Murni menatap Bian. Ia sudah tidak sabar lagi, menanti uang yang dijanjikan Bian beberapa waktu yang lalu, berada di tangannya sore ini. "Aku ... batalkan perjanjian itu." Jawaban Bian sontak membuat Murni berteriak tidak terima. "Apa!!! Tidak! Kau tidak boleh membatalkan janjimu! Kau sudah berjanji padaku untuk memberikan uang itu, hari ini. Kau tidak bisa membatalkannya!" Murni berteriak-teriak tidak terima. "Kakak ipar!" bentak Bian mengingatkan. Reaksi Murni sungguh diluar sangkaan Bian. "Mengapa kakak jadi kesetanan seperti itu? Aku berhak membatalkannya, karena hal itu bisa merusak hubunganku dengan Kiya." "Tetap tidak bisa! Kau seharusnya sudah tahu resiko itu sejak awal. Seharusnya kau sudah tahu akan seperti apa Kiyara, tapi nyatanya kau tetap saja memberikan uang itu kepada kami! 'Memberikan?' Bian menatap Murni. "Aku tidak pernah berniat untuk memberikan uang-uang itu kepada kalian. Akadnya sudah kuperjelas dari awal, bahwa itu berupa pinjaman atau hutang, bukan pembe
"Mau kemana?" Bian menghadang Kiyara yang sudah menyeret koper dan mengenakan tas ranselnya. "Pergi." Kiyara tidak ingin berpanjang-panjang menjawab pertanyaan Bian. "Pergi kemana? Rumah kamu di sini, bukan di tempat lain." "Ini bukan rumah Kiya lagi." "Maksud kamu apa, Kiya?" Bian sudah mulai terpancing. "Tidak ada apa-apa. Tolong biarkan Kiya pergi. Kiya sudah tidak ada tempat lagi di sini." "Jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu tetap di sini dan tidak boleh keluar sejengkal pun!" Kiyara tertawa sumbang. Wanita itu menatap Bian dengan tatapan nanar. Bian merasa sangat asing dengan istrinya saat ini. Tanpa disadari Kiyara, bulir air mata sudah terbentuk di kedua sudut matanya. "Kiya...." Bian melunak. Ia tersadar ketika buliran itu mulai jatuh membasahi pipi istrinya. Pria tampan itu berjalan mendekat. Tangan kanannya terulur ke depan berusaha menyentuh bahu Kiyara, tapi Kiyara dengan cepat menepisnya. "Kiya..." Bian terkejut dengan sikap dingin Kiyara. "Ada apa? Apakah aku
Kiyara menggeliatkan tubuhnya. Matanya terasa sangat berat dan lengket. Ia membuka kedua matanya dengan susah payah. Diambilnya cermin kecil yang kebetulan tergeletak di meja di sampingnya. Ia menemukan keduanya bengkak. Kiyara bergegas pergi ke dapur, mengambil semangkuk air hangat untuk mengompres matanya. Suara gemericik air dari kamar mandi membuat Kiyara mempercepat langkahnya, kembali ke kamarnya. Ia melirik jam dinding yang ada di dapur. Jarum jam berhenti di angka 2, dan itu membuat Kiyara semakin mempercepat langkahnya. Ia langsung bersembunyi di balik selimut, dan berusaha memejamkan kembali kedua matanya. Pintu kamarnya dibuka dari luar. Aroma segar menguar menembus penciuman Kiyara. Kiyara berusaha tenang. Ia diam tak bergerak, dan berusaha mempertajam pendengarannya. Bagian kanan kasur yang ia tiduri, melesak ke dalam, dan itu membuat tubuh Kiyara mengirim peringatan ke seluruh tubuhnya. Ia ingin istirahat, dan tidak mau diganggu siapa pun. Hati dan perasaannya yang l
Murni membolak-balikkan amplop putih yang disodorkan Bian. Alisnya berkerut dan nyaris saling bertautan satu dengan yang lain. "Apa ini?" Ia menatap Bian, mencoba mengabaikan Kiyara yang menyeruput jus alpukat yang baru saja dihidangkan pelayan. Sayangnya, ia tidak berhasil. Sudut matanya justru terus mencuri-curi pandang ke arah Kiyara. Iparnya yang imut dan cantik. "Maaf. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu." Kata-kata Bian menusuk hati Murni, membuat wanita itu panik. "Bagaimana bisa? Kamu sudah berjanji padaku akan mengabulkan permintaanku hari itu. Dan itu-itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. " Murni ngotot. Ia sudah kepalang basah mengharapkan pinjaman Bian. "Aku salah. Seharusnya aku tidak menyetujui permintaanmu begitu saja." "Tidak bisa! Kamu harus tetap melakukannya." seru Murni dengan nada tinggi dan memaksa. Kiyara masih diam di tempatnya. Isi gelasnya tinggal separuh. Ia memutar sedotannya searah jarum jam sesuka hatinya. Belum ada niatnya untuk bergabung dala
"Apa yang bisa kamu berikan untuk Kiyara dan anakmu, hah? Membiayai hidupmu sendiri saja kamu tidak mampu, malah sok-sokan menolak bantuan kami." Suara Ardi menggelegar, memecah kesunyian malam. Bian hanya duduk diam. Tidak ada sedikit pun niatannya untuk menjawab sekian banyak cercaan dan makian, yang keluar dari bibir tebal iparnya itu. Sedangkan Kiyara, wanita yang telah menemaninya berjuang selama 10 tahun terakhir, diam membisu, sambil sesekali mengusap airmatanya yang mulai mengalir turun dari sudut matanya. "Mana usahamu yang berhasil? Dari sekian banyak rencana dan ceritamu yang setinggi awan, tidak ada satu pun yang berhasil. Tidak ada harta benda yang bertambah, tapi malah berkurang untuk menutupi semua hutang-hutangmu." Ardi lalu diam sejenak, mencari asupan oksigen dan tenaga setelah dirinya meluapkan semua amarah dan kekesalan pada adik iparnya itu. Ia kemudian melanjutkan perkataannya. "Ini adalah tawaran terakhir dari kakak-kakak Kiyara. Daripada anak dan istrimu mati
Kiyara mulai mencuci beras yang hendak ia olah menjadi bubur. Sesaat sebelum menyalakan kompor gas, ia memperhatikan indikator gas yang nyaris menyentuh garis merah. Badannya langsung merasa lemas. Jangan dulu, Tuhan. Jangan habis dulu. Ijinkan aku memasak bubur ini untuk makan malam suami dan anakku, bisik Kiyara sambil sedikit terisak.Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop kompor gas. Matanya terpejam sebelum akhirnya bunyi klik terdengar. Ia membuka kedua matanya dengan perlahan. Api biru menyala, menjilat-jilat pantat panci yang berisi air dan beras yang sudah ia beri bumbu sebelumnya. Diaduknya perlahan sambil bibirnya tak henti-hentinya merapal doa, berharap bubur itu matang sebelum akhirnya kompor itu mati.Suara ketukan mengejutkannya. Ia buru-buru membukakan pintu, karena ia tahu jam-jam ini adalah waktu Bian pulang dari berkeliling menjual produknya. Wajahnya langsung ia tata sedemiki
Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya. "Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya. Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing. 'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku sebuah boneka? Apaka
Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati."Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya."Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-