“Vela!” teriak Nyonya Aster sambil berjalan cepat menuju putrinya. “Cepat duduk! Mama telepon Ridan sekarang. Kita harus ke rumah sakit,” perintah sang ibu dengan nada panik.
“Ada apa, Ma? Kenapa ke rumah sakit? Aku sudah sehat, kok,” jelas Vela sambil mengikuti langkah Nyonya Aster yang menuntunnya menuju kursi dekat meja makan.
“Kamu pendarahan, Vel! Jangan sampai janinmu kenapa-kenapa.”
Deg!
Tubuh Vela seketika menegang. Debar jantungnya menyadarkan bahwa dirinya sudah lengah. Bagaimana mungkin ia membiarkan ketakutannya menjadi nyata hanya karena lupa? Si wanita muda pun menelan ludah.
“Ma, aku enggak apa-apa. Ini—“
“Kamu duduk diam di sini!” perintah Nyonya Aster sebelum mengambil ponsel di atas meja.
Vela pun meringis. Kebohongan sudah tidak bisa diperpanjang. Dengan desah napas pasrah, ia bangkit dari kursi dan menggenggam jemari sang ibu yang sedang mencari
“Hebat sekali kalian! Menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk kabur dari kenyataan,” sindir Nyonya Aster dengan mata berkaca-kaca.“Bukan begitu, Ma,” timpal Vela seraya berjalan menghampiri. Belum sampai jemarinya meraih, tangan sang ibu sudah terangkat menghentikan langkahnya.“Sekarang, Mama tanya. Apa tujuan kalian menikah? Hm?”Vela pun menatap Eridan dengan rahang bergetar, sedangkan sang pria memandangnya dengan wajah agak tertunduk.“Enggak bisa jawab, kan? Itu karena kalian tidak memandang pernikahan sebagai sesuatu yang sakral,” tutur Nyonya Aster dengan raut putus asa. “Menikah itu komitmen seumur hidup, bukan setahun atau dua tahun.”Leher Eridan kini tertekuk sempurna. Ia sadar bahwa tindakan mereka memang salah dan dirinya tidak pantas mengajukan pembelaan. Sekalipun alasan yang dipaparkan oleh sang mert
Begitu Eridan melepas bibir Vela, barulah sang wanita berkedip dan memproses tindakan suaminya. Akan tetapi, setelah lewat beberapa detik, ia tidak kunjung menemukan alasan yang tepat.“Kenapa kamu tiba-tiba menciumku?” tanya Vela dengan kerut alis tak terdefinisikan.“Bukankah kamu bertanya, kenapa aku betah menjadi sahabatmu? Itulah jawaban dariku,” jawab Eridan sebelum menyunggingkan senyum simpul.“Hah?” Vela semakin heran. Setelah memutar bola matanya ke berbagai sudut, dahinya malah mengernyit.“Maksud kamu bagaimana? Aku enggak mengerti. Aku kan bertanya kenapa kamu betah menjadi sahabatku, bukan menjadi suami,” tutur wanita yang masih menyimpan sejuta tanya.Setelah mendesah ringan, Eridan pun berdiri. “Pulang, yuk! Kita harus packing. Besok, perjuangan kita kembali dimulai,” ajak sang suami sambil mengu
“Kenapa, Vela? Apa kau takut? Tidur beralaskan tanah dan beratapkan awan,” ledek Ares yang senang melihat kerutan di alis Vela. Sedetik kemudian, senyum sinis kembali memperdalam kesan sombongnya. “Sebenarnya, kau tidak perlu khawatir, Vel. Kau bisa saja memperbaiki nasibmu. Tinggalkan laki-laki ini dan menikahlah denganku.”“Aku tidak akan pernah menikah dengan pria jahat sepertimu!” bentak sang wanita garang. Ia benar-benar muak dengan gelagat laki-laki yang selalu mengejarnya.“Apa? Pria jahat? Ayolah, Vela … buka matamu! Aku ini enggak jahat. Hanya saja, aku enggak bakal berhenti sampai kamu jadi milikku,” timpal Ares dengan seringai menakutkan. Pria itu sudah kehilangan akal sehatnya.“Kenapa harus aku? Sudah kubilang berulang kali. Banyak perempuan yang lebih cantik dan lebih hebat dariku. Cassie salah satunya. Bukankah kamu sudah bersamanya? Kenapa masih
Eridan mendesah lalu mendaratkan tangan ke atas bahu kawannya. Setelah memaksakan seulas senyuman, ia menyanggupi permintaan Roger. “Oke, gue turuti kemauan lo.”“Nice! Kalau begitu, ayo masuk! Untuk apa kita berdiri di luar pagar siang-siang begini?” celetuk si pemilik rumah sembari berbalik masuk. Temannya pun mengangguk setuju.“Eh, tunggu dulu! Kalian belum menjawab pertanyaanku,” ujar Vela sambil berusaha mendapatkan perhatian. Akan tetapi, Roger dan Eridan sudah lebih dulu melangkah, mengabaikan rasa ingin tahu sang wanita. “Jadi, apa yang harus dilakukan Ridan untuk membalas kebaikan Roger?” tanya perempuan itu lantang.“Ini urusan laki-laki, Vel. Perempuan enggak perlu tahu,” celetuk Eridan terdengar seperti bercanda.“Tapi, tatapan kalian tadi mengarah kepadaku,” sanggah wanita yang peka itu.“Jangan terlalu percaya diri, Vel!” timpal sang suami sembari terus melangkah menuju pintu
Hingga matahari terbenam, Vela masih belum menampakkan batang hidung. Pukul tujuh, pukul delapan, pukul sembilan. Pintu rumah tidak kunjung dibuka olehnya. Sang suami yang semula duduk di ruang tamu, kini tidak bisa lagi tinggal diam.“Kenapa belum pulang juga?” gerutu pria yang berjalan mondar-mandir dengan ponsel melekat di telinga. Selang beberapa detik, ia menekan tombol merah lalu kembali menghubungi nomor yang sama untuk kesekian kalinya.“Ayo, Vel! Nyalakan HP-mu …. Angkat teleponku!”Cekrek! Pintu rumah akhirnya terbuka. Eridan sontak mematung hingga wajah pucat sang istri menyapa.“Vela?” Tanpa sempat mengakhiri panggilan, pria itu menghampiri sosok yang dinanti-nantikan. “Kamu—““Maaf, Ridan. Aku capek banget,” sela sang istri sembari menyeret langkah menuju kamar mandi.“Tadi—““Nanti, ya. Aku mau mandi dulu,” tutur Vela dengan suara pelan.
Vela mengernyit, lalu membuka mata. Dengan pandangan yang masih belum jelas sepenuhnya, ia berusaha duduk dan mengamati jam. Begitu melihat jarum pendek hampir menyentuh angka delapan, pelupuknya sontak tertarik maksimal.“Astaga! Kenapa jam bekerku enggak berbunyi?” gerutu sang wanita sembari turun dari ranjang. Sambil menahan pusing, Vela berjalan menuju kamar mandi.“Eits! Hati-hati, Vel! Kenapa kamu buru-buru? Ini kan hari Minggu,” celetuk Eridan yang hampir ditabrak oleh sang istri.“Maaf, Ridan! Aku terlambat,” timpal Vela sembari menarik lengannya dari genggaman sang suami.“Terlambat ke mana?” tanya sang pria dengan sorot mata melekat pada punggung istrinya.Tanpa menjawab, Vela menghilang di balik pintu kamar mandi. Perempuan itu tidak tahu bahwa sang suami sedang mengulum senyum. Pria itu senang karena misi rahasianya telah dimulai dengan lancar. Setelah mengangguk-angguk misterius, Eridan
Vela dan Eridan bertatapan dalam diam. Sang pria baru sadar bahwa lidahnya telah mengucapkan kata yang tak seharusnya, sedangkan sang wanita sudah telanjur menanam kekesalan suaminya dalam hati.“Oke,” ucap Vela memecah keheningan. Kepalanya mengangguk-angguk dengan wajah sendu. “Kalau begitu, aku minta maaf. Aku enggak tahu kalau ternyata, aku enggak boleh membantu kamu.”Melihat Vela melangkah pergi usai menyelesaikan kalimat, Eridan spontan turun dari motor dan berlari mengejar. “Tunggu dulu, Vel. Bukan begitu maksudku,” bisik sang pria sambil menggenggam lengan istrinya.“Terus, apa? Harga dirimu terlalu tinggi untuk menerima bantuan dari orang lain, termasuk aku? Begitu, kan?” tutur sang wanita dengan suara tertahan. Meski emosinya meledak-ledak, ia tidak ingin orang lain mendengar pembicaraan mereka.Eridan pun mendesah lelah. “Enggak, Vel. Aku bukannya enggak mau menerima bantuan kamu. Aku cuma kasihan—“
“Engh, Ridan? Emh ….”Vela kesulitan bernapas. Sang suami seakan tidak ingin lepas dari bibirnya. Sudah beberapa menit kedua insan itu bergelut di atas ranjang, Eridan masih belum memberi istrinya kesempatan untuk bicara.“Ridan!” pekik Vela sembari memalingkan wajahnya yang sudah memerah. Dengan tergesa-gesa, wanita itu memaksa paru-parunya untuk memompa lebih banyak udara.Sadar bahwa sang istri sudah kewalahan, sang pria pun bergerilya menuruni Vela. Tanpa memberi jeda, ia terus menghujani tubuh wanita itu dengan kemesraan.“Ah … Ridan ....” Vela mencengkeram kepala yang sedang menaklukkan puncak bukitnya. Perempuan itu sama sekali tidak sadar bahwa gaun tidurnya sudah mendarat di atas lantai.“Kamu menikmatinya, kan?” bisik Eridan ketika kembali menyejajarkan pandangan. Akal sehatnya telah tertutupi kepulan hasrat. Belum sempat istrinya menjawab, sang pria sudah kembali membungkam mulut manis it