudah kutetapkan sendiri. Aku menghela napas panjang dan menggigit roti yang disediakan Sekar. Menatap sepinya keseluruhan apartemen ini tanpa suara Sekar.

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status