Share

Bab 9

Aksa berbicara dengan santai di telphone sambil berjalan pulang kerumah Handi. Sesekali sesungging senyum tersuguh di bibir tebalnya, ini ada pertama kalinya ia kembali mendengar suara lembut dari wanita yang selalu dirindukannya. Pembicaraan itu cukup singkat, ia pun mengakhiri telphonenya dan seketika raut wajahnya berubah. Tersimpan kekesalan dan juga kemarahan akan merasa dibohongi. Saat baru menyusupkan ponsel dalam jas-nya. Di kejauhan ia melihat Karina sedang terduduk sambil menutup kedua matanya. Entah apa yang dilakukan gadis itu, Aksa berjalan menghampirinya dan kini ia berada tepat di hadapan Karina yang matanya masih terpejam. Ia tersenyum simpul melihat kerutan didahi gadis itu.

            “Menyebalkan, Aksa... aku akan membunuhmu.” Teriaknya, membuat beberapa orang yang sedang berjalan-jalan dan juga Aksa yang memandangnya terkesiap. Karina meraba bibirnya pelan, matanya masih terpejam. “Ciuman itu harusnya aku berikan pada orang yang aku cintai...” ia menghentakkan kakinya. Aksa masih terdiam dengan kedua tangan masuk kedalam saku celananya.

            “Jadi, itu ciuman pertamamu?” tanya Aksa, seketika membuat Karina membuka kedua matanya. Ia terkejut melihat pria yang membuatnya kesal, kini berada di hadapannya. Karina menggerutu kecil.

            “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanyanya seperti tidak merasa bersalah sedikitpun. Karina beranjak dari tempat duduknya dan hendak melangkah meninggalkan Aksa tanpa mengatakan apapun. Aksa menahan tangannya, membuat Karina mau tidak mau menatap padanya.

            “Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi?”

            “Pertanyaan apa?” tanyanya ketus, ia menghempaskan tangan Aksa yang memegangnya.

            “Kamu ingin menjadi istrinya atau menjadi istriku?” tanyanya dengan wajah datar. Karina mengerutkan kening tidak mengerti. Ia hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Mendelik tajam ke arah Aksa.

            “Apakah semudah itu kamu mengajakku menikah? Apa didalam kepalamu pernikahaan itu hanya main-main, demi kepuasanmu sendiri. Kamu melemparkan lelucon itu padaku?” ia memandang lekat pada Aksa yang terdiam dengan santai menatapnya. “Aku tahu, kamu sedang mengerjaiku. Kamu tidak menyukaiku dan aku juga. Kita hanya orang asing yang tiba-tiba bertemu secara tidak sengaja. Sekarang kamu dengan entengnya mengatakan ingin menikah denganku. Aku benar-benar ingin sekali tertawa, itu sangat menggelikan. Kamu tahu...”

            “Iya, aku tahu kamu akan mengatakan hal itu.” Aksa mencondongkan tubuhnya ke arah Karina, membuat jarak diantara mereka terkikis. Karina sempat menelan ludahnya saat wajah pria itu begitu dekat dengan wajahnya terlebih ia bisa merasakan nafas pria itu membentur wajahnya.

            “Apa kamu tahu? Kalau keluarga kita sudah saling mengenal untuk waktu yang lama?”

            “Apa?”

            “Kamu tidak tahu?”

            Karina hanya mengerjapkan kedua matanya sesaat dan berpikir, ia kembali memandang ke dalam bola mata kecoklatan milik Aksa. “Jadi kamu ingin mengatakan, kalau mungkin saja kita akan dijodohkan begitu.”

            Ucapan Karina sontak mengundang gelak tawa pria itu, wajah gadis itu yang tiba-tiba memerah dan memalingkan wajahnya membuat Aksa merasa geli. Ia menyentil dahi Karina, membuat gadis itu mengaduh kesakitan dan mengelus dahinya.

            “Bodoh, kalau kita dijodohkan. Mungkin dari dulu kita sudah menikah dan kamu tidak akan mungkin dijodohkan dengan orang lain, dasar bodoh...”

            “Lalu? Kenapa kamu mengatakan hal itu padaku.”

            “Sepertinya kamu tidak tahu menahu mengenai pertikaian keluarga kita.”

            “Pertikaian...” Karina mengerutkan kening bingung.

            “Aku hanya ingin mengakhiri pertikaian itu dengan kita menikah.” Kata Aksa membuat Karina mendengus kesal.

            “Aku tidak ingin menikah karena hal itu. Aku hanya ingin merasakan perasaan seperti orang lain. Menikah dengan orang yang dicintai, hidup bahagia bersama walaupun ditengah kesederhanaan. Aku ingin menikah karena aku mau, bukan karena suatu keterpaksaan atau suatu tujuan. Apa kamu mengerti arti pernikahan?”

            Aksa hanya terdiam. Ia tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Karina padanya.

            “Sepertinya kamu memang tidak tahu apa itu pernikahan yang sesungguhnya?”

            Karina hendak meninggalkannya, ia sudah lelah membicarakan pernikahan yang tidak ada ujungnya. Muak dengan keadaan yang terus memaksanya seakan ia tidak memiliki jiwa dan orang-orang tidak peduli akan perasaannya.

            “Lalu, apa menurutmu arti pernikahan itu? apa kamu hanya menganggap pernikahan dapat dilakukan untuk orang yang saling mencintai?”

            Seketika langkah Karina terhenti, ia menoleh kebelakang di mana Aksa memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya.

            “Tentu saja...” jawab Karina tegas.

            “Kalau begitu, ijinkan aku untuk mencintaimu Karina...”

            Tubuh Karina menegang mendengar ucapan itu, tidak ada keraguan atau kebohongan di dalam tatapannnya. Aksa kembali berjalan mendekati Karina membuat gadis itu hanya bisa terdiam membatu. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Perlahan Aksa menarik tubuh langsing Karina ke dalam dekapannya.

            “Aku ingin membuka lembaran baru dalam hidupku, untuk itu aku membutuhkan seseorang yang dapat mengisi kembali kekosongan hatiku dan aku memilihmu... jadi ijinkan aku untuk mencintaimu. Walaupun kamu tidak mencintaiku...” kata Aksa membuat Karina semakin merapatkan bibirnya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ini benar-benar membuatnya terkejut. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang membuatnya merasakan sesuatu desiran yang aneh dihatinya. Perlahan tangannya terangkat membalas pelukkan Aksa. Seakan dirinya mengatakan ‘iya’ didalamnya. Semilir angin lembut menerpa tubuh keduanya. Mengikis perasaan akan keraguan yang mendera hati Karina. Memulai untuk mencintai seorang pria seperti apa yang dulu selalu diimpikannya.

***

            Anita baru saja tiba di rumah Handi, suasana rumah tampak sepi. Seperti tidak ada penghuni di dalamnya, padahal mereka semua ada di rumah. Ketiga pria itu duduk di ruang keluarga, ada yang bermain game di PSP. Membaca majalah dan bahkan menonton televisi namun tidak bersuara. Anita mengerutkan kening heran melihat pemandangan di rumah kekasihnya itu. ia melayangkan tatapan pada Handi yang sedang membaca majalah tanpa ingin diganggu siapapun. Tampak focus dan tidak peduli dengan keadaan disekelilingnya, bahkan saat Anita menyapa dan masuk kedalam rumah.

            “Ada apa dengan kalian?” tegur Anita, membuat Jaki menoleh padanya setelah menghentikan permainan di PSP-nya.

            “Kamu sudah datang,” ujarnya, Anita berdecak sebal. Jadi saat dia masuk ke dalam rumah tidak ada yang menyadari kehadirannya. Ia meletakkan belanjaan di atas meja.

            “Sayang, dua orang itu ke mana?” tanya Anita sambil melayangkan tatapannya pada Handi yang masih asik membaca. Bino yang sedang menonton televisi sambil memainkan ponselnya menyenggol lengan pria itu.

            “Apa?” tanyanya menatap Bino, Bino melototinya  dan memberi kode untuk menoleh ke belakang di mana Anita menatapnya kesal. Pria itu dengan cepat menoleh ke belakang dan melihat kekasihnya yang melotot marah.

            “Kamu sudah datang sayang,” ucapnya sambil cengengesan. Anita hampir saja akan melempar sayuran ke arah Handi. “Kenapa?” tanyanya saat melihat raut wajah Anita yang menahan kekesalan.

            “Aku bertanya padamu, dua orang itu ke mana. Aksa dan Karina?” tanyanya setengah berteriak.

            “Tidak tahu, Aksa membawa gadis itu keluar dan sampai sekarang belum kembali.” Jawab Handi.

            “Mungkin mereka sedang kencan,” celetuk Jaki yang langsung mendapatkan tatapan dari ketiga orang itu.

            “Kencan?” pekik ketiga orang itu bersamaan.

            “Iya, bukankah wanita dan pria kalau keluar bersama berarti mereka kencan,” ucap Jaki polos.

            “Tidak semua, dasar bodoh...” gerutu Handi hampir saja akan memukul kepala Jaki. Namun Jaki berhasil menghindar.

            Ting tong... terdengar suara bel rumah berbunyi membuat orang-orang yang ada didalam rumah memandang ke arah pintu.

            “Mungkin mereka sudah pulang,” seru Bino.

            “Aku rasa itu bukan mereka, kalau itu mereka. Tidak mungkin membunyikan bel,” Handi beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka, ia hanya bisa mengerjapkan kedua matanya memandang orang-orang yang berada di hadapannya.

            “Siapa yang datang,” Anita menyongsong ke arah pintu masuk. Handi memandangnya. Mereka berdua saling berpandangan. Tatapannya kembali beralih pada orang-orang yang berdiri tegak di depannya.

            Sementara itu, Karina dan Aksa berjalan pulang bersama. Karina tampak canggung dan malu, beberapa kali ia berdehem membuat pria yang berjalan di sampingnya memandang padanya.

            “Kenapa?”

            “Tidak,” jawabnya malu. Ia berusaha untuk tenang dan menormalkan detak jantungnya. Aksa tiba-tiba saja menyambar tangan Karina dan menggenggamnya erat membuat gadis itu terkesiap kaget seketika memandang pada pria yang tidak menatap sedikitpun padanya.

            “Ini sangat nyaman untukku, kamu harus terbiasa dengan hal ini...” kata Aksa, sesaat ia menoleh kearah Karina yang mengangguk kaku. Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam membisu, Karina menundukkan kepala mencoba menetralisir keadaan dan jantungnya yang terus berdetak di atas batas normal. Sesampainya di depan rumah Handi, mereka berdua melihat dua mobil hitam berjajar rapi di sana. Keduanya saling berpandangan. Dengan langkah cepat, mereka memasuki rumah Handi.

            Setibanya di dalam rumah, orang-orang yang kemungkinan menunggu mereka menatap pada keduanya. Tatapan pria paruh baya itu menahan kemarahan dan seakan ingin membunuh seseorang saat ini juga. Karina berdiri mematung, tangannya yang masih digenggam Aksa menjadi objek paling mencolok membuat pria paruh baya itu semakin geram.

            “Ayah...” gumam Karina seakan lidahnya kelu dan tubuhnya kaku di tempat. Apa lagi melihat tatapan sang ayah padanya. Ia dalam masalah besar sekarang, tatapannya berpindah pada Aksa yang berada di sampingnya yang juga memandang padanya. Keduanya saling berpandangan sesaat, kini tatapan mereka tertuju pada ayah Karina yang sudah beranjak dari sofa memandang marah kepada putrinya.

.

.

.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status