Share

Eps. 9 - Tidak Tergoda, Tapi Aku Tergoda

(Mahesa)

          Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya.

          “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian.

          “Boleh.”

          “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?”

          “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?”

          “Iya sudah.”

          Kami terdiam lagi.

          “Setelah kamu resign, kamu mulai renovasi rumah yang di Pondok Indah. Silahkan kamu desain sesuka hatimu.”

          “Aku nggak bisa desain, berarti aku bisa cari desain interior?”

          “Boleh.” ujarku.

          “Pasti akan mahal ya?”

          “Aku punya teman, dia desain interior. Nanti aku kenalkan padamu.”

          “Kalau kamu punya teman desain interior, kenapa gak dari dulu suruh dia kerjakan renovasi rumahmu?” Sekar bertanya dengan malas. Dia menatapku.

          “Itu rumah masa kecilku. Aku membeli dua rumah di sebelahnya dan membangunnya. Namanya masih atas nama Mamaku. Rumah utamanya masih ada barang-barang peninggalanku dulu.”

          Sekar diam.

          “Mama Rosa itu bukan Mama kandungku. Brian dan Farel itu kakakku.” Aku akhirnya menjelaskan. “Mama kandungku? Menghilang semenjak aku pertama kali pergi ke New York.”

          Sekar mungkin melihatku dengan prihatin. Memang dari awal, semenjak datang ke rumah kami sudah disuguhkan pemandangan foto keluarga besar. Di dalam foto keluarga itu tidak ada sama sekali fotoku.

          “Kamu udah pernah cari?”

          “Setiap hari. Aku gak berhasil menemukannya.”

          “Semoga kamu cepat menemukan Mamamu.” Sekar terdengar lirih.

          Malam ini, Sekar bekerja dengan baik. Dia menguatkanku di dalam setiap sandiwaranya. Bahkan sekarang.

          “Boleh aku tidur di apartemen?” tanya tiba-tiba.

          Aku memperlambat laju setirku.

          “Kenapa?”

          “Banyak sekali pikiranku malam ini.”

          “Apa karena bebanmu baru dimulai malam ini?”

          “Ya, mungkin. Dibayanganku Papamu gak suka sama aku. Nyatanya berbanding terbalik dan aku sangat terbebani.”

          Betul. Papa menyukai Sekar. Mungkin Sekar jauh sekali dari sikap angkuh dan jaga image dari wanita-wanita yang selalu dibawa oleh Brian dan Farel ke rumah. Sekar malah tertawa terbahak-bahak di depan Papa.

          “Jangan lupa kabari orang tuamu.” kataku dan akhirnya memutar balik untuk menuju apartemenku yang sebetulnya masih satu area dengan rumah Papa. Tidak tahu kenapa, aku senang sekali. Berarti aku bisa berduaan saja tanpa menjaga sikap dengan Sekar. Kalau di rumah Sekar, aku harus menjaga sikapku karena orang tuanya.

          Apartemenku hanya memiliki dua tower besar. Tidak begitu padat dan berada di daerah selatan Jakarta yang dimana juga berada di kompleks perumahan elite. Aku tidak pernah memilih apartemen di sini. Ketika aku beberapa kali pulang ke Indonesia untuk liburan, Papa hanya memberikan tempat tinggal di sini.

          “Apa ada kaosmu yang bisa kupakai?” Sekar bertanya. Dia lagi-lagi membawa pekerjaannya ikut serta.

          “Ada banyak.”

          Ketika sampai di depan pintu apartemenku. Aku menekan beberapa tombol.

          “Passwordnya sama dengan password di hapeku.”

          Sekar mengangguk. Kemudian dia kaget.

          “Eh aku lupa password hapemu berapa?”

          Aku mengabaikan pertanyaannya. Ketika aku membuka pintu, lampu ruangan di apartemen menyala. Baunya pun berbeda.

          “Apa password di kartu gesekmu juga sama?” tanya Sekar menggoda.

          “Sama.” jawabku singkat.

          “Wah. Sayang sekali aku gak bisa ingat passwordnya.”

          Sekar akhirnya ikut merasakan keanehan. Dia terdiam.

          “Mahesa, apa ada orang di apartemenmu?” Dia terlihat curiga. Wanita ini feeling-nya kuat sekali. Mungkin karena wanita.

          Karena di dapur banyak sekali makanan cepat saji berserakan di meja pantry dan saat itu juga keluarlah seorang laki-laki dari kamar mandi hanya berbalut dengan handuk. Sekar langsung lari dan bersembunyi di belakangku. Laki-laki ini juga terkejut.

          “Mahesa!!!!” Dia berteriak memanggil namaku.

          “Jangan sampai gue kena dengan kulit lo yang basah itu.” Aku memberi peringatan padanya. Laki-laki itu dengan cepat masuk ke kamar mandi lagi dan keluar sudah memakai baju. Dia Derry. Sahabatku. Menunggu dengan setia di Indonesia.

          “Dia siapa?” Sekar bertanya. Dia masih bersembunyi dibelakangku.

          “Sahabatku.”

          “Mahesa! Kenapa nggak telpon?” Derry bertanya padaku.

          “Emangnya gue harus telpon untuk ngecek apartemen gue sendiri?” jawabku sinis. Sekar mencolekku dan membisikkan sesuatu.

          “Jangan kayak gitu. Dia kan sahabatmu.”

          Baru ini aku diperingatkan seperti itu oleh seseorang. Biasanya aku bebas melakukan apa saja bahkan dengan temanku sendiri.

          Derry sudah melirik Sekar. Ingin sekali nampaknya diperkenalkan olehku.

          “Itu istri baru lo kan?” tanya Derry asal.

          “Emangnya gue pernah punya istri sebelumnya?”

          “Ya enggak sih…. Cuma penasaran, tiba-tiba Mahesa yang jarang dekat sama wanita tiba-tiba menikah. Mendadak pula.”

          “Kan kita pernah bahas ini.”

          “Ya gue pun mengijinkan lo menikah dengan dia kan?”

          Sekar masih bernapas di belakangku. Belum mau memunculkan dirinya di depan Derry. Perawakan Derry adalah berambut panjang, bertato full body, dan brewokan. Tubuhku yang besar dan tinggi sanggup menutup tubuh Sekar yang kecil. 

          “Cepat pulang, kami mau istirahat.”

          “Tega banget. Baru ini gue ketemu sama dia. Di kenalin aja kagak.”

          “Hai, Sekar.” Sekar mengulurkan tangannya. Sekarang malah aku yang berada di belakangnya. Derry dengan senyum lebar membalas jabatan tangan Sekar. Lama sekali, sampai-sampai aku berusaha melepaskan jabatan tangannya.

          “Nggak salah. Bolehkah aku juga mencintaimu?”

          Sekar terlihat bingung dan berubah menjadi ngeri. Dia kembali bersembunyi di belakang tubuhku.

          “Lo jangan ngomong sembarangan ya! Pulang sana!” usirku.

          Derry sibuk membereskan barang-barangnya. Aku mengajak Sekar ke kamar. Sebetulnya kamar di apartemen cuma satu. Tempat tidurnya berada di dalam satu ruangan dengan ruang tv yang merangkap menjadi ruang tamu dan satu ruangan dengan dapur dan meja pantry. Hanya tempat tidur dipisah oleh partisi berwarna coklat dan di beberapa jaraknya terdiri dari berbagai macam tanaman mungil. Derry-lah yang setiap dua minggu sekali yang kusuruh untuk datang menyirami tanaman ini. Sedangkan TV ku tergantung di partisi tersebut.

          “Dia nggak punya rumah?”

          “Punya.”

          “Punya. Cuma aku tuh disuruh datang ke sini untuk bersihkan apartemennya.” ujar Derry dari dapur. Membersihkan meja pantry yang berserakan.

          “Duduk sini.” Sekar menyuruhku. Dia menepuk tangannya di kasur dan menyuruhku duduk di sebelahnya.

          “Kamu jangan seenaknya sama dia. Kamu suruh-suruh dia trus kamu gak hargai dia.”

          Aku terlihat syok. Derry tertawa terbahak-bahak.

          “Wah wah, ada gunanya juga elo menikah. Ada yang nasehatin. Thank’s Lord!

          Wajah Sekar manis sekali. Terlepas dari dia suka marah-marah, tapi ini yang kudambakan. Aku sudah lama tidak mendengar seseorang menasehatiku seperti ini. Derry pengecualian.

          Waktu Derry berteriak pamit untuk pulang. Aku mengantar Derry hingga dia naik ke mobil tuanya. Ketika aku kembali ke apartemen, aku tidak mendapati Sekar di mana pun. Tentu saja, karena apartemenku cukup terbuka dan tidak ada sekat. Aku mendengar aliran air di kamar mandi. Ya mungkin sedang mandi. Setelah aku menunggunya, lumayan lama. Bukan lama lagi. Ini terlalu lama. Aku mulai mengetuk kamar mandi dengan pelan dan memanggil namanya. Tidak ada jawaban.

          Aku mulai panik. Bahkan pintu kamar mandi pun terkunci. Aku berlari ke dapur dan membuka lemari di bawah pipa pembuangan cuci piring. Di situ beberapa perkakas lengkap tersimpan. Aku mengambil salah satu perkakas yang kupikir bisa mencongkel pintu kamar mandi. Dengan cepat dan sekuat tenaga aku mencongkel pintunya dan terbuka lebar. Aku mendapati Sekar tertidur di bath tub tanpa bergeming sedikit pun.

          Astaga! Aku menghampirinya dan beningnya air membuat aku bisa melihat seluruh tubuh telanjang Sekar. Bagaimana dia bisa tertidur di kamar mandi?

          “Sekar bangun.” Aku membangunkannya. Tetap, Sekar tidak bergeming sama sekali. Aku mencubit pipinya dan akhirnya dia terbangun. Seketika itu dia berteriak. Kedua tangannya menutup kedua payudaranya dan bagian bawahnya.

          “KELUAR MAHESA!!!!! KELUAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

          Dia berteriak sekuat tenaga. Sayang sekali, pintunya tidak bisa tertutup rapat lagi.

          “Pintunya nggak bisa tertutup rapat, Sekar.” ujarku di balik pintu dan berusaha memegangnya. Dengan sigap Sekar membalutkan tubuhnya dengan baju berbahan handuk milikku. Terlihat kebesaran. Rambutnya masih tergulung rapih sama seperti aku melihatnya saat berendam. Betul-betul indah sekali pemandanganku malam ini.

          “Kenapa sih sampai teriak begitu. Aku kan suamimu.” godaku. “Nggak ada masalah kalau aku lihat tubuhmu.”

          “Kamu…” Dia tidak bisa berkata apa-apa. Kesal.

          “Lagian bisa-bisanya kamu ketiduran di kamar mandi. Aku pikir kamu kenapa napa di dalam. Aduh! Coba liat, sampai aku congkel pintunya.” Aku menunjuk ke arah pintu.

          Sekar tidak banyak bicara. Dia menunjukkan wajahnya yang super duper kesal padaku. Aku tidak bersalah. Bukan salahku kan? Aku membuka lemari bajuku yang berada tidak jauh dari tempat tidur. Lemari ini pembatas dengan ruangan sebelahnya, tempat aku bekerja. Di bagian belakang lemari bajuku, aku menempelkan lemari buku dan beberapa foto duduk sewaktu aku di New York dan salah satu foto berhargaku dengan Mama.

          Sekar naik ke tempat tidur. Dia hanya memakai kaos milikku yang tidak terlalu bagus dan agak besar hingga aku bisa melihat pahanya kali ini dengan jelas. Dia langsung masuk ke dalam selimut.

          “Aku harap kamu nggak menurunkan suhu ruangan. Ini aja udah dingin banget.” Sekar mengingatkanku. Dia tidak bisa terkena udara yang terlalu dingin. Bagiku suhu ruangan sekarang sangat panas.

          “Gimana kalau aku turunkan suhu ruangan, tapi aku tidur bersamamu?” Aku menggodanya.

          “Silahkan saja naik ke sini. Besok aku tanda tangani surat cerai.”

          Aku tidak menjawab ancaman Sekar. Aku hanya berdiri dalam diam hingga Sekar tidak mengetahui aku berjalan ke arahnya, karena seluruh tubuh Sekar berada di dalam selimut tebal. Selama aku hidup hingga terakhir aku di Bali dan bertemu dengannya, aku tidak pernah ada satu kali pun bergairah dengan seorang wanita. Sampai aku mengajaknya menikah dan aku hampir setiap hari melihat wajahnya yang tanpa make up maupun bersolek. Aku suka memperhatikan setiap gaya Sekar. Hal-hal seperti itu yang membangkitkan gairahku. Apa aku mulai menyukainya? Kurasa tidak mungkin. Jangan sampai ini hanya perasaan suka sesaat karena aku hidup bersamanya tiap hari.

          Aku membuka selimut Sekar. Posisi tidur Sekar melengkung ke samping menahan dingin. Dia terkejut dan berusaha menarik selimutnya kembali. Pahanya yang mulus nyaris tersingkap bagian di sela-sela pahanya.

          “Mahesa!!!” Dia berteriak. Aku tidur di sampingnya. Jarak wajahku dan wajahnya dekat sekali. Dia terlihat marah. “Kamu melanggar semua perjanjian yang kita tulis.”

          “Kamu tahu nggak? Setiap hari kamu selalu teriak-teriak ke aku. Aku ini suami mu loh. Aku harus memperbaharui lagi beberapa poin penting. Dilarang berteriak.” kataku kalem. Wajah Sekar berubah menjadi wajah yang imut sekali. Tidak lagi wajah yang kesal. Merasa aneh. Aku masih melihat wajahnya dengan dekat. Bolehkah aku menciumnya? Boleh? Aku bertanya dalam hati pada diriku sendiri.

          Sekar berdiri dan menarik selimutnya. Sekejap saja aku menarik tangannya dan melemparnya ke kasur dan aku menindihnya. Dia terlihat syok sekali.

          “Kamu mau tidur di sofa?” tanyaku lembut. Tapi wajahku serius.

          “I…Iya…” jawabnya tergagap. Dia terlihat takut menatapku.

          “Kamu tidur di kasur, aku yang tidur di sofa. Kalau kamu izinkan aku tidur di sampingmu.” Aku mengunci kedua tangan Sekar.

          Aku sepertinya memang laki-laki brengsek. Aku bisa menahan semua godaan wanita yang mendekatiku tapi kali ini berbeda. Aku menciumnya dengan lembut. Bibirnya hanya terdiam beberapa saat dan aku tetap menciumnya. Ketika salah satu tanganku yang terbebas tidak memegang tangannya mulai meraba pahanya, dia mengigit bibirku dengan keras.

          “Sekar!!!!!” Aku berteriak dan memegang bibirku yang sedikit berdarah.

          “Kamu Mahesa berani sekali!!” Sekar mulai menendangku, menjambak rambutku, dan memukul seluruh tubuhku. Sangat bar-bar.

          “Aduh, Sekar. Ampun! Aduh sakit, Sekar.”

          Aku berlari ke seluruh apartemen. Sekar berusaha mengejarku dan menyiksaku dengan bar-bar.

          “Kamu sekali lagi seperti itu, serius aku tidak akan melanjutkan pernikahan ini.”

          “Sekar, iya Sekar. Ampun. Aku minta maaf.”

          Ternyata Sekar tidak tergoda. Berarti dia tidak menyukaiku. Semakin menarik. Setelah selesai menyiksaku, Sekar tidur di sofa dengan membawa selimutnya. Aku membiarkannya karena memang aku ingin menonton TV, seperti biasa. Ritual malamku yang mengharuskan aku menonton film. Aku maniac film. Tentunya sambil mengompres bibirku yang nyaris bengkak karena tergigit oleh Sekar.

          Sial!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status