Share

Eps.4 - Sandiwara Dimulai

(Sekar)

          Aku berdiri di depan pintu terminal kedatangan di bandara. Aku memakai kacamata hitam untuk menutupi mataku yang bengkak. Sama halnya dengan Mahesa. Dia berdiri di sebelahku dan membawa karton tebal yang besar bertuliskan “Selamat datang keluarganya Sekar, Salam Kenal.”

          “Aku rasa nggak usah terlalu berlebihan seperti itu. Keluargaku masih mengenaliku.”

          “First Impression is a must.” ujarnya cuek.

          Aku memperhatikan satu per satu orang-orang yang keluar. Awalnya aku melihat Kamila, adikku keluar, disebelahnya ada Reni dan dibelakangnya diikuti oleh kedua orang tuaku.

          “Itu mereka?” tanya Mahesa pelan. Dia sudah mulai tersenyum karena semua keluargaku tertuju kepada tulisan karton yang Mahesa buat.

          “Iya, tolong jaga sikapmu.” mohonku.

          Belum selesai aku berbicara, Mahesa sudah melambaikan tangan pada mereka. Kamila membalas lambaian tangan Mahesa. Aku merangkul Kamila.

          “Pasti kamu paling lamban pas mau berangkat.” celetukku ke Kamila.

          “Aduh, anak ini jangan diharapin deh. Kalau mau pergi lebih baik dia berangkat sendiri aja biar semua orang nggak tunggu-tungguan.” Reni membalas celetukanku.

          Aku mencium tangan Ayah dan Ibuku. Mahesa mengikuti. Dia masih tersenyum. Sepertinya dia menungguku untuk memperkenalkannya pada mereka.

          “Mahesa, ini ayah ibuku. Ini Reni kakakku dan ini Kamila adikku.”

          “Hai, salam kenal semuanya.” Mahesa masih membentang karton yang dibuatnya.

          Keluargaku sangat ramah pada Mahesa. Apalagi Kamila suka sekali dengan Mahesa. Maklum mungkin karena kelakuan Mahesa dan Kamila mirip seperti ABG yang penuh drama, ku rasa mereka cocok.

          “Mana Kevin?” tanya Reni waktu perjalanan menuju hotel. Mahesa menyetir. Ayahku duduk di depan. Aku bisa melihat Mahesa otomatis melirikku dari spion tengah ketika Reni menanyakan Kevin.

          “Kevin, hmmm… dia sibuk, masih ada beberapa urusan yang harus dikerjakan.”

          “Oh iya, Direktur di hotel loh.” Reni mencibir tapi sepertinya dia agak bangga bahwa adiknya menikah dengan laki-laki yang mapan sedangkan dirinya sendiri masih mengejar kariernya yang belum tercapai hingga saat ini. Jadi, untuk menemukan cinta pun sulit.

          “Apa yang harus kami bantu, Sekar?” tanya Ibu. Dia memegang tanganku.

          “Nggak ada, Bu. Kalian duduk manis saja. Menikah di Bali kan sekalian liburan keluarga. Pernikahannya simple kok.” Tanganku dingin. Semoga Ibu tidak menyadarinya karena aku melepaskan genggamannya dan pura-pura memperbaiki rambutku.

          “Orang tua Kevin di hotel yang sama kan?” Sekarang Ayahku yang bertanya.

          “Iya.” jawabku sekenanya.

          Tolong aku. Teriakku dalam hati sambil melirik ke arah spion tengah. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak akan sanggup kujawab. Aku sudah serileks mungkin untuk menjawab pertanyaan yang tidak seberapa tapi berbohongnya yang membuatku sesak.

          “Tante sama Om mau istirahat dulu di hotel atau mau keliling ke pantai sebentar?” Mahesa mengeluarkan suaranya.

          “Jalan-jalan.” Kamila menjawab.

          Ketika sampai di hotel, semua porter yang ada di lobi hotel menyerbu kami padahal barang-barang kami juga tidak seberapa banyak. Aku sempat heran, porter langsung membawa seluruh koper menuju kamar seolah-olah mereka tahu kamar yang akan ditinggali keluargaku.

          “Aku belum kasih tahu kamar berapa mereka menginap.” ujarku. Hendak mengejar porter yang berjalan begitu saja mendorong troli koper. Mahesa mencegahku dan menggenggam tanganku.

          “Aku pindahkan mereka ke kamar yang ada bungalow nya untuk satu keluarga.”

          “Bungalow? Itu kan mahal!” Aku tidak terima.

          “Aku yang bayar. Tenang saja.” Mahesa tersenyum penuh welas asih seperti dibuat-buat. Reni dan Kamila yang mendengar teriakanku langsung menoleh ke arah kami dan melihat tangan Mahesa menggenggam tanganku.

Sore harinya,

          Aku tidak mempersiapkan apa-apa. Aku disuruh diam di kamar oleh Mahesa seolah-olah aku sibuk mempersiapkan untuk pernikahanku besok. Sedangkan, Mahesa dan keluargaku berjalan-jalan.

          “Mahesa, kenapa nggak angkat-angkat teleponku?”

          “Aku lagi sama mereka jalan-jalan kan. Ada apa sih?”

          “Kamu bisa fotokan kartu identitasku?”

          “Buat apa?” tanyanya bingung.

          “Buat pembatalan pernikahan.”

          “Loh kan kita mau menikah besok?”

          “Kayaknya nggak bisa deh mengurus secepat itu untuk ganti calon mempelai pria.” Aku bimbang.

          “Aku sudah urus semuanya. Aku sudah daftar di KUA tadi pagi.” jawabnya datar.

          “Tadi pagi kan kamu di kamarku.”

          “Ya aku suruh orang, Sekar sayang.”

          Aku mengangguk-angguk tanda mengerti.

          “Jadi…” Aku terhenti. Berpikir sesuatu. Aku bisa mendengar suara Kamila terbahak-bahak dan berteriak.

          “Jadi apa?”

          “Kita menikah besok?” tanyaku lemah. Tidak bersemangat. Tidak bisa berpikir bahwa pernikahanku dengan laki-laki asing yang baru kutemui dua hari ini secepat itu.

          “Yaiyalah.”

          “Kapan kamu pulang?”

          “Hahaha, kita belum menikah saja kamu udah nanya kayak gitu.”

          Karena kesal aku menutup sambungan teleponnya.

          Tidak berapa lama aku mendapatkan chat masuk dari Mahesa.

Mahesa

15.47 PM

Sebelum jam 5 aku balik.

15.48 PM

Cepat ke kamarku. Byk yg harus dibicarakan

15.48 PM

Oke sayang.

          Menggelikan. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Tidak ada nama yang muncul hanya sederatan nomor.

          “Halo.”

          “Sekar?”

          Jantungku berhenti berdetak sesaat. Suara ini suara Kevin.

          “Kamu memblokir nomorku.”

          “Itu urusanku. Aku bebas memblokir nomor siapa saja.”

          Suara Kevin terdengar nelangsa.

          “Apa bisakah kamu pikir ulang mengenai pembatalan pernikahan kita?”

          “Kamu pikir saja sendiri. Aku sudah tidak berurusan denganmu.”

          “Ada seluruh keluargaku di Bali.” ujarnya.

          Aku tidak peduli.

          “Apa kamu ada di Bali?” Dia bertanya. “Aku mengecek hotel kamu sudah check out.”

          Memang aku sudah check out dari kamar hotel yang aku pesan jauh-jauh hari dan dipindahkan oleh Mahesa ke bungalow.

          “Aku masih di Bali.” jawabku datar. Tegas.

          Sepertinya dia sangat takjub denganku. Aku masih berada di sini dan besok adalah hari pernikahan kami seharusnya.

          “Aku ingin bertemu denganmu hari ini. Kita bicarakan baik-baik.”

          “Nggak usah. Kita bertemu besok. Sesuai jadwal di undangan.”

          Lalu aku mematikan sambungannya. Aku lega sekali. Kemudian aku memblokir nomor yang baru saja menelponku. Aku sangat yakin, Kevin pasti akan mengkonfirmasi kepada Mbak Lina. Yakin. Padahal aku juga tidak tahu apakah Mbak Lina pernah bertemu dengan Mahesa atau tidak.

          Sempat aku berpikir, apakah benar Mahesa yang memiliki hotel yang aku tinggali ini. Berasal dari keluarga kayakah dia? Kalau iya, kenapa Mahesa harus memilih wanita yang baru ditemuinya untuk menjadi istrinya?

          Ketika aku sudah bosan menonton TV, seseorang mengetuk pintu kamarku. Mahesa. Dia terlihat sumringah tetapi wajahnya lelah.

          “Sekar, aku suka keluargamu. Apalagi Reni dan Kamila. Mungkin kita akan menikah selama 2 tahun?”

          “Jangan bercanda. Aku tidak mau kebebasanku terenggut olehmu.”

          Mahesa mengambil botol mineral yang ada di meja dan meneguknya cepat.

          “Cepat ceritakan apa rencanamu.” Aku tidak sabaran.

          Mahesa duduk di kursi. Mengambil napas dalam-dalam setelah meminum seluruh isi air mineral di botol.

          “Pertama, aku sudah mengurus pendaftaran pernikahan di KUA. Pokoknya semua beres.” Mahesa menggaruk kepalanya. “Kedua, kamu kan batalin mini ballroom di hotel ini kan? Uang DP nya belum ditransferkan. Coba cek rekeningmu apa sudah ditransfer? Jadi… aku sewa kolam renang di bawah itu untuk di setting acara pernikahan outdoor kita.”

          Mendengarkan suara Mahesa aku tertegun. Aku langsung mengambil ponsel dan mengecek isi saldo di rekeningku.

          “Ketiga, kamu diam saja mengenai pernikahan ini. Keluargaku mungkin akan datang. Baru tadi siang aku kabari mereka.”

          Oh, benar. Ada sejumlah uang yang masuk ke rekeningku.

          “Keluargamu?” Tenggorokanku serasa tercekat. Aku kaget.

          “Keluargaku tidak seramah keluargamu. Aku pikir kamu bisa membawa dirimu sendiri ke dalam permainan keluargaku.” Mahesa terlihat serius.

          Tiba-tiba ada yang mengetuk kamarku lagi.

          “Oh itu makananku. Aku nggak makan banyak tadi. Sekarang malah lapar.” Mahesa berdiri dan membuka pintu kamar.

          Reni. Ya, Reni berdiri di depan pintu. Ekpresinya kaget. Pasti. Aku melihat dari balik punggung Mahesa. Hancur sudah hidupku. Reni masuk ke kamarku tanpa dipersilahkan. Mahesa hanya tersenyum salah tingkah. Dia hanya menutup pintu kamar dan berdiri di lorong pojok kamar.

          “Kenapa Ren?” Suaraku berusaha sebiasa mungkin.

          “Ada yang bisa gue bantu?”

          “Nggak ada sih. Karena yang datang sedikit dan nggak ngundang banyak orang jadi nggak seribet yang lo bayangkan.”

          “Kenapa Kevin nggak muncul?” Reni sudah mulai terlihat curiga.

          Haruskah aku memulai sandiwara ini?

          “Gue bahkan nggak ketemu Kevin.” Mulaiku. Kata-kata permulaan sandiwaraku. Aku berjalan menuju jendela balkon dan membukanya lebar Aku butuh oksigen yang banyak.

          “Maksud lo? Gue nggak paham.”

          “Ren, Kevin itu selingkuh. Gue tahu ini waktu gue samperin dia di kamar hotelnya. Bayangkan aja sendiri.”

          Sekarang Reni yang tercekat. Dia tidak banyak berkata-kata.

          “Elo udah tau sebelumnya?”

          “Gue udah tahu bahkan sebelum kami berdua memutuskan untuk menikah, dia selingkuh dengan wanita yang sama.”

          Reni mulai memberikan wajah iba padaku. Mahesa mendengarkan ceritaku juga dengan jelas. Dia masih mematung dipojokan.

          “Lalu? Pernikahan lo batal?” Wajah Reni sudah mulai khawatir.

          Aku menggeleng. Reni mengernyitkan dahinya.

          “Aku akan tetap menikah.”

          “Sama Kevin? Lo harus menanggung beban berat dengan tabiatnya.”

          Aku mencemooh diri sendiri. Baik dengan Kevin atau dengan Mahesa bebanku sama-sama berat. Aku mengasihani diriku sendiri.

          “Bukan.”

          “LAH TERUS SAMA SIAPA!?” Reni kaget. Sedikit berteriak.

          “Dia.” Aku menunjuk Mahesa. Mahesa tersenyum. Senyuman welas asihnya.

          Reni menatap Mahesa dan memegang keningnya. Tidak habis pikir.

          “Apa yang kalian berdua pikirkan?” Reni berdiri. Uring-uringan. “Ayah sama Ibu harus tahu ini.”

          “Ren, gue rasa nggak perlu deh.” cegahku.

          “Aku mencintai Sekar.”

          Reni melihat Mahesa kembali. Kemudian melihatku. Aku mengangguk. Membenarkan kata-kata Mahesa. Pada saat Reni tidak melihatku, aku memberikan kode pada Mahesa. Apa maksudnya?? Apakah dia juga ikut bersandiwara??

          “Astaga, apa yang kalian berdua pikirkan. Alasan batal menikah karena Kevin selingkuh adalah alasan yang masuk akal, tapi alasan kalian tiba-tiba menikah yang tidak masuk akal. Orang-orang akan bertanya.”

          Aku mengambil napas diam-diam tanpa mengeluarkan suara.

          “Ren, apa lo pernah merasakan cinta pandangan pertama? Cinta yang lo rasain ini beda. Seolah-olah semua berjalan mengalir saja. Apa pun kekurangan Mahesa. Cinta pandangan pertama beda sama cinta yang gue rasain selama ini sama Kevin. Gue rasa inilah laki-laki yang tepat buat gue. ”

          Reni menatapku, memunggungi Mahesa. Aku bisa melihat Mahesa menunjukkan jempol padaku dan berkata tanpa suara “Wow.”

          Reni tidak bisa menjawab pernyataanku. Mahesa masih diam memojok dan terdengar seseorang mengetuk pintu. Ya, kali ini makanannya datang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status