Pagi ini, Damian menemukan mata sembab juga kantung mata hitam bak panda Anyelir begitu pria itu duduk di meja makan. Tapi, ia berusaha untuk pura-pura tidak menyadari hal tersebut dan memilih segera menyantap sarapannya.Sesekali, Damian bakal melirik Anyelir yang tengah sibuk mengaduk-aduk nasi di piringnya dengan tidak berminat. Sesekali juga, Anyelir bakal melirik Damian yang seperti biasa makan dengan anteng dan kalem.Tidak ada suara lain kecuali denting sendok yang beradu dengan piring kali ini. Entah kenapa, Damian juga tidak mempermasalahkan hal tersebut dan terlalu peduli pada perubahan sikap Anyelir."Om, tunggu!" cegah Anyelir akhirnya membuka suara begitu sang suami hampir saja beranjak berdiri guna berangkat kerja.Pria itu menoleh dengan raut seolah bertanya 'kenapa?' Anyelir menggigit bibir bawahnya gusar, bingung harus memberikan alasan apa."Aku lagi sibuk dan buru-buru mau berangkat kerja, jadi kalau mau ngomong mending cepetan!" titah Damian datar sambil membenarka
Anyelir tidak langsung kembali ke rumah begitu meninggalkan kafe beberapa jam lalu. Perempuan itu memilih berkunjung ke rumah lamanya lebih dulu.Begitu membuka gembok gerbang dengan kunci yang senantiasa ia bawa kemana-mana, hal pertama yang mampu Anyelir tangkap adalah pemandangan rumah yang bersih meski sepi. Sejenak, perempuan itu mengernyit bingung. Siapa yang membersihkan tempat ini? Bukankah Anyelir terakhir ke sini saat pulang dari rumah sakit dulu?Mengabaikan keanehan yang dirasakannya, Anyelir memilih segera masuk dan duduk di akar timbul pohon besar yang dia lupa namanya. Di depannya ada lapangan basket beserta ring yang terpasang di atas kepalanya---tepat di batang pohon.Tidak tahu kenapa, Anyelir sekarang hanya sedang ingin di sini. Dia ingin bercerita tapi tidak tahu kepada siapa. Dia hanya butuh teman berbagi keluh kesah di saat-saat segelisah ini.Tapi, kenapa sekarang dia malah merasa sendiri meski tinggal bersama Damian? Apa karena pria itu tidak pernah terlalu ped
Anyelir memilih tidur di kamarnya sebelum menikah dengan Damian malam ini. Meski merasakan perutnya yang masih meronta minta diisi, perempuan itu keukeuh untuk tidak memasak dan memilih menahan lapar saja. Mengabaikan fakta bahwa dia punya penyakit anemia dan maag yang bisa kambuh kapan saja.Di kamar, perempuan itu berbaring telentang sambil memandang langit-langit kamar nyalang. Kepalanya dihinggapi banyak pertanyaan hingga membuat Anyelir pusing sendiri. Seperti ... keputusannya untuk meninggalkan Angga sudah benar atau bukan? Atau ... kenapa Damian mengetahui bahwa Anyelir bertemu dengan mantannya tadi pagi? Lalu ... apa alasan sang suami terlihat semarah itu padanya sampai tidak berniat mengajak Anyelir bicara?Pertanyaan-pertanyaan itu seketika harus menguap bersamaan dengan ketukan di pintu kamar yang membuat konsentrasinya buyar. Begitu membuka pintu, wajah datar Damian adalah hal pertama yang mampu ditangkapnya."Nih ... tas kamu ketinggalan di dapur. Selingkuhan kamu nelepon
Sesuai dugaannya, pagi ini Anyelir mendapatkan konsekuensi atas kelakuannya sendiri. Dia sengaja membiarkan perutnya kosong sejak kemarin. Dan pagi ini, perempuan itu berakhir muntah-muntah di kamar mandi dengan langkah sempoyongan karena kepala yang juga didera pusing.Bi Wati yang baru masuk ke kamar perempuan itu guna mengajaknya sarapan karena perintah Damian, akhirnya harus melotot panik. Perempuan tua itu segera membantu Anyelir dengan mengurut tengkuknya pelan.Selesai muntah di kamar mandi, Bi Wati membantu Anyelir untuk kembali ke kasurnya tanpa banyak kata. Untuk pertama kalinya, perempuan yang kerap ia sebut majikan cerewet dan banyak akal itu, patuh saja dituntun Bi Wati untuk berbaring di kasurnya lagi."Pasti Non Anye maag sama aneminya kambuh ini. Kepalanya sakit juga, ya?" tanya Bi Wati yang diangguki Anyelir lemah."Yasudah, Bibi turun ke lantai bawah dulu ya. Mau ambilin obat sama sarapan dulu. Sekalian ngasih tau Tuan Damian."Anyelir ingin mencegah pergerakan perem
Selesai diperiksa dan diberikan obat oleh dokter yang dipanggil langsung ke rumahnya, Anyelir memilih ikut turun dan duduk di sofa ruang tengah. Dia pikir, semakin berada di kamar, semakin sakit kepala juga perutnya berkumpul dan menyerangnya keroyokan.“Yasudah, saya balik dulu ya, Pak Damian? Nak Anye, jangan lupa minum obatnya loh ya!” titah Dokter tua bernama Mr. Hasan tersebut sambil mengacak puncak Anyelir gemas. Entah gemas karena wajah atau tingkah perempuan itu.Anyelir yang diperingatkan membalas dengan senyum manis. Damian yang melhatnya ontan mendelik sewot. Lihatlah wajah penurut maha manisnya di depan dokter tua itu, sedangkan jika disuruh minum obat olehnya yang jauh lebih tampan ini, dia malah terus menolak dan berlaku nakal. Dasar tidak adil! Jadi sebenarnya suaminya itu siapa, sih?!Begitu sudah menghilang di ambang pintu, Damian memilih duduk di samping Anyelir. Keduanya sama-sama diam. Damian sibuk duduk bak patung. Sedangkan Anyelir memilih bersandar di sandaran s
Mungkin, kalau saja Anyelir tidak baru saja agak sembuh atau perasaan bersalah Damian yang meronta minta dibunuh, pria itu tidak akan pernah mengiyakan permintaan perempuan itu. Pagi-pagi sekali, kicauan Anyelir sudah menyapa telinga membuat Damian mau tidak mau mengangguk dengan kelewat pasrah.“Jadi, beneran dikasih ikut ke kantor jadinya nih, Om?” Wajah perempuan itu yang masih agak pucat dengan pipi sedikit menirus bahkan tersamarkan oleh senyum sumringahnya. Damian bahkan takut kalau bibir Anyelir bakal robek karena saking lebarnya tersenyum.“Hm.” Seperti biasa, Damian hanya membalas dengan deheman acuh. Terlalu malas menanggapi perempuan berisik itu.“Ayo dong cepetan pake jasnya, Om! Ntar telat ke kantor loh,” perintah Anyelir tidak sabar.Damian melirik perempuan yang sudah rapi dengan kaos putih bergaris-garis hitam juga rok selutut gantung berwarna biru muda tersebut. Kira-kira, siapa yang bakal berada di kantor pukul setengah enam begini kalau bukan para petugas kebersihan
"Uwwu ... pulaaang!" Anyelir berlari di koridor kantor sambil menyeret Damian. Begitu semangat untuk pulang kerja padahal kerjaannya dari pagi sampai sore ini cuma ngerjain karyawan dan Damian saja. Beberapa karyawan yang sudah mengetahui tingkah istri sang atasan, sebisa mungkin melipir dan menjauhkan diri dari perempuan itu. Tidak mau kalau sampai kena razia senyum apalagi baju seksi lagi. Terutama yang perempuan yang di sini kebanyakan pakai baju jenis begituan."Tutup mata, Om! Tutup mataaa! Ada serangan teroris di kiri kanan," heboh Anyelir sambil mencoba menggapai mata sang suami untuk menutupnya menggunakan telapak tangan.Damian yang tidak mengerti malah menoleh kiri kanan. Mencari keberadaan teroris yang disebutkan Anyelir."Teroris apaan?" "Aaa udah kubilang jangan lihat ke kiri kanaan!" heboh Anyelir menarik kepala Damian agar tetap memandang lurus ke depan."Mana terorisnya?" tanya Damian dengan bodohnya."Itu, pegawai perempuanmu. Dadanya besar semua, bajunya juga seks
Damian dan Anyelir sampai rumah tepat pukul 6 sore. Mungkin, kalau saja Anyelir tidak merengek minta memakan bakso hamil---yang ternyata sama dengan bakso beranak di tempat penjualnya langsung, mereka tidak bakal sampai rumah setelat ini. Untung saja sebelum pulang, Damian lebih dulu makan siang hampir sore di kantor."Aku kenyang, Om." Anyelir mengadu yang di telinga Damian tidak cukup berfaedah untuk didengarkan.Damian mengangguk menyetujui. "Aku juga kenyang."Anyelir menoleh heran pada pria galak itu. Perasaan tadi cuma dia yang makan di warung bakso. Kok malah jadi Damian yang ikutan kenyang?"Kok bisa sih, Om? Bukannya di warung tadi Om nggak ikut makan?" tanya Anyelir heran.Damian mengangguk lagi. "Iya, aku kenyang liat muka kamu. Tiap hari keliatannya tambah bikin kesel aja," jawab pria galak itu sambil bersandar pada sandaran sofa.Anyelir yang tadi berniat untuk ikut duduk, lebih dulu menyundul perut Damian keras dengan kepala cantiknya. Kontan, suaminya yang belum sempat