"Ayah..." gumam Karina terkejut melihat ayahnya berada di rumah Handi dan memandangnya dengan tatapan marah. Matanya semakin berkilat penuh benci melihat kemesraan anaknya dengan anak dari orang yang ia benci.
"Apakah karena ini kamu kabur dari pernikahanmu, karena pria ini," geram Tn. Rama memandang putrinya. ia benar-benar murka. Kenapa putrinya harus memilih bersama dengan pria yang merupakan anak dari orang yang sangat ia benci.
"Ayah..." Karina memandang takut sang ayah. Pria paruh baya itu berjalan mendekat kearah keduanya, tanpa disangka-sangka ia memukul keras wajah Aksa yang tidak sempat menghindar membuat tubuhnya terjatuh ke belakang. Karina terhenyak melihatnya. Orang-orang yang berada di rumah itu juga memandangnya terkejut. Aksa dengan santai bangun sambil mengelap darah yang keluar dari sudut bibirnya.
"Aksa, kamu tidak apa-apa?" tanya Karina, ia hendak menyentuh wajah Aksa dengan khawatir. Namun tangannya segera diraih Tn. Rama dan mencengkramnya dengan sangat erat.
"Jangan pernah mendekati putriku lagi, atau kamu akan menerima lebih dari ini..." ujarnya pada Aksa penuh penekanan dengan emosi yang meledak. Ia melirik anak buahnya, memberi isyarat untuk menyeret Karina ke dalam mobilnya. Para pengawal itu dengan sigap memegangi tangan Karina.
"Ayah, aku tidak mau pulang..." teriak Karina meronta, ia tidak ingin pulang. Walaupun mereka menyeret dengan keras tubuh Karina. Gadis itu tetap pada pendiriannya, ia tidak mau pulang. Sebelum ayahnya membatalkan pernikahaan itu. Mereka berhasil menyeretnya keluar dari rumah Handi.
"Apa kamu mau menentang ayahmu ini, untuk apa kamu bersama dengan pria itu. Kamu hanya akan sakit hati karenanya, dia sama dengan ayahnya. Mereka tidak pantas dengan keluarga kita," ucap Tn. Rama, ia menahan erangan kemarahannya. Mengingat kembali apa yang dilakukan Tn. Anggara dimasa lalu. Membuat ia semakin membenci keluarga Anggara.
"Tidak ayah," Karina menghempaskan tangan pengawal ayahnya, yang memegang kuat lengannya. "Ayah belum mengenalnya, dia tidak mungkin menyakitiku. Dan, aku yakin itu ..."
Tn. Rama tersenyum kecut. "Kamu lebih mempercayai pria itu dibandingkan ayahmu sendiri. Jadi, kamu lebih memilih orang asing dibandingkan keluargamu sendiri."
"Ayah..." lirih Karina dengan mata berkaca-kaca. "Bukan itu, aku hanya ingin ayah mengerti keinginanku."
Tn. Rama menghembuskan nafas kasar, "ayah melakukan semua ini karena ayah menyayangimu. Dan, kamu lebih membelanya...?" tanya Tn. Rama dengan hati kecewa. "Kalau kamu masih menganggapku sebagai ayahmu, pulanglah. Kalau kamu sudah tidak menganggapku sebagai ayahmu. Pergilah dengannya, dan jangan pernah memanggilku ayah."
"Ayah..." Karina menatap nanar wajah sang ayah yang begitu kecewa dengan raut wajah sedih. Ia menoleh ke belakang, melihat Aksa yang menatapnya dalam diam. Sejenak ia termenung mencoba menenangkan perasaannya, apa yang akan ia lakukan sekarang. Haruskah ia kembali ke rumah dan menjadi istri dari pria yang tidak dicintainya. Tapi, kalau dia tetap disini. Ia tidak yakin sudah menyukai pria yang menatapnya dengan tenang. Ayahnya benar, kalau dia bersama dengan orang yang tidak mencintainya. Itu sama saja dengan membiarkan dirinya menderita.
“Ayo kita pulang. Karina...” ajak Tn. Rama dengan nada melunak. Ia tahu, kekerasan tidak akan bisa membuat putrinya mau kembali ke rumah. Ia benar-benar tidak ingin putrinya berhubungan dengan siapapun dikeluarga Anggara. Karina terdiam. Tubuhnya seakan kaku di tempat. “Karina,” tegur Tn. Anggara dengan nada tertahan. Ia menatap putrinya yang tidak bergeming sedikitpun dan hanya menunduk dalam.
“Aku mencintainya ayah, dan aku ingin menikah dengannya...” ujarnya, ia mengepalkan kedua tangannya kuat. Menahan gejolak batin yang ada dihatinya, memilih antara keluarga atau pria itu. Dan, sekarang ia lebih memilih pria itu.
“Karina, kamu tahu apa yang kamu lakukan sekarang?”
“Aku tahu. Ini adalah pilihanku dan aku tidak akan menyesal,” ucapnya dengan penuh keyakinan, tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.
“Putriku sendiri, dia lebih memilih orang asing dibandingkan ayahnya. Baiklah, kamu pergi saja dengannya dan hubungan kita berakhir sampai disini. Jangan pernah memperlihatkan lagi wajahmu di depanku ataupun datang ke rumah untuk menemui ibumu. Akan aku pastikan, kamu menyesali apa yang telah kamu pilih ini,” Tn. Rama yang sudah cukup emosi, ia menatap benci ke arah Aksa. Sedetik kemudian, ia berbalik dan masuk ke dalam mobil dengan wajah kecewa. Anak buahnya mengikuti, mobil Tn. Rama melaju meninggalkan rumah Handi. Setelah kepergiannya, Karina menunduk sedih. Ia merasa buruk, tidak seharusnya ia membuat hubungan keluarga terputus.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kalian...” Handi menatap Aksa lekat, ia merasa penasaran sebenarnya ada apa dengan mereka berdua. Kalau tidak salah dengar, Karina mengatakan mereka akan menikah. Itu yang membuatnya bingung.
Aksa tidak menjawab, ia berjalan mendekati Karina dan menepuk pundaknya. Gadis itu ternyata sedang menangis, ia dengan cepat menghapus airmatanya dan berusaha untuk tersenyum.
“Kamu tidak apa-apa??” tanya Aksa dengan wajah cemas melihat kesedihan yang terukir jelas di wajah Karina. Karina menggeleng pelan.
“Aku merasa sangat buruk. Ini artinya aku menentang ayahku dan aku sudah tidak dianggap anaknya lagi,” ujar Karina dengan hati terluka, ia tidak ingin seperti ini. Ternyata sangat sulit membuat ayahnya mengerti, ia juga memiliki kebebasan untuk memilih hidupnya. “Aku harap keputusanku ini, tidak akan membuatku menyesal nantinya,” Karina melirik ke arah Aksa yang memegang pundaknya sambil tersenyum.
***
"Aksa, apa yang kamu katakan... jangan bercanda," teriak Renita marah, membuat ibunya sontak memandang putrinya dengan tatapan heran.
“Aku tidak bercanda, aku serius kak..."
"Aksa... apa kamu mau mati?..." teriaknya lagi membuat ibunya mengelus dada, apa yang sedang dibicarakan putrinya di telphone dengan adiknya itu sampai ia beberapa kali berteriak.
“Kalau kakak, ibu dan ayah tidak mau datang ke pernikahanku. Aku tidak akan memaksa kalian, aku hanya ingin memberitahukan hal itu. Setuju tidak setuju, aku tidak peduli. Yang pasti, pernikahan itu akan tetap terjadi. Aku akan menikah dengannya."
Aksa memutuskan telphonenya secara sepihak.
“Aksa... Aksa..." teriak Renita dengan emosi. Ia menatap marah layar ponselnya. Adiknya itu benar-benar sudah gila. Menikahi putri dari orang yang membenci keluarganya. Apa yang sebenarnya ada di otak adiknya itu? Renita memegang pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Ada apa, Renita?" tanya ibunya menatap bingung putrinya itu. Renita menghela nafas.
“Bu, kita harus menghentikan pernikahannya."
“Pernikahan siapa?"
"Aksa, anak laki-laki ibu. Dia sudah tidak waras, bagaimana bisa dia menikahi putri Tn. Rama..." ucap Renita dengan nada memburu, seketika membuat sang ibu terbelalak kaget.
“Apa yang kamu katakan, menikahi siapa?" tanyanya seakan tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Putri Tn. Rama... dia akan menikahi Karina."
“Apa yang kau bicarakan... bagaimana bisa hal ini terjadi? Ini tidak bisa dibiarkan. Kita tidak akan tahu, apa yang akan terjadi nanti pada adikmu." ujar ibunya dengan cemas sekaligus khawatir. Ia tahu Tn. Rama sangat membenci suaminya. Tidak bisa dibayangkan. Kemarahan seperti apa yang akan didapatkan Aksa dari ayahnya Karina.
“Bagaimana ini bu, kita harus mencegah pernikahan mereka...” kata Renita gelisah, ia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada adiknya. Kalau Aksa masih ingin menikah dengan putri dari orang yang membenci mereka.
“Lakukan saja...” ucapan seseorang dari belakang, membuat kedua wanita itu sontak menoleh. Berdiri di sana Tn. Anggara dengan wajah tenang. Keduanya mengernyitkan dahi tidak mengerti. “Biarkan mereka menikah...” lanjutnya. Ia mendekati kedua wanita yang memandangnya terkejut.
“Sayang...” Ny. Ratna terkejut mendengarnya.
“Ayah...” Renita juga sama terkejutnya.
“Kita lihat, apa yang akan dilakukan Tn. Rama? Kita bawa putrinya ke rumah ini, jadikan dia keluarga kita. Ini akan sangat menarik,” ujar Tn. Anggara sambil tersenyum simpul.
“Sayang, apa yang kamu bicarakan? Membiarkan mereka menikah, kalau itu terjadi. Kita tidak akan tahu apa yang akan diperbuat Tn. Rama pada keluarga kita,” ucap Ny. Ratna memandang khawatir suaminya, ia benar-benar takut. Kalau mereka melakukan hal itu. Sama artinya keluarga mereka menyulut api lebih dulu dan pertikaian ini tidak akan ada habisnya. Tn. Rama akan semakin membenci keluarga besar mereka.
“Kalian tenang saja, apa yang bisa dia lakukan kalau putrinya ada bersama dengan kita? Aku yakin, dia tidak akan melakukan apa-apa,” sahutnya dengan tenang.
“Tapi ayah...” Renita merasa tidak setuju dengan apa yang direncanakan ayahnya itu. Ia merasa ini sangat beresiko dan pastinya akan ada orang yang terluka. Entah Aksa ataupun Karina. Renita menghela nafas memandang ayahnya.
“Kita harus menghadiri pernikahan mereka,” ia menepuk pundak Renita sebelum berlalu meninggalkan keduanya masuk ke dalam kamar. Renita dan ibunya saling berpandangan. Ini semua membuat kepala mereka pusing.
.
.
.
Bersambung
Ciuman mereka masih berlanjut, Aksa tidak melepaskan ciumannya dan membawa Karina ke kamar mereka. Aksa juga mengangkat tubuh Karina dan mendudukkannya di buffet yang tidak terlalu tinggi agar dia bisa dengan leluasa mencium Karina. Tangan Karina memeluk leher Aksa, jari-jari tangannya meremas rambut Aksa. Menahan gejolak gairah yang di dapatkan dari ciuman panas nan basah dengan bercampurnya air liur mereka. Tangan Aksa yang tadinya mengelus punggung Karina, berpindah mengelus paha Karina yang terekpos merasakan sentuhan yang membuat tubuhnya menggelinjang sampai membuat perutnya geli. Karina refleks menjauhkan kepalanya membuat ciuman mereka terlepas. Keduanya saling mengambil napas dengan terengah. Mata keduanya bertemu. Aksa masih mengelus paha Karina, sentuhannya semakin masuk kedalam kimono yang di kenakan Karina. Handuk Kimono itu terbuka memperlihatkan belahan dada Karina walaupun tidak sepenuhnya terbuka. Karina merasakan tubuhnya berkeringat dan kepanasan. Aksa yang melihat
Malam itu, di rumah keluarga Karina. Tn. Rama tersenyum saat mendengar berita bahkan Karina mengunjungi Ferro di kantornya siang tadi. Bahkan berita itu juga sudah masuk berita televisi. Salah seorang pelayannya memberitahukan kedatangan seseorang yang telah di tunggunya. Siapa lagi kalau bukan menantu kesayangannya. Walaupun Karina tidak pernah serumah dengan pria yang tidak lain adalah Ferro. “Aku harus menyambut menantu kesayanganku,” gumamnya setelah diberitahukan kedatangan Ferro atas panggilannya untuk mampir ke rumah. Ny. Arta yang duduk disana hanya diam, melihat wajah suaminya yang begitu semuringah bahagia. Dia merasa kasihan dengan putrinya dan juga suaminya yang terlalu mementingkan egonya. Ferro memasuki ruang keluarga. Dia tersenyum dan menyalami keduanya. Mereka duduk bertiga, sampai Nando datang dan mereka menjadi berempat di ruangan itu. Nando juga sudah mendengar berita itu, kalau Karina tiba-tiba datang ke kantor Ferro.
Karina diam di dalam mobil Ferro. Ferro beberapa kali melirik ke arah Karina saat sedang menyetir, bahkan saat mereka berada di lampu merah. Karina tetap diam, melihat kediaman Karina. Ferro menyadari mungkin karena kejadian tadi. Mood Karina menjadi tidak baik. Saat akan membuka suara, Karina lebih dulu berucap, “aku turun disini.” “Oh kamu sudah sampai rumahmu ya?” tanya Ferro. Karina tidak menjawab, Ferro menepikan mobilnya. Mobil telah berhenti dan Karina keluar begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Dari dalam mobil Ferro hanya bisa melihat punggung Karina yang perlahan menghilang di belokan jalan. Karina berjalan sendiri menuju taman yang ada di dekat sana. Dia duduk di salah satu kursi yang ada disan
Aksa yang berada di kantor sedang bekerja dengan laptopnya merasakan sesuatu yang tidak mengenakan, perasaannya gelisah. Saat melihat wajah Karina sebelum berangkat kerja setelah mereka di kunjungi sahabatnya itu. Wajah Karina berubah dingin kembali, dia bahkan tidak berbicara lagi dengannya. Membuat Aksa semakin khawatir, dia berusaha menghubungi Karina. Namun panggilannya tidak pernah di angkat, dia tahu Karina pasti kecewa padanya. Terlebih saat memergoki dirinya keluar dari apartemen Amanda. Istrinya itu tidak ingin mendengarkan penjelasan darinya. Seseorang mengetuk pintu dari luar ruangannya, setelah di ijinkan masuk. Orang yang tidak lain Dewi. Sekertaris sekaligus asistennya itu datang membawa beberapa berkas untuk di periksa Aksa. Aksa menerima berkas itu, m
Ferro berada di kantornya, dia tidak fokus untuk bekerja. Masalah pernikahannya yang batal, karena mempelai wanita kabur ditambah setelahnya, orang tua wanita itu memintanya mendaftarkan pernikahan di catatan sipil lalu mempublikasikannya. Sampai teman-temannya bertanya ada apa sebenarnya. Padahal waktu itu pernikahan di batalkan. Kalau tidak karena paksaan keluarganya, dia tidak akan mau melakukan semua ini. Ferro menutup berkasnya dan meregangkan tangan. Ferro mengingat Karina, wanita itu menikah dengan pria lain dan tidak di restui keluarganya. Pembicaraannya dengan Aksa suami dari Karina. Ferro tersadar. Kalau dirinya tidak memiliki keberanian seperti mereka, dia tetap menjadi anak yang penurut kepada orang tuanya. Seseorang masuk ke dalam ruangannya membawa beberapa berkas lagi, membuat Ferro menghela napas. Pekerjaannya sang
Aksa telah masuk ke dalam apartemen Amanda. Amanda membuatkan coffe untuk Aksa, Coffe Latte dengan Cream kesukaannya. Aksa melihat coffe itu dan terdiam, suasana kembali hening. Amanda meremas jari-jarinya. Karena dia tidak pernah menyangka berita batalnya pernikahaan Amanda dan Randi sudah tersebar luas. "Kenapa kamu diam? Aku bertanya padamu, apa berita yang aku dengar itu benar. Kamu membatalkan pernikahanmu?" Aksa bertanya sambil menatap lekat ke arah Amanda yang masih meremas jarinya, Amanda berusaha untuk tidak menatap mata Aksa dan memalingkan wajahnya dari Aksa “Dari mana kamu mendengar berita itu?” Amanda balik bertanya. “Apa berita yang aku dengar itu benar?”