Share

4. Gagal

Yang satu gagal nikah, yang satu gagal move on. Lalu bagaimana kalau keduanya bertemu?

Kata orang dulu, kalau jodoh nggak akan ke mana. Mungkin itu yang dijadikan landasan Davin saat ini, bukan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi untuk memperjuangkan di saat masih diberi kesempatan.

"Mau pulang atau langsung ke rumah sakit?" Davin menoleh sekilas pada Rena yang duduk di kursi samping, lalu matanya kembali fokus pada jalanan yang cukup padat saat menjelang siang.

"Rumah, kebetulan hari ini aku tugas malam." Jawaban singkat dan padat, menjadi akhir dari percakapan singkat keduanya sampai mobil Davin tiba di depan gerbang rumahnya.

"Ren." Panggilan Davin menginterupsi, membuat wanita itu sedikit terkejut.

"Ya?" Wajahnya nampak sayu, kantung matanya terlihat jelas ditambah sedikit bengkak akibat menangis tadi.

Davin menghela napas pelan, dadanya terasa sakit. Mungkin ikatan batin tak pernah salah, ketika seseorang yang kita cintai sedang bersedih kita akan ikut sedih, ketika mereka sakit, kita pun merasakan hal yang sama. Bahkan di saat kita sedang tidak baik-baik saja, jika melihat orang yang kita cintai bahagia, maka kita juga akan ikut bahagia. Sesimpel itu.

"Mau gue anter? Mungkin lo butuh bantuan buat jelasin ke bokap---" Davin mengatupkan bibirnya ketika Rena menggeleng, seulas senyum tipis menghias wajah sedihnya yang tetap terlihat cantik.

"Gue bisa atasi ini sendiri. Thank's

buat semuanya, lain kali gue traktir lo kopi." Davin mengangguk pelan. "Gue masuk dulu. Bye Davin, see you." Mata Davin mengikuti langkah Rena memasuki gerbang, setelah wanita itu tak terlihat lagi dia langsung menjalankan mobilnya menuju kafe.

Rena berjalan gontai, layaknya zombi kelaparan. Meski sudah makan sup dan minum obat pereda hangover, nyatanya pening di kepala tak juga reda. Masih terasa sakit, seolah ada tumpukan batu yang di letakkan di atas kepalanya, ditekan-tekan hingga menghimpit otak kecilnya yang tak bisa diajak berpikir untuk saat ini.

"Rena?" Suara bariton papanya menyambut Rena ketika ia membuka pintu. "Dari mana kamu? Kenapa baru pulang." Papanya langsung mencecar Rena.

"Tidur di mana kamu, Ren, semalam?" Suara lembut mamanya ikut bertanya. "Kami khawatir, semalaman kamu tidak ada kabar." Mamanya mendekat, membelai lembut surai Rena.

"Benar Ren, Nak Alan juga sampai bolak-balik ke sini karena khawatir sama kamu." Mendengar nama laknat mantan tunangannya disebut papanya, sontak Rena mengalihkan atensinya, menatap horor sesosok tamu tak diundang yang duduk di hadapan papanya.

"Ren." Pria itu berdiri. "Aku--"

"Stop!" bentak Rena, menginterupsi Alan yang akan mendekat. "Mau apa kamu ke sini?" Ia menatap sinis Alan, sorot matanya penuh dengan kebencian. Melihat pria itu kembali mengingatkannya akan kejadian kemarin, membuat dadanya semakin sesak. Rena merasa jadi wanita paling bodoh sedunia, karena ia tak menyadari perselingkuhan antara calon suaminya dengan sahabatnya sendiri.

"Aku khawatir dengan keadaan kamu, Ren. Ponsel kamu nggak aktif, aku telepon nggak bisa, aku kirim pesan juga nggak dibales, makanya aku bolak-balik ke sini buat mastiin keadaan kamu baik-baik saja," ujar Alan, kata-kata yang terdengar menenangkan tapi justru semakin menggoreskan luka semakin dalam di hati Rena.

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" Alan terdiam, matanya terpaku memandangi wajah sayu Rena. Begitupun dengan orangtua Rena, mereka nampak bingung.

"Apa terjadi sesuatu, Ren?" Mamanya yang paling khawatir, apalagi melihat wajah Rena terlihat kuyu, matanya membengkak. "Ren, semuanya baik-baik saja 'kan?"

"Ada apa sebenarnya, Ren? Jangan buat kami khawatir," ucap papanya. Namun Rena mengabaikan pertanyaan orangtuanya, pandangannya lurus tertuju pada Alan.

"Apa kamu pikir aku akan baik-baik saja, setelah aku tahu semuanya?" Alan menelan ludah, gusar mendengar ucapan Rena yang kembali membahas kejadian kemarin.

"Aku bisa jelasin, Ren--"

"Jelasin apalagi?" sergah Rena, menepis kasar tangan Alan saat pria itu berniat merengkuhnya. "Nggak ada yang perlu dijelasin lagi." Susah payah ia menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya, namun akhirnya pertahanan diri Rena runtuh bersamaan dengan air mata yang menerobos keluar membasahi pipi. "Sakit, sakit hati aku, Kak!" Rena berteriak histeris, memukul-mukul dadanya.

"Rena tenang, Nak. Ada apa sebenarnya, cerita sama kami, Ren." Mamanya merengkuh bahu Rena, berusaha menenangkan putrinya.

"Ada apa sebenarnya ini, Nak Alan?" Papa Rena masih mengontrol emosinya, meski dari nada bicaranya pria paru baya itu menuntut penjelasan.

"Ren, kumohon--"

"Aku ingin membatalkan pernikahan kita." Ucapan Rena mengejutkan semua orang, terutama Alan. Pria itu tak percaya jika Rena akan mengambil langkah sejauh itu.

"Tapi Ren, kita masih bisa bicarakan ini baik-baik. Kamu lagi emosi, jangan gegabah mengambil keputusan." Rena mendecih, Alan memang pria yang pandai merangkai kata. Bahkan setelah apa yang diperbuat olehnya, pria itu masih bisa berkata seolah tidak ada apa-apa.

"Benar kata Nak Alan, Ren. Kamu nggak bisa membatalkan secara sepihak, ini menyangkut dua keluarga." Papanya menengahi.

"Tenangkan diri kamu dulu, Ren. Kamu pikirkan baik-baik Nak, jangan asal ambil keputusan, nanti kamu menyesal." Mamanya ikut memberikan pengertian terhadap Rena.

Tapi aku justru akan menyesal Ma, kalau aku tidak ambil keputusan itu sekarang. Rena menghela napas panjang dan dalam, ia tidak mau egois karena ini menyangkut kedua orangtuanya juga.

"Nanti malam kamu bisa datang lagi ke sini, bawa orangtuamu juga. Kita bicarakan ini bersama, sekarang aku ingin istirahat sebaiknya kamu pulang." Tanpa menunggu tanggapan Alan, Rena melangkah masuk. Namun baru beberapa langkah, ia kembali menoleh ke belakang. "Oh, ya. Jangan lupa ajak Vera juga. Dia juga harus ikut membicarakan soal ini." Segaris senyum Rena, membuat Alan terpaku, berkali-kali merutuki diri atas apa yang sudah terjadi.

Menyesal? Sudah terlambat. Tak ada lagi yang bisa disesali, semua sudah terlanjur terjadi. Kini tinggal ia mengakui dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

------

Malam harinya diadakan pertemuan di kediaman rumah orangtua Rena, ia sampai harus izin dari rumah sakit untuk malam ini. Reyvan, kakaknya juga hadir beserta dengan istrinya, Kimmy. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu saat Alan dan orangtuanya datang, Vera juga.

"Jadi ada apa sebenarnya ini, kenapa kita semua dikumpulkan di sini?" tanya Rusdiyanto selaku papanya Alan.

"Begini Pak Rusdi, ada yang ingin Rena sampaikan pada Bapak dan Ibu, juga Nak Alan," ucap papa Rena, menolehkan kepalanya ke Rena yang duduk di samping kirinya. "Ayo Ren, katakan apa yang ingin kamu sampaikan."

Rena mengangguk pelan, menarik atensi semua orang tertuju padanya, tangannya terkepal erat mencengkram dress panjang yang ia kenakan malam ini. "Aku ingin membatalkan pernikahan dengan Kak Alan--"

"Apa maksud kamu, Rena?" Mama Alan langsung bereaksi, tak terima dengan keputusan sepihak yang dilakukan oleh Rena. "Kamu pikir pernikahan ini main-main?"

"Ma, tenang dulu." Alan berusaha menarik mamanya agar duduk kembali, begitupun dengan suaminya yang menyuruh untuk tenang.

"Sabar dulu Bu Rusdi, kita dengarkan alasan Rena. Kita di sini untuk membicarakan hal ini secara baik-baik, dengan kepala dingin. Saya tahu perasaan ibu, saya pun sama, tapi kita tidak bisa memaksakan kehendak. Alangkah baiknya kita jangan terpancing emosi, kita di sini sebagai penengah untuk mencari solusi yang terbaik," ujar mama Rena, memohon pengertian. "Rena, sekarang katakan alasan kamu kenapa mau membatalkan pernikahan ini." Mamanya mengusap lembut punggung Rena. "Mama tahu, Rena nggak bermaksud bikin kita semua kecewa, mama tahu kamu punya alasan atas keputusan sepihak ini."

Rena menarik napas kuat-kuat, mencoba tetap tegar meski dadanya kembali bergemuruh. Melihat Vera yang duduk di tertunduk di hadapannya dan juga Alan di samping wanita itu, membuat batinnya bergejolak. Hasrat untuk membunuh keduanya kian menggebu-gebu, namun Rena memaksa otaknya tetap waras, ia tahu mengatasi masalahnya tanpa perlu mengotori tangannya sendiri.

"Bukan Rena yang mau, tapi Kak Alan. Kak Alan yang ingin pernikahan ini dibatalkan, karena dia sudah tidak mencintai Rena lagi. Dia sudah memiliki tambatan hati yang baru, benar 'kan Kak Alan?" Rena tersenyum simpul saat Alan menatapnya, mata mereka saling beradu.

"Apa maksudnya? Alan jelaskan, apa benar yang dikatakan Rena barusan?" Mamanya menuntut penjelasan pada Alan.

"Mereka sudah lama menjalin hubungan di belakang Rena, itu sebabnya Rena juga undang Vera di sini. Sekarang giliran Kak Alan dan Vera yang menjelaskan." Senyum tipis itu masih menghias wajah Rena saat Vera mengangkat wajahnya, memberikan tatapan penuh kebencian padanya.

"Ren, maksud kamu dia selingkuhi kamu begitu?" Reyvan yang sedari tadi diam pun kini angkat bicara.

"Iya, Mas. Aku baru tahu kemarin, seandainya aku tahu mereka berdua bermain di belakangku. Aku takkan menerima pinangannya." Tersirat penyesalan dari ucapan Rena, matanya berkaca-kaca menatap Alan dan Vera, tangannya semakin terkepal erat. Beruntung ada mamanya yang merengkuh tubuhnya yang ringkih, memberikan usapan lembut, sedikit menenangkan.

"Berengsek!" Reyvan geram, tak bisa mengendalikan emosinya, lantas ia menghantam rahang Alan denhay bogem mentahnya. "Gue restui hubungan lo sama adik gue, tapi lo malah selingkuhi dia!" Reyvan membabi buta, papanya dan papa Alan berusaha melerai tapi tenaga mereka tak sebanding dengan Reyvan yang kesetanan.

"Reyvan, cukup!" Mamanya histeris.

"Reyvan, berhenti." Kimmy juga ikut melerai, tapi apa daya mereka semua tak bisa menghentikan kemarahan Reyvan. Pria itu memang bisa berubah jadi beruang ganas saat marah.

"KAK REYVAN!" Suara Rena berhasil menghentikan aksi Reyvan. "Jangan kotori tangan Kakak untuk memberi pelajaran pada dia. Itu nggak akan bisa menebus rasa sakit yang dia berikan!" sarkas Rena, menatap nyalang Alan yang sudah tak berdaya. "Biarkan karma yang menghukum mereka!" Ucapan terakhir Rena bagaikan sumpah yang dilontarkan untuk kedua manusia yang berkhianat terhadapnya. "Tidak ada kebahagiaan untuk orang yang merusak kebahagiaan orang lain."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status