Share

7. Ngebet Nikah

"Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!"

"Kita?"

"IYA!"

"Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri."

"Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"

Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan! 

Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan. 

Pak Arsan :

Skrg km ada dmn?

Me:

Di rumah, Pak

Pak Arsan :

D rmh ada siapa?

Me:

Sendirian, Pak. Memangnya knp? 

Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke Puncak, tepatnya di vila-nya Mas Jefri. Aku tidak ikut, disuruh menjaga rumah. Sebenarnya juga aku tidak minat untuk ikut. Kalau aku ikut, bisa-bisa mobil Papa akan kotor dengan muntahanku. Aku ini orangnya mabokkan.

Pak Arsan:

Sy ksana skrg

Bola mataku terbelalak tidak percaya. Bernarkah mau kesini? Ngapain? Tanpa berfikir panjang, aku buru-buru masuk ke kamar. Mandi secepat-cepatnya, mencari pakaian yang layak di pakai dan di pandang. Setelah itu menuju ke dapur untuk bersiap-siap membuat minum.

Ponsel yang kukantongi berdering nyaring. Usai menuangkan air panas kedalam termos, aku merogoh saku celana dan mengangkat panggilan dari Pak Arsan. 

"Saya didepan rumah kamu."

Hanya berkata seperti itu, setelahnya seseorang diseberang dana menutup panggilan begitu saja. Aku berlari ngibrit membukakan pintu untuk Pak Arsan. 

"Silakan masuk, Pak. Hehehe..."

Aku tidak melihat Batang hidung Alin. Syukurlah, dia tidak ikut. Karena kalau dia ikut, bisa-bisa rumah ini kacau karena suara cemprengnya. 

Kuletakkan secangkir teh manis dimeja agak dekat dengannya. Pak Arsan menggumamkan kata terimakasih yang kubalas dengan anggukkan. Kami terdiam sejenak selama beberapa detik. Hingga akhirnya Pak Arsan membuka suara. 

"Kamu bener, mau menikah dengan saya?" tanyanya.

Duh! Menatap Pak Arsan, aku menggigit bibir bawah. "Emmm..." tidak bisa berkata-kata, aku menjawab dengan anggukan kepala. 

"Bukan untuk melampiaskan kekesalan kamu karena di tinggal menikah oleh mantan kamu, kan?"

Sial! Kenapa dia bisa tahu? Hilang sudah sikap sopanku karena sudah memanggilnya dengan kata dia. Biarlah, mulai sekarang aku akan memanggil Pak Arsan menggunakan 'dia' saja.

"Jawab pertanyaan saya, Nawang."

Baru kali ini aku mendengar Pak Arsan memanggil namaku. Nawang.

"Em... Enggak Pak. Beneran mau kok nikah sama Bapak. Dan bukan karena Arman."

"Lalu atas dasar apa?"

Cinta! Ah, sepertinya Pak Arsan tidak akan percaya jika aku menjawab pertanyaannya dengan wajaban Cinta. Jelas-jelas Pak Arsan memiliki Indra keenam, dia pasti akan tau mana ucapan bohongky dan mana ucapan benar. 

Aku menguatkan hati untuk berusaha meniatkan tulus bersedia menikah dengan Pak Arsan. Jika tidak begitu, pasti Pak Arsan akan tau. Aku tidak mau Pak Arsan menolakku hanya gara-gara niatku mau menikah dengannya karena pelampiasan saja. 

Walaupun niat utamaku itu, tapi bukan hanya itu saja. Sebenarnya aku juga sudah malas untuk tinggal di rumah ini. Darah tinggiku selalu kumat, karena tingkah setan si Luna. 

"Atas dasar apa, Nawang?"

Sudah dua kali dia memanggil namaku. Entah kenapa itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri untukku. Mengingat pertanyaannya yang menekan untuk aku jawab, kuturunkan pandangan. Tidak sanggup memandangnya. 

"A... Atas dasar... Eng... Ya... Pokoknya pengin nikah, Pak! Biar lepas dari orangtua, Pak." jawabku asal. 

"Kenapa?"

Kali ini aku sama sekali tidak bisa menjawab. Kutundukkan kepala sedalam-dalamnya untuk menelan rasa malu ini. 

"Kalau kamu benar-benar serius, besok jam sembilan saya kesini lagi, jemput kamu."

Kepalaku terangkat seketika, "Memangnya mau kemana?"

"Saya akan mengajak kamu ke rumah orangtua saya. Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum." Pak Arsan berdiri, terdiam sejenak lantas melangkah pergi. 

Sedang aku masih diam terpenjarat dengan mata memperhatikan tubuhnya yang kian menghilang ditelan ruang. Besok Pak Arsan akan mengenalkanku pada keluarganya? Aku tidak bisa! Hari ini dan besok aku akan menginap di rumah Zahra.

Teringat hal itu, membuatku bergegas mencari ponsel dan memesan ojek online untuk mengantarkanku ke rumah Zahra.

***

Masuk ke kamar, kulihat Zahra duduk diatas ranjang tengah sibuk menuliskan nama-nama orang yang akan di undangnya pada pernikahannya. Ngomong-ngomong pernikahan, dia akan menikah dua minggu lagi, tentunya dengan Mas Ridwan. Aku tersenyum ketika dia membulatkan mata karena terkejut dengan keberadaanku. 

"Iya deh... Tau yang mau nikah..." godaku sambil mengambil posisi duduk di tepi ranjang. Memperhatikan Zahra telaten menuliskan satu-persatu nama di buku.

"Kamu kapan nyusul?" ejeknya tanpa mengindahkan pandangan pada undangan. 

"Eitss... Jangan salah! Nawang Wulan sekarang udah punya kandidat!" kataku sombong. 

"Siapa?"

"Rahasia!"

Sekarang pandangan Zahra sepenuhnya mengarah padaku. "Jadi sekarang main rahasia-rahasiaan? Oke!"

"Aelah.. gitu aja ngambek! Calon pengantin itu nggak boleh ngambekan!" kataku, entah petuah darimana kalimat itu tiba-tiba saja terlontar.

Kulihat Zahra melirikku sekilas sambil mencebikkan bibir.

"Iya deh, nanti aku kenalin... Tapi nanti, ya! Tungguin aja undangannya," aku mengerlingkan mata padanya yang langsung dibalas dengusan sebal. Aku terkekeh melihat wajah sebal Zahra, dengan nakalnya tanganku menarik ujung kerudungnya dan dibalas jambakan ringan dari Zahra.

***

"Na, bangun... Subuhan, yuk! Abi sama Umi aku udah nunggu..., Nana... Na, bangun ih!"

Tubuhku gerusak-gerusuk mencari kenyamanan dalam tidur dan berusaha menulikan telinga agar suara Zahra yang membangunkanku tidak terdengar lagi.

"Nana, aku hitung sampai lima kalo kamu nggak bangun, aku siram kamu pake air!"

Ancaman itu sontak membuat tubuhku langsung berjingkat bangun. Sambil berusaha membuka mata lebar-lebar, aku mengumpat dalam gumaman. Tidak di rumah, tidak di sini tetap saja tidurku tidak pernah tuntas sampai jam tujuh. Selalu saja dibangunkan pukul setengah lima untuk menunaikan solat Subuh.

Setelah mataku sudah terbuka lebar, aku melihat Zahra berdiri tidak jauh sambil membawa gayung di tangannya. Dia sudah mengenakan mukena, wajahnya menampilkan ekspresi garang. Beginilah sosok Zahra jika sudah mengenai masalah kewajiban. Tidak peduli siapa orangnya, dia akan berlaku tidak baik hanya untuk mengingatkan kewajiban seorang muslim.

Pernah sekali, waktu bulan ramadhan. Aku menginap di rumahnya karena berniat tidak akan puasa hari esok. Dia malah membangunkanku sahur dan karena aku susah di bangunkan, dia tidak tanggung-tanggung untuk menyiramku dengan segelas air. Untung bukan menggunakan kuah Indomie!

Dengan terpaksa aku beranjak dari tempat tidur. Zahra menarik tanganku dan membawaku cepat-cepat ke kamar mandi. "Wudhu saja nggak usah mandi, cepat!" aku mengangguk sebagai jawaban.

Usai solat subuh dan setelah itu olahraga bareng Zahra, kini aku duduk di teras rumah dengan segelas teh manis sambil melanjutkan game di ponsel. Disini sudah seperti rumahku sendiri. Bukannya aku mengaku-ngaku, Umi-nya Zahra yang bilang,

"Nana, anggap saja ini rumah kamu sendiri. Nggak usah malu-malu." 

Jadilah aku anggap ini adalah rumahku sendiri.

Ketika hendak meraih mug di meja karena tenggorokan kering, ponselku berdering. Nama Pak Arsan tertampil di layar. Dia menelfonku? Jangan bilang sekarang dia sudah didepan rumahku! Kuurungkan niat untuk minum dan beralih mengangkat panggilan dari Pak Arsan. 

"Halo, Pak ada apa?" tanyaku langsung.

"Assalamualaikum,"

Mataku melotot. Bisa-bisanya aku lupa untuk mengucap salam! Sambil merem-merem karena malu, aku membalas salamnya, "Waalaikumsalah."

"Kamu dimana?"

"Dirumah, Pak." bohongku.

"Kamu tidak lupa kan apa yang saya bilang kemarin?"

"E-enggak,"

"Yasudah, nanti jam sembilan saja jemput. Berpakaian yang sopan. Wasalamualaikum."

"Walikumsalam!"

Aku menatap layar ponsel dengan sebal. Tadi dia bilang apa? Berpakaian yang sopan? Memangnya setiap aku bertemu dengannya, penampilanku tidak sopan? 

"Na, sarapan." Zahra menepuk bahuku dari belakang.

Aku mengangguk. Kami masuk ke dalam untuk sarapan. Usai sarapan, aku membersihkan tubuh dan sejenak membantu Zahra menulis teman-temannya yang akan dia undang. Setelah itu aku buru-buru pamit pulang, karena setengah jam lagi Pak Arsan pasti sudah berdiri di depan rumahku.

Duh, aku jadi gerogi mau ketemu sama calmer. Kira-kira bagaimana ya, tanggapan Orangtua Pak Arsan. Mereka akan menerimaku atau tidak? Secara, aku ini masih seumur jagung! Pengalamannya belum banyak.

Aku tersenyum-senyum sendiri di boncengan mas Go-jek, membayangkan sikap Ibunya Pak Arsan yang baik, beliau menerimaku menjadi menantunya. Ah, jika sudah seperti itu, lega sudah hidupku karena tidak lagi berteduh di rumah Papa dan Mama yang terlalu banyak memiliki anggota keluarga.

"Udah sampe, neng." abang Go-jek menyadarkan lamunanku dengan menggoyangkan sedikit motornya.

Aku terbangun dari lamunan, menyorot sekeliling dan kutemukan sebuah mobil BMW warna hitam sedang parkir di depan garasi rumahku. Aku tahu itu mobil siapa, yang jelas sih milik Pak Arsan. Segera aku turun dari motor dan membayar tukang ojek. Langkahku menyeret menghampiri mobil Pak Arsan yang kini pintu depannya tengah dibuka oleh sang pemilik.

Aku berhenti tepat dihadapan Pak Arsan yang baru saja keluar dari mobil. Dia memandangku dalam diam dari atas sampai bawah, seperti... Menilai?

"Ada yang salah ya, sama penampilanku?" tanyaku pada akhirnya. Karena tidak tahan melihat kelakuannya.

"Celana kamu terlalu ketat." katanya.

Aku menunduk kebawah, melihat celana pensil warna coklat yang kupakai. Ya iya lah ketat! Wong namanya juga celana pensil. Kalau celana balon, baru kegedean.

Kepalaku kembali mendongak, menatapnya untuk membalas, "Memangnya kenapa?"

"Tidak sopan. Saya kasih waktu lima menit untuk kamu ganti baju, sekarang."

"Nggak mau, ah!" tolakku. Mentang-mentang Guru BK yang selalu ditakutin, dia seenaknya menyuruhku ganti. Ogah! Pakai celana pensilnya sudah susah, masa mau di lepas lagi!

Kulihat Pak Arsan menggeram. Ingin sekali rasanya mengingatkan pada Pak Arsan bahwa dirinya sudah tua dan jangan suka beremosi, nanti darah tinggi. Tapi aku tidak memiliki nyali untuk itu. Aku terlalu takut mendapat bentakannya. Trauma masa SMA ternyata masih melekat.

"Terserah!" ucapnya lalu kembali masuk kedalam mobil.

Aku menatap bego pada kaca mobil, selama kurang lebih satu menit.

Tiba-tiba Pak Arsan menurunkan kaca mobilnya dan membentakku, "Masuk!"

Membuatku terkejut dan menyumpah serapahi sifatnya yang super duper menjengkelkan! Guru BK edan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status