Share

6. Undangan Mantan

      Bolehkah aku bilang bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan? Karena seorang Arman, mantan pacarku tiba-tiba saja menelpon dan bilang bahwa dia ingin bertemu denganku karena ada sesuatu penting yang mau disampaikan. 

Entah aku yang merasa berlebihan atau apa, yang jelas aku berfikir Arman ingin bertemu denganku karena dia ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kandas di tengah jalan. 

Tanpa menunggu waktu lama lagi, lima menit setelah Arman memutus teleponnya, aku segera keluar dari rumah untuk menemui Gojek yang sudah menungguku. 

Sesuai dengan permintaan Arman, dia ingin kami bertemu di tempat yang dulu sering dijadikan tempat kencan. Adalah kaffee lovely, tempatnya dekat SMA Satu. 

Tiba di kaffee aku mencari-cari sosok Arman. Katanya dia sudah datang lebih dulu. Ketika aku menoleh kearah kanan, kulihat Arman melambaikan tangan padaku. Aku segera menghampirinya dan duduk didepannya. Dia ternyata sudah memesankan minum untukku, sebuah capucino cincau sudah tersaji dimeja.

Astaga! Wajah Arman... Kenapa jadi semakin tampan?

“Hai,” dia menyapaku setelah beberapa detik saling terdiam karena belum bisa menyesuaikan. 

Kubalas dengan senyuman manis. Biarpun dia mantan terbenciku, tapi aku masih mengharapkannya. Bagaimanapun juga dulu dialah yang selalu membahagiakanku. “Jadi, kamu minta kita ketemuan, ada hal penting apa?”

Arman ikut tersenyum. Sepertinya tangan kanannya sedang merogoh kantong jaket kulitnya. Saat tangan itu keluar, dahiku mengerut melihat kertas berbungkus plastik di tangannya. Dia meletakkannya di dekatku. “Aku akan menikah.”

Sekarang mataku sudah melotot tidak percaya. Jadi ini yang dia anggap penting? Sampai-sampai dia memohon padaku? Tanpa sadar tanganku terangkat, menyentuh sisi hatiku yang kini sudah berdenyut kesakitan akibat pengakuannya.

Rupanya Arman setega itu meninggalkan aku dengan menikah bersama orang lain. Dulu, saat kuminta dia untuk sesegera mungkin menikahiku, dia bilang umurnya masih muda dan belum niat menikah. Tapi apa sekarang? Bahkan usianya baru menginjak 22 tahun.

Aku menghela napas beberapa kali untuk menahan isak di depan mantan pacarku. Dia tidak boleh melihat kerapuhanku yang diakibatkan olehnya. Dia tidak boleh melihatku menangis. Karena tangisku mungkin akan menjadi bahagianya. Dan aku tidak sudi dia bahagia diatas penderitaanku.

Beberapa detik terdiam sekedar terpenjarat mendengar pengakuannya, aku mulai menyesuaikan diri kembali. Kuambil kertas undangan itu dan membukanya.

Arman akan menikah seminggu lagi. Dia akan melangsungkan pesta pernikahannya di hotel berbintang milik keluarganya sendiri. Aku akan datang di pestanya dan jika hati ini masih bisa bertahan untuk tidak menangis, aku akan menyumbang lagu Kandas di pestanya. 

“Kamu bisa datang kan?” tanyanya. Dia sama sekali tidak melihat raut sedihku sehingga berani bertanya pertanyaan menyakitkan itu. 

Kepalaku mengangguk. 

Saat aku mengangkat kepala menatapnya, dia sudah menyunggingkan senyum manisnya sambil berkata, “Bawa undangannya, agar bisa masuk kedalam.”

Lagi-lagi aku hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Mulutku seolah terkunci, tidak bisa berkata-kata. 

“Yaudah, aku harus ke butik untuk fitting baju. Aku tunggu kedatanganmu, Na.” dia beranjak dari duduknya dan meninggalkanku seorang diri di kaffee. 

Saat itu juga aku menumpahkan semua air mata yang sempat kutahan. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli para pasang mata yang menatapku ngeri karena menangis sambil meraung-raung seperti anak kecil. Setelah dirasa sudah cukup lega, aku menghapus air mata menggunakan bahu kanan sambil berusaha memainkan ponsel untuk memesan ojek online. 

***

Kutatap lekat-lekat kertas undangan pernikahannya Arman dan calon istrinya, bernama Emily. Ada foto keduanya di sampul undangan, membuatku semakin ingin menangis lagi dan lagi. Tetapi aku tahan terus air mata ini. Aku harus move on! Karena sudah tidak ada lagi yang bisa kuharapkan dari Arman. Dia akan segera menikah dan menjadi milik orang lain.

Tubuhku berguling mengganti posisi menjadi tengkurap. Ketika hendak memasukkan kembali kertas undangan kedalam plastik, pintu kamar terbuka. Fika masuk dengan tangan kanan mencapit bakwan goreng. Aku tidak jadi memasukkan undangan ke plastik dan langsung saja menyembunyikannya di bawah bantal. Ponakanku itu duduk di sisi ranjang, memandangku penuh selidik. 

“Teteh kenapa? Kok pias gitu lihatin akunya?” tanyanya. 

Memangnya tampangku saat ini bagaimana? Apa terlihat seperti orang bodoh yang gagal move on?

“Memangnya muka Teteh kenapa?” tanyaku balik. 

Dia menggelengkan kepala sambil menggidikan kedua bahu.

“Teh, aku mau curhat deh.” Fika mengubah posisi menjadi ikut berbaring.

Sepertinya malam ini aku harus kembali berperan menjadi Mamah Dedeh, yang selalu menerima segala curhatan dan memberi solusi. Kepalaku mengangguk, memberi kode untuk Fika agar dia segera bercerita. 

“Waktu pagi kan aku kesiangan nih, berangkat sekolahnya....” aku mengangguk mendengar celotehnya. “Terus dapat hukuman dari Pak Arsan, isuruhr nulis kalimat 'saya berjanji tidak akan terlambat lagi' sampai  dua ratus kali! Uh! Gila... Capek banget, Teh! Jari-jariku hampir aja patah gara-gara hukumannya yang nggak tanggung-tanggung.” Fika memperlihatkan jari-jari tangan kanannya yang menurutku baik-baik saja. 

“Selama aku nulis kalimat itu Pak Arsan nungguin aku. Dan dia tiba-tiba aja tanya-tanya tentang Teteh!”

Mataku membulat. Aku mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang, diikuti Fika. Kutatap Fika, mencari celah kebohongan disana namun tidak ada. Dia tidak bohong. Tapi, benarkah Pak Arsan menanyakan tentang aku? Untuk apa?

“Emangnya Teteh sama Pak Arsan ada hubungan apa sih? Terus juga kemarin-kemarin Pak Arsan main kesini. Jarang banget kan!”

Aku menggeleng, “Pak Arsan tanya apa aja?”

Fika berdecak kesal karena pertanyaannya tidak kujawab. “Yaaa.... dia tanya, Teteh kerja apa terus kujawab aja dulu kerja di kaffee Kakaknya tapi sekarang udah di pecat, hehehe...”

“Terus?”

“Terus... Pak Arsan juga tanya Teteh suka keluar malam apa ng—,”

“Teteh nggak pernah keluar malam, ya!”

“Iya.. Iya.. Aku juga jawab gitu. Udah ah, nggak usah terus-terus lagi! Aku ngantuk mau tidur! Besok ada ulangan Biologi.” tanpa menunggu jawabanku, Fika sudah memposisikan diri untuk tidur membelakangiku. 

Akhirnya aku ikut membaringkan tubuh. Kutatap langit-langit kamar dengan bayangan yang malah berlalih pada udangan pernikahannya Arman. Kenapa selalu itu yang aky pikirkan? Aku menoleh menatap punggung Fika. “Fik, malam minggu depan kamu ikut Teteh ke pernikahannya teman Teteh, ya?”

Fika menggerakkan bahunya lantas menjawab samar-samar, “Nggak bisa, Teh. Malam minggu aku mau belajar kelompok.”

“Jadi cabe aja terus!”

“Aku bukan jadi cabe! Aku cuma mau belajar kelompok di rumahnya Wenda... teteh...”

"Kan bisa besok paginya!”

“Besoknya aku mau jalan sama pacar.”

Aku menghela napas. Orang cantik mah bebas. Apalah aku yang seorang upik abu. 

***

    Terpaksa aku harus menghadiri pesta pernikahan Arman seorang diri. Saat ini aku sedang merias wajah di depan cermin. Aku merias diri sebeda mungkin dengan diriku biasanya. Bukan maksud ingin pamer wajah didepan mantan. Hanya saja aku melakukan ini karena kutahu pasti ada banyak teman-teman Arman yang alumni SMA Satu dan teman seangkataku mungkin juga hadir disana. Aku tidak mau mereka mengenaliku. Terlalu malu jika itu terjadi. 

Dengan gaun malam warna merah dan tas selempang hitam, setelah selesai merias wajah aku keluar dari kamar. Mobil uber sudah menungguku di luar. Untung saja para penghuni rumah sedang sibuk sendiri-sendiri di dalam kamar mereka, jadi aku tidak perlu repot-repot berbohong. 

Tiba di gedung hotel tempat dilaksanakannya pesta pernikahan Arman dan Emily, aku segera masuk. Di pintu depan, lebih dulu aku di berhentikan oleh seorang bodyguard untuk menyerahkan kertas undangan. Kini aku telah masuk ke dalam gedung pesta pernikahan sang mantan. 

Kulihat Arman dan Emily berdiri di pelaminan sedang sibuk menyalami para tamu dengan senyum keduanya yang selalu merekah. Aku memalingkan wajah kearah kanan dan saat itu juga kulihat ada teman-teman Arman sedang saling bercanda tawa. Kupalingkan wajah kembali kearah pelaminan. Rupanya sudah tidak ramai lagi, aku langkah menuju tempat pelaminan untuk menyalami memberi ucapan selamat pada pengantin. 

    Lebih dulu aku menjabat tangan Arman dan memberi ucapan, “Selamat ya, Ar. Aku turut bahagia atas pernikahan kalian. Semoga sakinah mawadah warahmah, ya.”

“Makasih, Na sudah mau datang.” katanya. Aku mengangguk.

Untuk menghindari pertanyaan 'kamu datang sama siapa?' aku segera menyudahi salaman kami dan beralih pada Emily. “Selama, ya... Semoga kalian bahagia dan cepat diberi momongan.” dia mengangguk dengan senyum merekah.

Setelah mendengar ucapan terimakasih dari Emily, aku buru-buru turun dari panggung pelaminan. Aku bersembunyi di tempat yang agak memojok. Kukeluarkan semua air mata ini. Agar tidak terlihat oleh orang-orang, aku memfungsikan kedua telapak tangan untuk menutupi wajah. Entalah, pasti dandananku ini sudah tidak amburadul sekali. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah hatiku. Hatiku remuk. 

“Saya tau perasaan kamu saat ini.”

Suara berat itu membuatku menghentikan tangis seketika. Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Masih agak sesenggukan, aku memutar tubuh untuk melihat siapa yang barusan bersuara. Benarkan! Pak Arsan berdiri didepanku dengan tuxedo hitam melekat pada tubuhnya.

Kenapa Arman harus mengundangnya? 

“Ba-Bapak ngapain disini?” pertanyaan itu keluar begitu saja. 

“Menurut kamu?”

Sebelum menjawabnya lagi, aku menghapus air mata. Tidak sengaja aku mengaburkan pandangan ke belakang Pak Arsan. Disana, ada para guru-guru SMA Satu. Rupanya Arman mengundang semua guru, bukan hanya Pak Arsan. 

“Saya mau pulang, kamu mau ikut?”

Aku memfokuskan mata pada Pak Arsan. “Memangnya Pak Guru nggak ngasih ucapan selamat dulu ke Arman?” tanyaku. 

“Sebelum kamu melakukan itu, saya sudah lebih dulu.”

JADI? 

Sejak aku berinteraksi di sini, beluau melihatku? Wajah coeg-ku pasti sudah dilihat oleh Pak Arsan. Aku menatapnya dengan mata melotot. Kenapa tidak daritadi saja menghampiri akunya? Kenapa baru sekarang, setelah aku memberi ucapan selamat pada Arman? 

“Yasudah, saya permisi pulang dulu.”

pak Arsan melenggang pergi meninggalkanku. Aku buru-buru mengejar langkahnya, “Pak, ikut!”

Kami pulang bersama dalam keheningan selama setengah jam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status