Share

5. Indera Keenam


      Minggu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seperti apa yang dikatakan Pak Arsan, hari ini beliau akan memperkenalkan anaknya padaku. Dari semalam aku sudah menebak-nebak bagaimana rupa anaknya Pak Arsan. Apakah mirip Pak Arsan yang kaku atau mirip Ibunya? Entah bagaimana rupa Ibunya, semoga saja jauh lebih berekspresi daripada suaminya.

Selesai merias diri, dengan tampilan t-shirt abu-abu dan celana jins yang sedikit sengaja kurobek, aku keluar menghampiri Pak Arsan di ruang tamu. Untungnya Fika sudah pergi lebih pagi bersama teman-temannya, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan pertanyaannya yang pasti akan bertanya, 'ada hubungan apa teteh sama pak Arsan?'.

Setelah pamit pada Mama dan Papa, aku dan Pak Arsan bergegas pergi. Awalnya aku bingung dengan kedatangannya yang malah hanya seorang diri, bukan bersama anaknya. Kemarin kan beliau bilang mau memperkenalkan anaknya. 

“Pak, kita mau kemana?” tanyaku. 

“Jemput Alin.”

Jawabannya sesimpel itu, Pak? Lalu, siapa Alin?

“Alin?”

“Anak saya.”

Ooh, anaknya namanya Alin. “Dia dimana, Pak?” tampar saja mulutku yang suka sekali melempar pertanyaan pada Pak Arsan. Entahlah, aku kepo sekali dengan kehidupannya. 

Sedetik sampai sepuluh detik, Pak Arsan tidak menjawab. Mungkin kesal karena aku banyak tanya. Sedih banget di kacangin. Ku palingkan pandangan kearah jalanan yang sedang ramai dengan klakson motor dan mobil saling bersahutan. 

Aku terus memalingkan wajah darinya sampai akhirnya mobil yang kutumpangi berhenti di jalan sebuah perkomplekan. Kulirik Pak Arsan yang juga menatapku sambil membuka seatbelt. 

“Kamu pindah di belakang, saya tinggal sebentar. Jangan kemana-mana.” katanya. 

Ngeselin nggak, sih perintahnya? Tadi bilang suruh pindah di jok belakang, tapi selanjutnya memerintahkan untuk jangan kemana-mana. Akhirnya setelah kepergiannya aku bergegas pindah tempat duduk dan merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Sedari tadi aku tidak memainkannya karena menurutku bermain ponsel disaat ada Pak Arsan bukanlah ide baik.

Tak lama Pak Arsan membuka pintu, beliau mendudukan seorang anak kecil berambut pendek sebahu dan menggendong tas. Lantas Pak Arsan membuka pintu kemudi dan duduk di kursinya.

“Ayah kok parkir mobilnya disini? Kenapa nggak di depan rumahnya Nenek?”

Anak kecil yang sekarang sudah tidak kulihat lagi sosoknya karena terhalang kepala jok itu bersuara. Suaranya cempreng dan suara cempreng adalah tipe-tipe orang pemberani. Jangan! Jangan sampai anaknya Pak Arsan beraninya melebihi Luna. Bisa gila aku kalau itu kenyataan. 

“Biar cepet.”

Bahkan bicara dengan anak sendiri pun Pak Arsan sangat kaku dan irit. Aku jadi penasaran, kira-kira dengan cara apa ya, Alin bisa bertahan hidup dengan sosok kaku macam Pak Arsan. Sambil memainkan ponsel, telingaku fokus mendengar pembicaraan anak dan Papa itu. 

“Yah, itu siapa dibelakang? Kok ada orang?”

Barulah aku mengangkat kepala. Kulihat dari kaca depan, Alin tengah memandangku dengan pandangan menyelidik. Wajahnya sangat mirip sekali dengan Pak Arsan. Putihnya, matanya... Semuanya! Aku jadi penasaran dengan sosok istrinya Pak Arsan. Kira-kira bagaimana rupanya. Kenapa bisa mau menikah dengan orang keras seperti Pak Arsan. 

“Teman Ayah.”

Teman? Kenapa tidak jujur saja kalau aku ini calon Ibunya? Ah! Kenapa aku jadi berbesar kepala begini? Belum tentu kan, Pak Arsan mau denganku. Secara, aku ini seorang pengangguran akut, hanya lulusan SMA bahkan sempat tidak lulus. Apa yang membuatnya mau menerimaku sebagai istri? Tidak ada! Jadi, kumohon wahai hati, jangan sekali-kali berharap menjadi istri Pak Arsan. 

Ah! Sebenarnya juga aku sendiri belum tentu setuju menikah dengan Pak Arsan. Lihat saja tingkahnya, aku tidak mau menikah dengan patung berjalan. Untung saja tampan, kalau tidak sudah pasti akan aku musnahkan saja.

“Namanya siapa, Yah?” sepertinya sifat Alin berbeda dengan Pak Arsan. Jika dilihat dari tadi, gadis itu sangat berekspresif. 

Karena dia menanyakan namaku, aku mencondongkan diri kedepan untuk melongoknya dengan tangan mengulur agar bisa bersalaman, “Hai.. Namaku Nana.”

Alin tidak membalas uluran tanganku. Dia malah menyanyikan soundtrack film animasi si Minion. “Nanana Babanana na... Nanana babanana na....”

“Panggil yang benar. Namanya Tante Nana.”

Aku melotot pada Pak Arsan. Kenapa harus pakai Tante? Kenapa tidak Kakak saja atau Mbak, gitu? 

“Banana!”

Wajahku memerah mendengar bentakan itu. Barusan Alin memanggilku apa? Banana?! Apa tubuhku mirip dengan pisang? Pisang banget, ini? Aku memundurkan tubuh menjadi duduk seperti semula. Memandang jok Alin dan Pak Arsan secara bergantian. 

“Panggil yang benar, Alin!” Pak Arsan meninggikan suaranya. 

“Tapi aku penginnya panggil Banana, Ayah!”

“Itu nggak sopan.”

“Bodo!”

Mendengar bantahan itu membuatku jadi ingin keluar dari mobil ini. Sepertinya sifat Alin tidak jauh beda dengan Luna. Pembangkang dan pemberani. Saking beraninya, dia juga berani pada orang yang lebih tua. Bayanganku jadi melayang kearah rumah tangga. Dimana aku harus mengurus Alin dan Alinnya tidak mau aku urus. Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu. Tidak! Semoga saja Pak Arsan punya pengasuh sendiri untuk Alin. 

“Alin Kartika Putri!” sepertinya Pak Arsan sedang berusaha menggertak Alin dengan memanggil nama panjang anak itu. 

“Iya-iya.. Tante Nana. Tapi ada syaratnya! Aku mau makan di McD!!”

Pak Arsan mengangguk. Harus ke McD banget ini? Aku menghela napas. Bayangan akan diajak Pak Arsan ke restoran Bintang lima, makan bertiga disana dengan canda tawa dan tingkah malu-malu kucing Alin, lenyap sudah. Aku kira akan begitu jalan ceritanya. Namun ternyata sifat Alin diluar fikiranku. Dia malah sepertinya lebih menakutkan daripada Luna.

***

      kami benar-benar makan di McD. Bisa kulihat, Pak Arsan yang duduk didepanku memakan bagiannya dengan tidak napsu. Sedangkan Alin sangat menikmati. Dan aku, jangan ditanya. Mau di McD, warteg bahkan kaki lima, aku tetap memakan makanan itu penuh lahap. Apapun jenis makanan akan aku telan. Yang penting matang dan halal. 

“Tante, itu di atas alis kiri ada apanya? Kok ijo-ijo kecil gitu?”

Alin bersuara padaku, membuatku menatapnya dan mencerna perkataannya barusan. Jangan-jangan, ada ulat bulu kecil di daerah alisku? Mataku membola dan segera aku mengucek-ucek alis sampai mata. Bukannya kelegaan yang aku dapat, tapi malah rasa perih. Karena tanganku yang berlumuran saos.

“Duh.... Perih.. Perih...” dengan mata terpejam, aku mengibas-ngibaskan tangan berusaha mengurangi rasa perih ini.

Bisa kudengar tawa Alin yang menggema. Mata kananku yang tidak apa-apa, membuka secelah dan melihat Pak Arsan berusaha menghentikan tawa anaknya. Beberapa detik kemudian Alin berhenti tertawa dan lanjut makan.

Tiba-tiba saja tanganku di tarik oleh Pak Arsan. Aku yang sudah tidak berdaya lagi mau-mau saja ditarik. Pak Arsan membawaku ke toilet. Kami berdiri saling berhadapan didepan wastafel.

“Ngapain kamu masih berdiri?”

Lhah, memangnya mau ngapain? Bukannya Pak Arsan yang membawaku kesini? 

“Emangnya ngapain, Pak?” tanyaku. 

“Cepat basuh mata kamu.”

Ooh... Aku buru-buru melaksanakan perintahnya. Setelah dirasa sudah tidak perih lagi, aku mematut menatap diri didepan cermin besar di depanku. Pak Arsan masih di sebelahku, menatapku. 

Gerogi, aku pura-pura membersihkan bulir-bulir air di sekitar mata. Hingga akhirnya Pak Arsan memutar bahuku untuk menghadapnya. Tanpa kuduga Pak Arsan melakukan ini! Pak Arsan membersihkan area mataku dengan bantuan tisu. Gerakannya sangat lembut, sangat berbanding balik sekali dengan raut wajahnya yang sangar.

“Maafkan anak saya. Dia memang jahil.” katanya. 

Aku hanya bisa mengangguk. Walau dalam hati sama sekali tidak ikhlas untuk memaafkan Alin. 

***

“Minta maaf sama Tante Nana!” Pak Arsan memerintahkan Alin untuk meminta maaf padaku. 

Namun anak kecil itu seolah tidak mendengar, terus mengunyah makannya dan sibuk sendiri. Sesekali dia menyeruput minumannya sambil melirikku. 

“Kalau kamu nggak mau minta maaf, Ayah bakal tinggalin kamu disini.” ancam Pak Arsan sepertinya tidak main-main. 

“Udah Pak, saya nggak apa-apa kok...” kataku menengahi konflik antara keduanya. 

Kulihat Pak Arsan melirikku sekilas lantas menatap anaknya kembali sambil menahan geraman yang tertahan. Kukira Pak Arsan akan menjadi garang hanya pada para murid-murid SMA Satu saja, namun juga pada anak sendiri. Aku tidak habis fikir. Pantas saja Alin menjadi anak yang pembangkang, mungkin karena didikan Pak Arsan yang terlalu menekan. Mungkin. 

“Sekali lagi Ayah bilang dan kamu nggak mau, Ayah ak—,”

“Tante Nana aku minta maaf!” Alin berkata ketus, lantas melirik ayahnya, “Puas?!” dan kembali menandaskan makanannya yang sudah hampir habis namun masih ia punguti. 

“Ayo, sekarang kita pulang!” Pak Arsan menarik pergelangan tangan Alin dan melirikku, memberi kode agar ikut beranjak keluar dari McD. 

"Ayah... Aku mau beli Es krim dulu... Pokoknya es krim...!” tangan Alin meronta-ronta mencoba melepas diri dari Pak Arsan.

Para pengunjung Mall memandang kami dengan bisik-bisik penuh. Aku jadi malu sendiri. Dengan bantuan tas selempang kecil, kututupi wajah menggunakan barang itu sambil mengikuti Pak Arsan untuk membeli es krim. 

      Akhirnya aku bisa mendudukan diri di dalam mobil dan terhindar dari para pasang mata yang selalu kepo untuk melirikku. Kulihat dari celah tengah jok, Alin tengah menyantap es krim dengan lahap. Selain pembangkang dan pemberani, dia juga doyan makan dan jangan lupakan pula sifat keras kepalanya yang akut. 

“Jangan buang sampah sembarangan, Alin!” Pak Arsan membentak ketika Alin membuang wadah es krim lewat jendela. 

Tidak ada sahutan dari anak itu. Aku menghela napas berat. Hari ini aku banyak mendengar Pak Arsan membentak dan hal itu membuatku semakin takut untuk menjalih hubungan dengannya. Aku takut mendapatkan amarah darinya. 

Sambil melamun membayangkan ketika dulu Pak Arsan memarahiku karena tertawan masuk ke kelas anak IPA tanpa alasan pasti, aku melirik Alin. Dia ternyata tertidur. Mumpung dia sedang tidur, aku memutuskan untuk bertanya mengenai Alin.

“Pak, kalau boleh tau, Alin umurnya berapa, ya?”

"Enam,”

“Sekolahnya kelas berapa?”

“TK Besar.”

Bola mataku memutar jengah mendengar jawabannya yang selalu singkat, padat dan nyebelin. Jawaban singkatnya Pak Arsan itu bikin darah orang yang mendengar jadi darah tinggi. Seperti aku ini. Untung saja aku masih muda. 

Dalam hati aku menyumpah serapah mulut Pak Arsan yang irit bicara itu. Namun sumpahanku terhenti begitu saja ketika Pak Arsan tiba-tiba menegur, 

“Jangan suka menyumpah serapah seseorang.”

Sejak kapan Pak Arsan memiliki ilmu Indra keenam? Aku meneguk ludah ketika ingatanku kembali teringat pada saat masa-masa SMA. Kala itu Pak Arsan memberiku hukuman untuk menyapu seluruh koridor sekolahan, namun aku hanya diam dengan hati bergemuruh menyumpah serapahinya yang semena-mena itu.

Tiba-tiba saja Pak Arsan menegurku dengan berkata, “Jangan suka menyumpah serapah!” dengan suara tegas yang membuatku segera menghapus sumpahku dalam hati. 

Sekarang kejadian itu kembali terjadi. Namun dengan perkara yang berbeda. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status