"Pacaran?"
Kedua belah bibir Evan saling memisah mendengar penuturan Sarah. Pacaran? Dengan Arsy yang jutek itu? Benarkah? Bukankah mantan pacarnya hanya Wilda?
“Iya. Kamu mau melihat foto-foto kalian dulu? Tante masih punya.” Sarah tanpa aba-aba langsung berdiri. “Oh iya, mulai sekarang tidak perlu panggil bapak dan ibu. Panggil om dan tante saja, seperti dulu.”
Evan masih bergeming. Saat Sarah kembali dengan sebuah kota seukuran kotak sepatu di tangannya, dia pun terkesiap.
“Ini. Kotak kenangan kalian berdua. Silakan buka, Van .…”
Meski hatinya masih belum sepenuhnya percaya, tapi Evan tetap saja bergerak untuk mengambil kotak tersebut dari tangan Sarah. Untuk sesaat dia mengamatinya dari luar. Tidak ada apa-apa karena itu hanyalah sebuah kotak polos berwarna cokelat.
Kemudian, dengan segala kebingungan yang ada di dalam benaknya, kedua tangannya pun mulai mengangkat tutup box tersebut.
Arsy masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami. Semalaman dia tidak bisa tidur lantaran memikirkan wajah Evan yang digadang-gadang adalah calon suaminya. Sangat tidak masuk akal mengingat ayahnya membuat keputusan sepihak itu hanya karena salah paham. Evan juga, laki-laki itu bukannya meluruskan kesalahpahaman, malah dengan bodohnya mengikuti kemauan orangtua mereka.Sejak berangkat setengah jam yang lalu, Arsy hanya mendiamkan Evan di dalam mobil. Dia bahkan tidak menyapa laki-laki itu saat Evan membukakan pintu mobil untuknya. Sekarang dia berpura-pura tidur. Ah tidak, dia memang mengantuk, karena tidak tidur sampai pagi.“Sy?”Rupanya Evan tidak tahan mereka hanya berdiam diri seperti itu, walau biasanya juga demikian. Namun setelah dia tahu bahwa Arsy adalah kekasih kecilnya di masa lalu, Evan tentu saja tidak bisa bersikap sama lagi. Apalagi sepenggal memori sudah mengisi kepalanya, yang membuat dia yakin bahwa mereka memang
Pertanyaan Evan sukses membuat bibir Arsy membuka dan menutup berkali-kali. Dia ingin mengucapkan sesuatu namun kata-kata itu kembali dia telan. Lantas dia pun cepat-cepat ingin menarik tangannya dari genggaman Evan, tapi tidak berhasil. Laki-laki itu sudah keburu mempererat pegangannya.“Mas! Lepas ih!”“Jawab dulu, Sy.”Arsy melirik sekelilingnya, untung saja tidak ada yang memperhatikan mereka.“Mas, apa-apaan sih?”Melihat wajah Arsy yang memerah, Evan tersenyum puas. Setelah itu dia pun melepaskan genggamannya. “Kamu berdebar. Kita sama. Kita sudah cocok menikah.”“Ck!” Arsy yang sudah sangat malu karena kepergok Evan, hanya bisa menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Namun dia sedikit terusik dengan pernyataan Evan barusan. Katanya laki-laki itu pun berdebar. Apakah benar demikian? Arsy mengira hanya dia yang merasakan perasaan aneh itu. Tapi ternyata Ev
Bab 21. Nasehat TereEfek dari kenyataan bahwa Evan tidak jadi datang untuk melamar Arsy sepertinya berbuntut panjang. Gadis itu masih malu pada dirinya sendiri yang ternyata diam-diam sangat menanti Evan malam minggu kemarin. Dia juga malu mendapati hatinya sakit karena merasa sudah dibohongi dan dipermainkan Evan dengan memberikan harapan palsu. Hah, harapan. Bodoh bukan, saat dia masih berharap setelah dia sendiri yang menolak Evan waktu itu?Arsy menatap dokumen pendaftaran sidang thesis yang ada di hadapannya. Sebentar lagi masa studinya akan selesai. Sungguh tidak terasa. Itu artinya kontrak kerja Evan dengan keluarganya pun akan berakhir. Laki-laki yang sekarang sedang menunggunya di bawah sana, bersama Wilda, sebentar lagi akan bebas dari tanggung jawab yang mungkin selama ini sangat membebaninya.Memikirkan hal tersebut membuat Arsy lebih banyak diam di ruang jurusan. Hanya Tere yang asyik berkoar-koar menceritakan kisah asmara barunya dengan seor
Bab 22. Maunya nikah.Sekitar setengah jam kemudian, urusan Arsy dan Tere selesai. Mereka sudah mendapat jadwal untuk sidang, yaitu satu minggu lagi. Selama satu minggu ini mereka harus belajar dan mempersiapkan diri. Arsy bahkan berencana tidak akan ke kampus sampai waktu sidangnya tiba.“Ingat ya, Sy. Satu minggu lagi kita ketemu, aku mau dengar kabar baik dari kamu soal hubungan kalian. Oke?” Tere berbisik saat mereka berjalan keluar dari gedung jurusan.“Iya. Doakan aku waras. Oke?”Tere mencibir. Kesimpulan pembicaraan mereka tadi adalah Arsy akan mencoba membuka hatinya pada Evan. Kalau tidak, Tere mengancam akan berhenti jadi sahabatnya, walaupun itu sangatlah mustashil.Evan menyadari kedatangan Arsy dan Tere dari ekor matanya. Seperti biasanya, dia akan bangkit berdiri diikuti Wilda. Mereka berdua dan Arsy maupun Tere bertemu di tengah.“Sudah selesai?”“Sudah, Mas. Halo, Bu Wil
(Guysss, yang udah lupa jalan ceritanya, silakan baca bab sebelumnya ya, thank you. Saranghaeee.) ****** "Pacaran nggak boleh tidur bareng. Kalau udah nikah, boleh." Evan menjawab dengan enteng sambil kembali menekan pedal gas di bawah kakinya. "Sinting!" Arsy mencebikkan bibir. Jantungnya berdegup sangat kencang setelah ciuman pertamanya yang cukup membuat tubuhnya gerah. Huuffffhh, bisa-bisa aku mati cepat kalau begini ceritanya, batin Arsy. Evan sendiri sudah terlihat kalem dengan tatapan yang menjurus ke depan. Dia kembali mengingat kelembutan bibir dan lidah Arsy yang basah. Sekujur tubuh Evan meremang. Ingin rasanya dia berteriak untuk meluapkan isi hati yang memenuhi dadanya. Dia merasa sesak. Sesak karena rasa bahagia. Tapi pikiran Evan kembali mengingat kilas memori yang menghampirinya tadi. Yang membuat mobilnya tiba-tiba berhenti mendadak setelah Arsy mengucapkan tiga kata, yaitu 'maafin aku, Mas'. Evan pernah mendengar kalimat sing
Acara makan frozen yoghurt itupun resmi berakhir ketika Tere dan Dion kembali ke meja. Mereka mendapati Evan dan Arsy yang sudah menghabiskan semua isi cup mereka dan kini sedang berbincang kecil. Keempatnya sepakat untuk meninggalkan depot Sour Sally dan segera naik ke lantai dua. Evan memberanikan diri menggandeng tangan Arsy. Hal yang ingin mulai dia biasakan sejak gadis itu memberi sinyal-sinyal positif sepanjang siang ini. Meskipun Arsy masih terkesan sedikit jutek di momen tertentu, Evan begitu yakin itu hanyalah kamuflase yang dia lakukan untuk menutupi ketertarikannya. Buktinya, gadis itu tidak keberatan tangan mereka saling terpaut seperti sekarang. "Ke store apa?" tanyanya sambil menggiring wanita itu naik ke eskalator. Tere dan Dion sudah naik terlebih dulu di depan mereka. "Zara aja, Mas. Blouse formalnya bagus-bagus." Evan mengangguk. Mereka berdiri bersisian di sepanjang perjalanan naik menuju lantai atas. Sesudah sampai di Zara, Evan da
Keputusan untuk menerima Evan ternyata membuat hidup Arsy jauh lebih tenang. Tanpa dia sadari, kehadiran pria itu di sisinya membuat hari-hari Arsy sedikit lebih mudah karena Evan selalu ada untuknya. Contohnya saja, seperti selama satu minggu off ke kampus demi persiapan untuk sidang, Evan ternyata rajin datang ke rumah untuk menemani Arsy belajar. Demian, Sarah dan Arsen sepertinya sudah memahami body language sepasang love bird tersebut. Tanpa diberi tahu bahwa mereka sudah sepakat untuk menikah, semuanya langsung bisa memahami jika hubungan majikan dan bodyguard itu kini sudah semakin membaik. Merekapun membiarkan keduanya menikmati masa-masa pendekatan hingga akhirnya sepakat untuk menikah. Hari ini adalah hari terakhir Arsy belajar di rumah. Besok dia dan Tere akan maju sidang untuk mempertanggungjawabkan perkuliahan pascasarjana yang telah mereka tempuh selama dua tahun terakhir. Evan yang baru saja tiba, meletakkan sebuah paper cup berisi kopi pesanan sang ke
“Mas beneran nggak jumpain ibu Wilda ‘kan tadi?”“Beneran dong. Kamu mau tanya apa aja tentang seminar kamu tadi, aku bisa jawab. Di menit ke berapa kamu menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, aku ingat. Menit ke tiga. Kamu masuk ke bagian kesimpulan di menit sembilan. Kamu selesai presentasi hanya dalam sebelas menit. Kemudian kamu sempat tersedak saat mengambil jeda untuk minum air mineral. By the way kamu tersedak karena apa? Gugup atau? Dan aku masih ingat pertanyaan dosen penguji yang bikin kamu sempat terdiam hampir tiga puluh detik. Aku menebak kamu sedang mencari jawabannya di kertas intisari yang kamu baca. Benar ‘kan? Dan yang nggak kalah penting, ka_”“Cukup-cukup!” Arsy memanjangkan tangan kanannya dan membekap mulut Evan yang sedang mengemudi. “Oke, oke, aku percaya sama Mas Evan,” lanjutnya sambil tersenyum. Sebenarnya Arsy juga tau Evan tidak meninggalkannya sedetikpun tadi. Siluet pri