Share

Part 4 : Nenek Setan

Martabak Setan

 

Part 4 : Nenek Setan

 

"Zil, pulang aja yuk!" rengek Ulan sambil menarik ujung baju Zilga.

 

"Iya, Zil. Pulang aja yuk! Lo gak berniat masuk ke gubuk tua itu, kan?" timpal Hilda tak kalah takutnya dengan Ulan.

 

"Jadi pulang nih? Terus kita gak dapat apa-apa dong?" jawab Zilga dengan tak mengalihkan pandangan dari gubuk reot didepannya.

 

"Besok siang sepulang sekolah, baru kita ke sini lagi. Sekarang pulang saja dulu," bujuk Hilda lagi sambil memegangi tengkuknya yang merinding sejak tadi."

 

"Please, Zil. Pulang yuk! Gue belum siap mati dan dijadikan cincangan untuk martabak setan, gue masih mau menikmati masa indahnya pacaran sama Yoga dan Adit. Gue gak mau kedua cowok ganteng itu menjadi duda sebelum menikah sama gue, hiks .... " oceh Ulan sambil mengelap air mata yang mulai berjatuhan di pipi bulatnya.

 

"Ya elah, cowok saja di pikiran lo, Lan. Makin merinding gue," ujar Hilda menyikut Ulan.

 

Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan senjata dari dalam gubuk tua itu, sontak Zilga berserta Ulan dan Hilda berlari tunggang langgang meninggalkan gubuk itu.

 

Hanya cahaya bulan yang menerangi ketiganya dalam gelap malam didalam hutan, sambil terus bergandengan tangan mereka terus berlari.

 

Dan ketika sampai ditepian jalan, mereka malah dikagetkan benda putih yang melintas.

 

"Aggghhh!!!" jerit ketiganya histeris.

 

"Woy, ini gue ... Fitri!" jerit Fitri sambil membuka mukenanya. "Ngapain lo bertiga di sini, malam-malam begini lagi?"

 

"Lo juga kenapa kayak pocong begitu, mau menakut-nakuti kita, apa?" sergah Ulan sambil memegangi celananya yang basah.

 

"Gue baru pulang sholat magrib di masjid." Fitri merengut dan naik ke motornya kembali. "Sebaiknya kalian semua segera pulang!"

 

"Ya sudah, ayo pulang!" Zilga naik ke motornya.

 

"Duh, Zil. Ulan pipis di celana tuh, bau pensing deh motor gue." Hilda memencet hidungnya.

 

"Ya sudah, buruan ah!" Zilga melajukan motornya menuju pulang, diikuti Hilda dan Ulan.

 

Fitri tersenyum sinis menatap kepergian ketiga teman sekelasnya itu.

 

********

 

Keesokan harinya, Zilga sedang merenungkan kejadian tadi malam sambil mengingat lokasinya. Rencananya sepulang sekolah, ia akan mengajak Ulan dan Hilda untuk ke sana lagi. Hari ini di sekolah sudah acara classmeting, karena ulangan telah selesai dilaksanakan. Ia berjalan keluar dari kelas dan mendapati kedua temannya sedang asyik berpacaran di bangku taman.

 

"Yaelah, malah asyik pacaran. Entar batal puasanya," sergah Zilga sambil berdiri dihadapan kedua pasangan itu.

 

"Yeeee, cuma duduk doang, masa batal." Hilda menarik tangan dari genggaman Rafli, pacarnya.

 

"Iya, nih. Gak ngapa-ngapain juga," timpal Ulan sambil menggeser duduknya dari Adit.

 

"Cabut yuk ah, Dit!" Rafli bangkit dari kursi dan melemparkan senyum pada Hilda. "Sampai ketemu nanti sore, Yank."

 

Hilda membalas senyum sang pacar dan melambaikan tangan.

 

"Beb, gak usah bawa takjil nanti sore. Ulan yang akan siapin." Teriak Ulan pada Adit.

 

Adit mengacungkan jempol dan berlalu bersama Rafli.

 

Zilga hanya menautkan alis menyaksikan adegan romantis-romantisan kedua temannya itu.

 

"Lo jangan sampai gak datang acara bukber nanti sore, Zil," ujar Hilda seolah tahu kalau temannya yang jomblo itu tak mengingat acara bukber hari ini.

 

"Oh, iya. Gue sampai lupa. Terus rencana kita mau ke lokasi tadi malam gimana?" Zilga menatap bergantian kedua temannya.

 

"Aduh, Zil. Besok saja kali ya, pulang sekolah ini gue mau bikin kue buat acara bukber." Ulan mencoba mengelak.

 

"Sama, gue juga gak bisa kalau hari ini. Mau nemanin nyokap belanja, sorry ya, Zil." Hilda menangkupkan kedua tangan di depan dagu.

 

"Oke deh, gue terima semua alasan kalian. Berarti besok ya, awas saja kalau mungkir." Zilga mengerucutkan bibir dan meninggalkan kedua temannya.

 

Hilda dan Ulan saling pandang, sambil menelan ludah dengan tampang ngeri.

 

********

 

Acara buka puasa bersama pun tiba, semua siswa-siswi berkumpul di masjid sekolah. Setelah mendengarkan tausyah Pak Ridho, sang guru Agama. Semuanya mengeluarkan bekal takjil masing-masing. Beduk buka puasa berbunyi, saatnya berbuka puasa telah tiba. Setelah membaca doa buka puasa, semuanya tersenyum dan menyantap perbekalan masing-masing.

 

Zilga celingukan, mencari sosok kakak kelas yang sedari tadi belum dilihatnya. Ia beranjak menuju kelas, hendak mengambil mukena. Hilda bersama Ulan mengikutinya dari belakang serta Adit dan Rafli.

 

Langkah Zilga terhenti kala melewati kelas Kak Dimas, cowok itu sedang tertunduk sambil menyantap sesuatu.

 

"Kak Dimas," Zilga menghampinya.

 

"Eh, Zilga." Dimas beranjak bangkit dari duduknya dengan sedikit kaget.

 

"Kakak ngapain sendirian di sini? Kok gak ngumpul di masjid bersama yang lainnya?" Zilga menatap kotak martabak di meja Dimas. "Kak Dimas makan martabak setan?"

 

"Eh, iya, Zil. Tadinya mau buka bersama kamu, tapi gak tahu juga kenapa? Kak Dimas menjadi ketagihan sama ini martabak, enaknya nagih gitu. Dan gak bisa berhenti memakannya," jawab Dimas sambi mengelap tangannya.

 

"What? Kak Dimas menghabiskan semua martabaknya?" seloroh Fitri yang tiba-tiba sudah berada diantara mereka.

 

"Gak habis sih, sisa satu lagi. Hehe .... " Dimas menggaruk kepala.

 

"Astaga, jadi Kak Dimas makan sembilan biji? Itu angka ganjil yang akan membawa kesialan," ujar Fitri lagi.

 

"Maksud lo apa, Fit?" Zilga menatap tajam mata cewek ceking itu.

 

"Martabak Setan ini, kalau di makan dalam jumlah ganjil ... maka kalian akan menerima kesialan. Kalau di makan sampai habis tak bersisa, kalian akan diambil menjadi tumbal selanjutnya. Dan ... kalau di makan dalam jumlah genap, maka kalian selamat." Fitri menjelaskan dengan suara setengah berbisik.

 

"Apa?" Hilda yang sedari tadi hanya berdiri di depan pintu kelas saja, ikut menghampiri Fitri.

 

"Maksudnya gimana sih? Kak Dimas gak ngerti deh," wajah Dimas menjadi pucat.

 

"Apa benar begitu, Fit?" Zilga mengerutkan dahi sambil membayangkan kejadian yang dialami Saskia, ia memakan tujuh biji martabak dan setelah itu mengalami kecelakan sehingga menyebabkan koma.

 

"Benar dong, tapi kalau kalian gak percaya, ya sudah." Fitri meninggalkan kelas dan berjalan menuju masjid.

 

"Jadi, Kak Dimas harus gimana, Zil?"

 

"Kak Dimas hati-hati saja dan semoga ucapan Fitri tidak benar. Sebaiknya kita segera ke masjid, sholat magrib berjamaah dulu."

 

********

 

Pulang dari acara bukber, Zilga langsung menuju ke rumah sakit. Ia akan tidur di sana, menemani Mamak menjaga sang Kakak. Baru saja ia hendak memejamkan mata hendak, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari Hilda.

 

"Assalammualaikum, ada apa, Hil?" ujar Zilga dengan mata setengah terpejam.

 

"Waalaikumsalam. Zil, Kak Dimas, Zil ... "

 

"Kak Dimas kenapa?" Zilga langsung terbangun.

 

"Kak Dimas jadi korban begal," ucap Hilda dengan suara ngos-ngosan.

 

"Di mana, Hil? Dan kapan?"

 

"Tadi, pas pulang acara bukber.  Kak Dimas luka parah, banyak bacokan senjata tajam di sekujur tubuhnya."

 

"Lo tahu darimana, Hil?" Hatinya menjadi bimbang.

 

"Karena ... gue, Rafli, Ulan dan Adit yang menemukan Kak Dimas yang terkapar di tengah jalan. Pas kami datang, para pembegal itu langsung kabur dan membawa motor Kak Dimas juga," ujar Hilda dengan suara parau. "Ucapan Fitri menjadi kenyataan, Zil. Bagaimana ini? Ternyata tadi Rafli cowok gue juga makan martabak setannya, tapi dia lupa jumlah hitungannya," sambung Hilda lagi sambil terisak.

 

"Apa, Hil, jadi ... Kak Dimas kecelakaan .... " Zilga merasakan tubuhnya gemetar, apa yang ia takutkan begitu cepat terjadi. Padahal belum lama Dimas memakan martabak itu, tapi sudah mendapat kesialan.

 

"Gimana ini, Zil? Gue takut Rafli juga akan mengalami kesialan seperti yang dialami Kak Dimas .... " Hilda semakin cemas dan takut, ia begitu mengkhawatirkan sang kekasih, Rafli.

 

"Lo harus tenang, Hil, jangan panik! Gue juga sedih atas apa yang sudah menimpa Kak Dimas." Zilga berusaha menahan tangis, sebab ia ingin terlihat tegar atas ujian bertubi pada orang-orang yang ia sayangi.

 

Zilga mengakhiri panggilan telepon dan menyimpan ponsel di bawah bantal. Dadanya masih terasa sesak atas kabar yang disampaikan Hilda barusan.

 

"Ya Allah, kemaren Kak Saskia celaka gara-gara memakan martabak setan itu dalam jumlah ganjil, sekarang Kak Dimas. Besok entah siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya? Nandu anaknya Mbak Minah pasti menghabiskan seluruh martabak itu, makanya dia di bawa si Nenek Setan." Zilga membatin, ia jadi tak bisa berpikir dengan jernih. Segala perasaan jadi campur aduk, antara sedih, bimbang dan bingung.

 

*******

 

Zilga mengendap-endap di balik pepohonan sambil berusaha mengintip seorang Nenek yang sedang sibuk didalam gubuknya. Suara teriakan demi teriakan terdengar memilukan dari gubuk itu, ada jeritan wanita, tangisan anak kecil dan jeritan seorang pria minta tolong. Sepertinya sang Nenek sedang menyiksa mereka. Begitu pikir gadis itu.

 

Kini ia telah berhasil menyelusup kedalam gubuk yang dari luar terlihat kecil, tetapi ketika masuk ke dalamnya sangat luas. Sungguh gubuk yang sangat aneh.

 

Dan benar saja dugaan Zilga, seorang anak kecil sedang tergantung dengan kaki di atas dan kepala dibawah. Dan seorang pria sedang terbaring di meja panjang dengan kaki tangan terikat. Sang Nenek menghampirinya dengan membawa pisau besar dan tajam. Dan mengayunkannya keatas.

 

"Aggghhhh!!!" Zilga menjerit histeris kala melihat kepala sang pria terpisah dari tubuhnya.

 

Sang Nenek berkebaya hitam menoleh kearah Zilga sambil tersenyum lebar dengan menunjukan gigi-gigi hitamnya. Kemudian mengangkat pisau berlumur darah dan berjalan mendekat kepadanya.

 

Zilga mundur ke belakang dan ingin berlari tapi kakinya kelu tak bisa digerakan.

 

"Mau ke mana kamu? Kini giliran kamu yang menjadi bumbu penyedap martabakku, hihihiii .... " Si Nenek semakin mendekat kepada Zilga dan siap mengangkat pisau berlumur darah itu. Tetesan darah di pisau tepat menetes di dahinya. Zilga semakin histeris dengan napas naik turun menahan takut.

 

"Zil, bangun! Sudah jam 03.30, sahur yuk!" Suara Mamak terdengar samar-samar di telinganya.

 

"Zil, bangun, Nak!" Mamak menggoyang pundak sang putri bungsu.

 

"Aggghhh!!!" Zilga langsung terduduk dengan keringat bercucuran.

 

"Mimpi buruk lagi, Zil?" Mamak menatapnya.

 

Zilga mengangguk sembari mengelap keringat di dahinya dengan tangan kanan, namun keringat ini sepertinya agak aneh. Seperti cairan kental, perlahan ia menurunkan tangan dan matanya terbuka lebar mendapati darah segar di telapak tangan.

 

"Astaga, tadikan gue mimpi. Tapi, kok darah yang menetes dari pisau sang Nenek seperti nyata?" Zilga membatin dengan bulu kuduk merinding.

 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status