"Saya izin keluar Pak," ucap Fiya lalu langsung keluar dari mobil Aryan dan berlari kecil tanpa melihat ke belakang sekalipun. Ia benar-benar bisa gila sekarang.
Saat sampai di apartemennya, Fiya melakukan segala aktivitas malamnya sambil memikirkan kejadian tadi dan tentang lamaran Aryan tadi.Sampai akhirnya, sekarang adalah waktunya Fiya tidur. Ia mencoba memejamkan matanya tapi pikirannya terus-menerus berputar ke Aryan. Fiya kemudian melihat obat tidur yang biasanya ia makan. Ya, dia adalah insomnia. Mempunyai penyakit susah tidur, apalagi ketika banyak pikiran.Menjadi seorang sekretaris merupakan bukanlah hal yang mudah. Apalagi ia tidak punya pengalaman. Tapi entah kenapa, dari banyaknya orang yang mendaftar. Fiya adalah satu-satunya yang terpilih. Bukankah harusnya ia syukuri itu sekarang."Gak bisa!" Fiya kemudian mengambil obat itu dan meminumnya. Kemudian perlahan ia memejamkan matanya. Menunggu obat itu bereaksi.Di sisi lain, Aryan yang menatap layar laptopnya terus menerus berpikir keras dengan kejadian tadi. Ia tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Hanya kejadian tadi yang terus berputar di pikirannya.Ia lalu mengetik dan mensearch. Dan ya dia sudah menemukan solusi. Ia tau harus bagaimana sekarang.***Hari sudah pagi, Fiya yang tengah memoles wajahnya tiba-tiba terkejut saat mendengar ponselnya berbunyi. Ia menatap layar ponsel itu."Pak Aryan?" Batin Fiya yang membaca nama di layar handphonenya. Segera ia menaruh lipstik nya dan mengangkat telponnya."Halo Pak?""Bapak udah di bawah?" Tanya Fiya yang terkejut karena Aryan yang sudah ada di bawah menunggunya untuk pergi ke kantor bersama-sama.Dengan cepat Fiya berkemas, dan mengambil tas nya. Ia dengan segera turun untuk menghampiri Aryan.Saat sudah sampai Fiya mengetuk pintu mobil Aryan. Tak lama itu Aryan membuka pintu dan Fiya langsung masuk."Kok tumben Bapak jemput saya?" Tanya Fiya yang terus terang."Hari ini first date kita.""Maksud bapak?" Tanya Fiya yang tidak percaya dengan apa yang Aryan katakan."Kita akan seharian berdua. Makan, main, semuanya apapun yang kamu mau," jelas Aryan."Buat apa Pak? Lalu bagaimana dengan pekerjaan saya?""Seperti yang kamu ucapkan semalam."Fiya makin tidak mengerti sekarang. Apakah maksudnya ia akan membuat Fiya suka pada Aryan? Apa itu mungkin?"Aryan lalu menancapkan gas nya. Sedangkan Fiya hanya bisa terdiam. Ia bingung harus bagaimana. Keadaan saat ini benar-benar membuatnya bingung harus bagaimana. Ia pun tidak punya keberanian untuk menolak.Perjalanan itu lumayan bagus. Karena pemandangan saat di perjalanan yang sangat indah membuat Fiya sangat menikmatinya. Pantai-pantai yang begitu indah. Dan jarang orang-orang yang berlalu lalang."Kita akan kemana Pak?" Tanya Fiya membuka suara.Tidak lama Aryan berhenti di suatu tempat makan. Tempat itu begitu sederhana, tapi saat itu pengunjung lumayan ramai. Sepertinya tempat itu lumayan populer di sana."Kita sarapan disini," ucap Aryan.Fiya lalu mengikuti langkah Aryan dan memasuki tempat makan itu. Ia memperhatikan tiap-tiap sudut tempat di sana. Sebenarnya ia cukup terkejut dengan Aryan yang mau makan di tempat seperti ini. Lebih terkejutnya penjual itu sudah hafal dengan wajah Aryan."Sekarang ngajak pacar ya Pak?" Tanya seorang nenek yang tidak begitu tua, tapi bisa di bilang sudah hampir. Terlihat dari rambutnya yang campur antara hitam dan putih.Mendengar hal itu Aryan hanya tersenyum tipis dan melihat ke arah Fiya yang pasrah. Mereka kemudian duduk di tempat yang telah di sediakan. Tidak lama itu makanan mereka sudah datang. Dari bau nya Fiya tidak bisa menyangkal bahwa ini terlihat sangat menggiurkan."Coba," ucap Aryan yang mempersiapkan Fiya terlebih dahulu untuk mencicipinya.Fiya lalu memakannya. Rasanya benar-benar enak. "Ini mie ayam yang paling enak saya makan," ucap Fiya sambil tersenyum. Kekesalan Fiya seperti langsung sirna karena makanan.Aryan hanya tersenyum tipis dan mulai makan mie ayamnya. Hanya suara dentingan sendok dan garpu di sana tentunya tidak lupa suara pengunjung lainnya yang begitu berisik. Tapi hal itu membuat suasana menjadi bagus bisa di bilang. Itu adalah suasana baru bagi Fiya.Setelah mereka singgah untuk makan, mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Hingga tiba saatnya di suatu tempat yang bisa di katakan seperti sekolah."Pak ini?" Tanya Fiya sambil melihat sekelilingnya."Itu," ucap Aryan sambil menunjukkan papan di dekat gerbang."Panti asuhan?""Ayo masuk," ucap Aryan yang diikuti Fiya dari belakang.Saat sampai di sana pengasuh panti asuhan itu langsung menghampiri mereka. Ia tersenyum begitu ramah dan begitu tulus.Mereka terlihat begitu akrab, sedangkan Fiya hanya menyimak hingga tiba-tiba anak kucing yang berwarna putih menghampirinya. Lalu di ikuti oleh anak kecil dengan rambut panjang sebahu.Fiya lalu mengambil anak kucing itu. Ia tentu sangat gemas melihat itu. Begitu lucu dan imut."Kakak siapa?" Tanya anak kecil itu."Ini kucing kamu?" Tanya Fiya balik."Iya. Kucing aku banyak," jawabnya. "Kakak mau liat?"Fiya kemudian melihat ke arah Aryan. Aryan lalu menganggukkan kepalanya. Ia membolehkan Fiya untuk pergi. Lagi pula ia harus membicarakan sesuatu dan ada urusan di panti asuhan itu.Fiya kemudian mengikuti langkah kaki anak kecil itu. Anak kecil itu begitu bahagia, senyum nya yang begitu indah terlukis.Sedangkan di sisi lain, Aryan yang melihat sosok berbeda dari Fiya terus memperhatikannya hingga Fiya sudah tidak lagi terlihat dari pandangannya."Pacarnya?" Tanya pengasuh itu.Aryan hanya tersenyum tipis. Ia bingung harus berkata apa."Cantik, sepertinya juga dia anak yang baik.""Bagaimana dengan perkembangan panti asuhan ini?" Tanya Aryan yang mengalihkan topik. Mereka kemudian saling berbicara sambil berkeliling ke panti asuhan itu. Karena sudah satu tahun lamanya ia tidak lagi ke sana karena ia yang sangat sibuk. Alasan lainnya juga adalah karena ia yang baru saja menjabat sebagai direktur di perusahaannya itu.Di tempat lain, Fiya yang tengah mengikuti langkah kaki anak kecil itu akhirnya sudah sampai. Di sana benar-benar ada banyak. Tapi masalahnya adalah bahwa yang banyak itu adalah boneka kucing. Bukan hewan. Hanya satu kucing yang asli."Ini punya kamu semua?" Tanya Fiya.Anak kecil itu menganggukkan kepalanya. Fiya hanya tertawa kecil. Kemudian ia melihat anak-anak yang di sana."Nama kamu siapa?" Tanya Fiya."Nama aku Rini kak.""Rini gak main sama mereka?" Tanya Fiya yang melihat anak-anak kecil sedang bermain bersama-sama. Sedangkan ia hanya seorang diri bersama boneka dan kucingnya.Rini hanya menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya begitu sedih. Fiya menjadi kasian terhadap Rini. Ia tau pasti saat ini Rini pasti kesepian."Kenapa? Mereka jahat?" Tanya Fiya sambil jongkok agar bisa saling menatap dengan Rini.Lagi-lagi Rini hanya bisa menganggukkan kepalanya. "Kata mereka aku anak yang aneh.""Aneh?" Tanya Fiya lagi. Ia melihat tidak ada keanehan dari Fiya. Lalu aneh dari mana?Fiya hanya tersenyum tipis. Mendapat perlakuan seperti ini membuatnya sedikit terharu. Rasa kangen yang selama ia pendam bisa di katakan sudah tercurahkan hari ini. Ya walaupun dia tidak tau kedepannya akan bagaimana. Setidaknya ia harus menikmati momen kekeluargaan ini. Saat Fiya memegang gagang pintu kamarnya ia menghela nafasnya. Saat terbuka ia tersenyum. Kamarnya masih begitu tersusun rapi seperti sebelumnya. Tidak ada perubahan sama sekali.Ia berjalan perlahan menyusuri kamarnya yang lumayan besar itu. Saat ia memasuki barang-barangnya pun tidak berubah. Baju-bajunya yang tergantung dengan rapi dan beberapa perhiasannya yang sangat ia sukai itu. Tidak lupa koleksi tas branded nya. "My favorit," ucap Fiya sambil memegang tas itu. "Udah lama kita gak jumpa," ucapnya lagi sambil memeluk tas itu. Setelah puas melihat suasana kamarnya, Fiya lalu tidur siang. Karena matanya entah mengapa sangat mengantuk. Sudah lama ia tidak tidur di kasurnya itu. Sekitar sore hari, suara ketukan
Mendengar bujukan lembut ibunya di depan pintu, hati Fiya sedikit melunak. Namun egonya masih menolak perjodohan tersebut. Ia masih ingin melanjutkan kuliah dan meraih cita-citanya tanpa terbebani pernikahan."Ma, aku mohon Mama bisa ngerti... Biarin aku kuliah dulu dan gapai mimpiku sendiri baru memikirkan soal menikah," ucap Fiya lirih."Tapi nak, perusahaan ayahmu sedang krisis. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkannya. Ayahmu bisa bangkrut kalau kamu menolak," bujuk sang ibu.Fiya menggeleng tegas meski ibunya tak bisa melihatnya. Ia sudah bulat tekad untuk kabur jika orangtuanya memaksa kehendak egois mereka. Demi cinta dan mimpinya, Fiya rela melawan arus keluarga demi prinsip hidupnya.Esok harinya saat orang tuanya sibuk, diam-diam Fiya kabur dari rumah. Ia pergi jauh ke luar negeri melanjutkan kuliah dan merintis karir tanpa bantuan keluarga. Memulai lembaran baru meski harus berjuang dari nol.Jujur saja saat ia kuliah ia sangat tersiksa. Apalagi hobi nya dulu adalah
"Kapan?" Tanya Aryan yang sepertinya sedang mencari kesempatan untuk semakin dekat dengan Fiya. "Saya siap kapan aja!" Fiya kemudian menaikkan bola matanya ke atas sambil memikirkan kapan ia akan sempat. "Gak tau, nanti ada deh saya kabarin. Tunggu gak ada kerjaan," balas Fiya. "Baik kalo gitu. Saya tunggu," ucap Aryan. Mereka pun mengakhiri makan malam itu dengan janji manis untuk belajar keterampilan baru bersama. Baik Fiya maupun Aryan sama-sama menantikan momen menyenangkan itu kelak. Tidak lama itu Aryan lalu pamit untuk pulang. Fiya mengantarnya sampai pintu apartemennya sambil melambaikan tangannya. "Hati-hati Pak," pesan Fiya. Aryan hanya tersenyum dan kemudian membalas lambaian tangan itu. Karena terlalu senang Fiya sampai lupa, bahwa ia harus membahas tentang pengunduran dirinya. Bagi Fiya pengunduran dirinya itu adalah tekad yang bulat. Dia sudah lelah, walaupun keadaan mereka yang sekarang seperti ini. Tapi seti
Aryan tidak bisa berhenti memikirkan kejadian yang menimpa Fiya. Ia sangat geram pada Riani yang telah melukai Fiya, tapi di sisi lain ia juga tidak ingin bertindak gegabah.Akhirnya Aryan memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang Riani dan motif di balik tindakannya. Ia mencari informasi dari rekan-rekan kerjanya dengan hati-hati tanpa menyinggung soal insiden itu.Dari hasil penyelidikannya, Aryan mengetahui bahwa Riani memang terobsesi padanya. Riani iri pada kedekatannya dengan Fiya dan ingin memiliki Aryan untuk dirinya sendiri. Tindakan Riani melukai Fiya didorong oleh cemburu dan sakit hati.Setelah mengumpulkan fakta-fakta itu, Aryan bimbang harus berbuat apa. Di satu sisi ia ingin memberi pelajaran pada Riani agar jera. Tapi di sisi lain, ia juga kasihan pada Riani yang termakan obsesi butanya.Akhirnya Aryan memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini baik-baik dengan kepala dingin. Ia akan berbicara empat mata dengan Riani, membu
Aryan mengangguk dan duduk di sebelah Fiya. Ia memandangi Fiya yang lahap menyantap buburnya. Senyum tipis mengembang di wajah Aryan. Ia turut bahagia melihat Fiya sudah mulai sehat dan bertenaga lagi."Habiskan buburnya ya. Nanti minum obat lagi biar benar-benar sembuh," pesan Aryan lembut. Fiya mengangguk sambil tersenyum manis. Mereka pun menghabiskan sore itu dengan mengobrol ringan di sela-sela Fiya menikmati bubur buatan Aryan.Saat malam hari datang, Aryan masih setia menemani Fiya di apartemennya. Tapi dengan kondisi Aryan yang sibuk menatap laptopnya. Begitu juga dengan Fiya, bedanya ia sedang mengecek beberapa dokumen. "Udah, satu dokumen aja. Kamu istirahat aja," ucap Aryan lalu mengambil kertas dari tangan Fiya. "Gak apa-apa Pak, saya udah enakan kok. Kalo kerjaan gini saya bisa," ucap Fiya lalu mengambil kembali kertas itu. Ia tau bahwa Aryan sedang kewalahan saat ini. Karena begitu banyak pekerjaan saat ini. "Kalo kamu sa
Fiya bingung harus menjawab apa. Karena jika di tanya seperti itu ya sekarang dia tidak memiliki siapapun itu. Orang tua saja sudah tidak peduli dengannya. Apalagi teman. Zaman sekarang sangat susah untuk mencari teman, apalagi kondisi Fiya sekarang yang bisa di katakan biasa saja. Tapi sudahlah lagi pula ia tidak ada waktu untuk untuk hal itu. Sejak enam bulan yang lalu fokus Fiya adalah pada pekerjaannya. "Bapak kalo ada kerjaan ke kantor aja," ucap Fiya sambil menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut hingga hanya tersisa kepalanya saja. "Luka kamu udah di kasih salep?" Tanya Aryan sambil memperhatikan luka-lukanya. "Udah." "Kapan?" "Semalam." "Dimana salepnya? Biar saya kasih," ucap Aryan hendak pergi untuk mengambil salep itu. "Di toilet," ucap Fiya. "Samping dapur," tambahnya lagi. Aryan lalu segera pergi ke toilet dan mengambil salepnya. Saat datang ia segera mengoleskan krim itu pada waj