Jadilah seperti pohon mahoni, tetap bertahan meski kemarau panjang melanda, tetap berdiri kokoh walau harus mengorbankan daun-daunnya berguguran.
🍂🍂🍂
Davin menghampiri kedua sahabatnya yang berada di privat room bar miliknya. Ia menghela napas saat masuk ke ruangan yang sudah berubah kacau balau, pecahan gelas dan botol berserakan di mana-mana. Sementara pelakunya masih terlihat belum puas setelah membuat ruangan mewah itu jadi hancur bagai diterpa badai tornado."Nggak sekalian lo bakar aja bar gue, Van?" sarkas Davin, berjalan mendekat memunguti pecahan beling di lantai.
"Lo total aja, gue ganti semuanya." Napas Reyvan menggebu-gebu, tangannya mencengkram erat gelas sloki. Namun detik berikutnya gelas itu melayang menghantam dinding, pecahannya berjatuhan ke lantai.
Sean yang berada di sampingnya sedari tadi hanya melihat, lantas buka suara. "Beruang kalau ngamuk ganas ya?" celetuknya, tak peduli jika ada sorot mata tajam yang siap menghujamnya.
"Apalagi didekat setan," komentar Davin, bangkit membuang pecahan beling yang dipungutnya ke tempat sampah.
"Vin jangan bikin panas, kalau beruang kesurupan setan lo nggak bakal bisa ngadepin." Davin menoleh, tersenyum miring ke arah Sean.
"Siapa juga yang mau ngadepin, tinggal gue kunciin di sini gue panggil pawangnya masing-masing. Beres."
"Sialan———"
"DIEM LO BERDUA!!" Suara lantang Reyvan menyentak keduanya, Sean sampai mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Davin menghela napas panjang, kemudian duduk di depan Reyvan. "Lo ada masalah?" tanyanya, to the point. "Kalau ada masalah cerita, gue bukan dukun yang bisa nebak masalah lo. Lagian sejak kapan lo kekanak-kanakan begini? Sama sekali bukan seperti Reyvan yang gue kenal."
"Iya Van, lo nyuruh kita ke sini bukan buat ngelihatin lo ngamuk aja 'kan? Kalau iya mending gue pulang nemenin Vina di rumah, mana malam jum'at lagi." Sean mendengkus pelan.
Hening sesaat, Reyvan memejamkan mata sejenak, mengontrol emosi agar tidak meledak. Setelah sedikit tenang, akhirnya dia mulai berbicara. "Rena batalin pernikahannya."
"Apa?"
"What?" Davin dan Sean berucap bersamaan. "Serius lo? Bukannya udah sebar undangan?" Sean tak menyangka, pasalnya persiapan pernikahan Rena dan Alan sudah hampir selesai. Keduanya sudah fitting baju di butik mamanya, pesan kue tart pernikahan sama Vina dan undangan juga baru disebar seminggu yang lalu. Terus sekarang Reyvan bilang pernikahan dibatalin, sungguh mencengangkan.
Reyvan mengangguk pelan, mengusap kasar wajahnya. "Si Alan sialan itu ternyata selingkuh sama sahabatnya Rena." Sean terkejut dengan fakta yang diungkap Reyvan, tapi tidak dengan Davin. Ia sudah tahu karena pagi tadi Rena sudah bercerita semuanya, namun Davin tidak menyangka jika wanita itu akan mengambil keputusan sejauh ini.
Apakah mungkin ini pertanda dari Tuhan? Bahwa Davin masih diberi kesempatan untuk memperjuangkan Rena. Tapi hati kecilnya berkata, tidak seharusnya ia mengambil kesempatan di saat seseorang sedang terluka. Benar, ia tidak mau Rena menerimanya bukan karena benar-benar mencintainya, melainkan untuk pelampiasan sesaat akibat putus cinta.
"Terus gimana?" sahut Sean.
"Ya, batal. Nggak jadi nikah," ucap Reyvan.
"Van, sorry mungkin gua nggak pantes ngomong gini di posisi gue sekarang. Tapi ... bukannya itu jauh lebih baik, ketimbang Rena maksain tetap nikah setelah tahu calon suaminya selingkuh, apalagi sama sahabatnya sendiri. Gue nggak tahu pasti soal perasaan Rena sekarang, tapi gue yakin dia pasti sangat terpuruk banget Van. Harusnya lo suport dia, gue rasa keputusan yang diambil Rena sudah tepat. Karena yang namanya perselingkuhan itu penyakit Van, nggak ada obatnya."
"Lo ngomong gini bukan karena ada maksud tertentu 'kan Vin?" Sean memicingkan matanya.
Davin memutar bola matanya, ia mendengus pelan. "Buang jauh pikiran lo, kalau gue mau seharusnya udah gue lakuin itu semalem."
"Semalem? Apa maksud lo?" Reyvan menatap Davin penuh curiga.
Davin merutuk dirinya yang keceplosan, kalau sudah begini mau tidak mau ia harus jujur. "Sorry gue nggak bilang sebelumnya, gue cuma nggak mau nambahin beban pikiran lo karena anak lo lagi demam. Semalem gue nemuin Rena teler di meja bar, nggak mungkin gue anterin dia pulang dalam keadaan nggak sadar. Gue nggak mau dijadiin samsak bokap lo, jadi gue bawa ke aparteman. Nggak ada pilihan lain."
"Jadi lo sama Rena ...." Sean melotot, membayangkan apa yang dilakukan Davin terhadap Rena. Namun pria itu langsung menggetok kepalanya, membuyarkan bayangan laknat yang berputar-putar di dalam otak kecilnya "Aw! Sakit goblok!" Sean mengusap kepalanya, melemparkan tatapan sengit pada Davin.
"Makanya otak lo sering-sering di service biar nggak kotor," ucap Davin.
"Tapi lo nggak ngapa-ngapain adik gue 'kan?" Pertanyaan Reyvan menarik atensi Davin.
"Nggaklah, lo kira gue cowok apaan. Gue tulus cinta sama adik lo, nggak mungkin gue pakai jalan pintas apalagi sesat. Emangnya si setan." Jawaban Davin menyulut kekesalan Sean, karena dirinya dibawa-bawa.
"Kampret lo!" maki Sean dan Davin tak berniat menggubrisnya.
"Vin," panggil Reyvan.
"Apaan?"
"Kenapa lo nggak nikahin Rena aja." Davin yang sedang minum seketika batuk, tersedak mendengar ucapan Reyvan.
"Lo———"
"Lo cinta 'kan?" Reyvan menanyakan perasaan Davin terhadap Rena.
"Cinta si, tapi 'kan lo tahu cinta gue ke Rena beda keyakinan. Gue yakin cinta sama dia, tapi dianya nggak yakin." Save Davin, percintaannya memang selalu menyedihkan.
"Ya kalau nggak yakin tinggal diyakinin," celetuk Sean.
"Nggak segampang itu Setan!" Davin melengos.
"Masalah itu gampang, tinggal lo mau nggak?" Kini Reyvan menatap serius Davin.
"Maksud lo?" Davin menaikkan satu alisnya, melihat ekspresi Reyvan dan Sean perasaannya jadi tidak enak. Duo laknat itu selalu punya rencana sesat yang meresahkan. Masih ingat Davin bagaimana nekadnya Sean bilang Vina hamil demi mendapatkan restu mamanya yang kaya mak lampir, sedangkan Reyvan tak kalah nekad merusak acara pertunangannya dengan Kimmy dan dengan berani berorasi di hadapan papa Kimmy yang seramnya mengalahkan Voldermort.
"Waktu lo satu bulan buat deketin Rena, kalau lo berhasil lo boleh nikahin adik gue. Tapi kalau nggak, mending lo nggak usah berharap lagi sama dia," ujar Reyvan.
"Satu bulan!" Davin melotot. Mana mungkin, satu tahun saja Davin masih stuck di tempat.
"Kenapa lo nggak bisa? Cih, pantesan aja lo jomblo bertahun-tahun," cibir Sean.
"Kalau lo mau, kita bakal bantuin lo. Tapi ingat Vin, gue nggak mau lo mainin Rena. Kalau sampai lo berani mainin adik gue, siap-siap———"
"Sunat dua kali," sahut Sean, menyela ucapan Reyvan.
Davin mendengkus. "Lo berdua emang aneh, heran gue bisa temenan sama lo berdua."
"Lebih anehan lo kali, cinta kok dipendem, lo kira sampah usus. Sembelit baru tahu rasa lo." Sean geregetan sendiri sama Davin yang terlalu pengecut.
"Jadi gimana, lo mau atau nggak? Tapi jangan coba-coba," kata Reyvan.
"Buat yang tersayang masa coba-coba." Sean kembali menimpali, menirukan selogan iklan minyak kayu putih. Pria itu memang nggak berubah, tidak bisa melihat situasi sedang serius tapi masih sempat-sempatnya bikin lelucon garing.
"Gue usahain." Pada akhirnya Davin mengambil kesempatan emas itu, setidaknya ia sudah dapat restu dari Reyvan. Tinggal proses PDKTnya aja, walau nggak bakal segampang iklan kornetto.
——————
Semilir angin malam menerbangkan helaian rambut panjang Rena yang tergerai, hawa dingin menusuk kulit. Namun hal itu tak membuat wanita itu terpengaruh. Matanya menatap kosong kobaran api di dalam tong di depannya. Masih terngiang jelas ucapannya tadi, saat ia dengan lantang mengucapkan pembatalan pernikahan. Tapi kenyataannya sekarang ia justru meratapinya.
Di samping Rena terdapat kardus berisi barang-barang pemberian Alan yang sudah dikumpulkan, ia berniat membakarnya. Sedangkan di tangannya ada beberapa foto polaroid yang tadinya terpasang di dinding kamar.
Rena menatap satu foto paling atas, foto saat Alan memberikan kejutan di hari ulang tahunnya tiga bulan yang lalu dan jadi hari paling bersejarah karena pria itu juga melamarnya.
"Malam tak akan lengkap tanpa cahaya bintang dan bulan, seperti aku yang tak akan pernah lengkap tanpa kehadiran dirimu di hidupku. Rena, will you marry me?" Air mata Rena tanpa sadar jatuh membasahi pipi ketika teringat kata-kata yang diucapkan Alan saat melamarnya. Pedih, hatinya semakin sakit, seperti ada tangan besar yang meremas hatinya dari dalam.
Cukup! Rena mengusap kasar air matanya. "Lo nggak seharusnya menangisi pria berengsek itu Rena!" Tangannya mengepal, gemuruh dalam dada saling bergejolak. "Semua sudah berakhir, nggak ada yang perlu diratapi lagi. Lo harus ikhlas!" Rena kembali menegaskan pada dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang, lalu melempar foto itu ke kobaran api. Selamat tinggal kenangan.
Satu per satu foto kenangannya bersama dengan Alan, ia lemparkan ke dalam api. Meski hal itu tak akan bisa menghapus kenangan yang terekam dalam memorinya, setidaknya Rena tidak perlu merasakan sakit hati setiap kali melihat foto-foto itu. Biarlah kenangannya terpendam di dalam jiwa dan pikirannya, ia tak berniat mengabadikannya dalam bentuk apa pun.
Tersisa foto terakhir, foto yang diambil setahun lalu di pulau Bawah. Waktu itu Alan datang, memberikan suprise tak terduga. Pria itu menyatakan cintanya, tanpa pikir panjang Rena yang juga menaruh hati pada pria itu langsung menerimanya. Ia tak menyangka jika kebahagiaannya bersama dengan Alan akan secepat ini berlalu.
Rena mendecih. "Seharusnya kita tidak pernah bertemu." Ia melemparkan foto terakhir ke dalam tong, foto itu seketika dilahap kobaran api yang mengepulkan asap pekat.
Rena kembali termenung, hingga bunyi notifikasi dari ponselnya menginterupsi. Ia segera membuka pesan masuk, tersenyum samar saat membaca pesan itu.
Jadilah seperti pohon mahoni, tetap bertahan meski kemarau panjang melanda, tetap berdiri kokoh walau harus mengorbankan daun-daunnya berguguran.
Sehancur apa pun duniamu, serapuh apa pun kondisimu saat ini. Tetaplah bertahan, karena hidup terus berputar selagi napas masih berembus. Mungkin hari ini kau hancur, tapi esok hari kau harus bangkit. Tunjukkan pada dunia kalau kau mampu bertahan melewati segala rintangan. Kau pasti bisa, jangan menangis, sebanyak apa pun air matamu mengalir tak akan berubah jadi mutiara. Karena kau bukan putri duyung apalagi Shim Chung.
Rena mendengkus geli membaca pesan yang dikirim oleh Davin. "Dasar jones."
Rena mengernyit ketika mobil Davin berhenti di pelataran rumahnya, sorot matanya langsung tertuju pada barisan mobil yang terparkir di depan rumah—————nyaris memenuhi teras rumahnya.Ada apa ini?Rena bertanya-tanya, matanya memperhatikan keadaan rumahnya yang terpantau sepi meski banyak mobil terpakir di depannya.Apa ada tamu? Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Hanya orang-orang kurang kerjaan yang bertamu sepagi ini. Bahkan mungkin orangtuanya baru terbangun. Di saat Rena sibuk dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran di dalam kepalanya, dari arah samping suara Davin menginterupsi."Ayo." Davin sudah melepas sabuk pengaman, bersiap akan turun.
Kitaperlu bicara, dari hati ke hati.-Davin-Davin berjalan gontai memasukiprivat roomdi klub miliknya. Ketika pintu terbuka, bunyi terompet berpadu dengan suara teriakan heboh dan percikan kertas kerlap-kerlip menyambutnya."Surprise!!" seru kelima pria tampan yang tak lain sahabat-sahabatnya sejak SMA.Namun, bukannya senang mendapat kejutan tak terduga dari para sahabatnya. Davin malah mendengkus pelan, wajahnya nampak kusut dan tak bersemangat. Langkahnya seperti zombi kelaparan, berjalan lesu menuju sofa tanpa menghiraukan satu pun para sahabatnya yang dibuat cengo oleh sikapnya."Lo kenapa?" tanya Rey
Dering ponsel memekakkan telinga, Rena yang masih terlelap di atas kasur empuknya mulai terusik oleh suara nada dering dari ponselnya yang begitu bising memenuhi ruang kamar. Kelopak mata Rena perlahan terbuka, ia menoleh ke samping, tangannya terulur meraih ponsel.Rena mendengkus pelan ketika melihat nama si penelepon yang muncul di layar, orang yang telah mengusik tidur lelapnya. Padahal semalam Rena pulang waktu dini hari, rasa kantuk jelas masih mendominasi meski saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kenapa?" Rena langsungto the pointketika mengangkat panggilan dari kakaknya. "Mama?" Ia mengerutkan kening, sebelum akhirnya mengembuskan napasnya dengan kasar. "Kak Reyvan nelpon aku cuma buat nanyain mama di mana? Kakak 'kan bisa telepon langsung ke nomor mama, kenapa harus nelepon aku. Ganggu or
Acara lamaran antara Davin dan Rena sudah dilakukan seminggu yang lalu, kedua keluarga sudah memutuskan tanggal pernikahan yang akan digelar satu bulan lagi. Terkesan mendadak memang, namun itu demi kebaikan bersama mengingat banyak rumor tak sedang yang beredar. Demi menepis segala gosip miring itulah pernikahan keduanya dipercepat dan selama beberapa hari ini baik Rena dan Davin sudah sibuk mempersiapkan segala perlengkapan pernikahan keduanya, dibantu kedua orangtua masing-masing.Rena tersenyum manis ketika mendapat pesan dari Davin, pesan romantis dan terkesan ambigu seperti biasa. Ya, ia sudah terbiasa dengan kelakuan Davin, hal itu justru membuat Rena semakin mencintai pria itu. Davin yang romantis, terkadang nyeleneh, memberikan kesan berbeda di mata Rena."Iya, ini sudah selesai," ucap Rena ketika mengangkat panggilan telepon d
Seperti biasa, saat Rena keluar dari rumah sakit sudah ada mobil Davin yang menunggu di depan lobi. Pria itustand bydi samping pintu mobil, menyunggingkan senyum manisnya ketika Rena menghampiri."Hai, makin cakep aja pacar aku." Dan seperti biasa, gombalan garing akan meluncur dari mulut Davin."Kenapa? Terpesona ya?" balas Rena, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan Davin yang lebih tinggi darinya."Iya, nih," ucap Davin, kemudian mengecup kening Rena sampai membuat sang empu membeku sesaat."Davin!" pekik Rena setelah kesadaran mengambil alih, ia melirik ke sekitar di mana orang-orang tampak berseliweran keluar masuk rumah sakit, beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahnya. "Rese!" Seraya menahan malu Ren
Lima menit berlalu, suasana hening masih menyelimuti ruang rawat Vera. Hanya embusan napas berat yang silih berganti antara dua orang wanita yang sama-sama membisu seribu bahasa. Kecanggungan antara Vera dan Rena terlihat jelas dari gestur tubuh keduanya, saling melirik satu sama lain, namun enggan membuka obrolan lebih dulu."Gimana?" Rena akhirnya buka suara setelah keheningan yang cukup lama, menurunkan sedikit egonya untuk berbicara lebih dulu. "Nggak ada yang sakit 'kan? Kata Dokter Maya, hari ini lo udah boleh pulang."Vera mendesis pelan, melirik sinis Rena. "Nggak usah sok perhatian lo! Bukannya lo seneng, lo pasti lagi bahagia banget 'kan lihat gue sengsara kaya gini?"Rena menghela napas panjang, tak terpancing akan ucapan Vera yang mencercanya. "Gue tahu Ver, ini nggak mudah