Share

Part 3 : Potongan Jari

Martabak Setan

 

Part 3 : Potongan Jari

 

"Elo percaya Zil, kalau Fitri itu indigo?" Hilda memutar bola mata sambil mengangkat bahu.

 

"Ehm, tahu deh. Ya sudah, ayo masuk!" Zilga membalikan tubuh.

 

Tiba-tiba saja, Ulan datang mencegat mereka dari depan kelas. "Eh, guys ... Lihat deh penampilan gue!" Ulan yang bertubuh mentok itu berputar-putar di depan Zilga dan Hilda, dengan mata merem melek.

 

"Apaan sih, Lan? Penampilan elo tetap sama kayak kemaren, tetap semok," ujar Zilga sambip menahan senyum.

 

Hilda tergelak, "Haha, betul itu."

 

Ulan menghentakan kaki sebal dan berkata, "Masa gak bisa bedakan sih gue yang hari ini sama gue yang kemaren?" Dia mengerling jahil sambil merem melek.

 

Zilga mendekati wajah Ulan dan berkata, "Gak ada yang beda kok, wajah lo masih saja bulat kayak bakpau. Haha."

 

"Iya tuh, wajah masih saja hitam biar sudah memakai sekarung pemutih juga. Body tetap saja overload, menurut gue juga Ulan yang hari ini sama saja dengan yang kemaren masih sama saja," timpal Hilda.

 

Ulan merengut, lalu bersungut, "Nyebelin banget sih elo berdua. Coba perhatikan bulu mata gue? Ada yang beda gak? Gue kan baru abis Eyelash Extantation."

 

"Oh gitu, oke deh. Cantik kok," ucap Zilga sambil ngeloyor masuk ke kelas. Hilda juga mengikuti langkahnya. Ulan menatap sebal kedua temannya itu.

 

Selama jam ulangan, Zilga tidak bisa berkonsentrasi. Pikiran selalu tertuju pada mimpinya semalam, ia memutar otak mencari cara pemecahan masalah ini.

 

Sepulang dari sekolah, Zilga sengaja mampir ke warung takjil Nurhana.

 

"Mau beli apa, Dek?" sapa seorang penjaga laki-laki.

 

Zilga mengedarkan pandangan ke seluruh warung, ia ingin menemui Mbak Minah.

 

"Cari siapa, Dek?" tanya penjaga warung.

 

"Mbak Minah mana, Bang?"

 

"Oh, Mbak Minah gak masuk. Sedang mengurus laporan ke Polisi tentang kehilangan anaknya," jawab si Abang penjaga warung.

 

Zilga manggut-manggut sambil mengamati aneka takjil yang di pajang di meja etalase panjang. Matanya menyipit menatap 'martabak setan' yang begitu menggoda selera. Dari tampilan bentuknya saja sudah cantik, warna coklat muda dengan bentuk segiempat. Aroma wanginya membius indara penciuman, ia semakin mendekat mengamatinya.

 

"Kenapa, Dek? Mau beli martabak setan, ya?" tanya Abang warung.

 

Deggggg, Zilga terperanjak dan kemudian cepat mengucap Istighfar.

 

"Buruan Dek, kalau mau beli! Jam 14.00 sudah habis lhoh, martabak setan menjadi kegemaran untuk santapan pas berbuka nanti. Banyak peminatnya jajanan ini."

 

"Ehm, saya gak mau beli, Bang. Oh ya, Abang tahu gak alamat rumah Nenek yang bikin martabak ini?"

 

"Alamat rumahnya? Abang gak tahu, Dek. Sepertinya dia bukan warga kampung kita, gak tahu juga orang mana."

 

"Namanya tahu gak?"

 

"Namanya Mak Ude Sobel, begitu sih catatan di buku penitipan kue."

 

"Oh," wajah sang Nenek yang tempo hari tersenyum menyeramkan itu kembali terlintas diingatan Zilga. Gigi yang hitam dengan mata cekung dan kulit wajah hitam mengeriput. Berbaju kebaya dengan bawahan kain serta kerudung yang di selepangkan saja.

 

"Oh iya, dia ke sini mengambil uang hasil penjualannya jam berapa, Bang?" tanya Zilga lagi.

 

"Jam 17.00 gitu, sebelum warung tutuplah."

 

"Ya sudah, makasih infonya. Saya permisi," Zilga kembali ke motornya dan segera pulang.

 

********

 

Ketika menginjakan kaki di rumah, Zilga merasakan aura yang tidak enak menyelimuti rumah itu. Di lantai berceceran martabak yang sudah tidak utuh lagi, isi dan kulitnya berserakan ke mana-mana.

 

"Astaga, ini pasti ulahnya Si Nabil, kucing kesayangan Kak Saskia. Sudah gue buang juga, masih aja diambil lagi." Zilga segera meraih sapu dan membersihkan rumah.

 

Dari ruang tamu hingga dapur, penuh serpihan martabak. Dan ketika sampai di pelantaran pencucian, si Nabil tergeletak di dekat pintu kamar mandi. Zilga segera mendekatinya dan mengelus binatang berbulu halus itu. Tapi tubuh si Nabil sudah kejang tak bernyawa.

 

"Astaga!" Zilga memundurkan tubuhnya dan menatap si Nabil dengan terkejut.

 

Di sekitar tubuh Nabil juga di penuhi serpihan martabak dan ketika Zilga mengangkat tubuh kucing itu. Ada potongan jari tangan tersembul dari potongan martabal yang tercecer di dekat tergeletaknya Nabil tadi.

 

"Astaghfirullahal'azim," ucap Zilga dengan tubuh bergetar, jantungnya berdegup kencang.

 

Zilga meletakan tubuh Nabil ke dalam baskom. Kemudian mendekati martabak yang berisi jari tangan, ia ingin memastikan penglihatannya. Dengan menggunakan sapu, ia mengorek martabak itu. Dan benar saja, ada potongan jari tangan diantara serpihan isi martabak itu.

 

"Ya Allah, jari tangan siapa ini?" ucap Zilga dengan suara gemetar menahan takut. Napasnya naik turun, ia terduduk di meja makan. Berusaha menguasai ketakutannya. Dengan sambil membaca semua doa yang dia hafal.

 

Zilga mengumpulkan semua keberanian, ia meraih potongan jari itu dengan menggunakan tisu dan kemudian memasukannya ke dalam baskom bersama Nabil. Kemudian membersihkan rumah, setelah itu mengepelnya juga. Lalu membawa mayat si kucing yang bernama Nabil dan menguburnya dibelakang rumah.

 

Keringat bercucuran di tubuh gadis remaja itu, ini kali pertamanya ia memegang cangkul dan membuat kuburan untuk si Kucing kesayangan sang Kakak. Ia menahan rasa lelah, kemudian meraih handuk dan segera mandi.

 

********

 

Pukul 15.00, Zilga memacu motornya menuju rumah sakit. Sekantong gorengan, dua botol minuman dingin serta nasi dan lauk untuk ia berbuka puasa dengan Mamak tak lupa dibawa.

 

"Mak, Zilga ada urusan sebentar. Nanti pas udah mau buka puasa, balik ke sini lagi," ucap Zilga pada Mamak sembari mengulurkan sekantong besar makanan dan minuman.

 

"Emang mau ke mana, Zil?"

 

"Ada urusan dikit Mak, sama Hilda dan Ulan. Zilga berangkat, ya." Setelah mencium punggung tangan sang Mamak, Zilga langsung meninggalkan ruangan Saskia dirawat.

 

"Hil, elo sama Ulan di mana?" Zilga berbicara dari ponselnya.

 

"Eh, Ulan lagi di rumah gue. Emang ada apa, Zil?" jawab Hilda dari seberang sana.

 

"Buruan bersiap! Gue tunggu di rumah, 15 menit lagi elo berdua harus sudah ada di rumah gue, ya!" Zilga mematikan ponsel dan bergegas naik ke motor. Ia memutar motor dan menuju kembali ke rumah.

 

*********

 

Pukul 16.00, Zilga bersama Ulan dan Hilda sedang pura-pura berhenti depan rumah yang bersebelahan dengan warung takjil Nurhana. Dengan tak turun dari motor masing-masing, mereka sibuk dengan ponsel. Sambil sesekali mengamati pengunjung di warung tersebut.

 

Setelah satu jam menunggu, yang ditunggu pun tiba. Seoarang Nenek tua yang berjalan sedikit membungkuk masuk kedalam warung. Itulah Nenek yang bernama Mak Ude Sobel si pembuat martabak setan. Setelah mengambil uang hasil penjualan, sang Nenek berjalan menuju pulang. Dengan berjalan kaki saja, Mak Ude Sobel memasuki gang kecil dan berjalan lurus kedepan. Kemudian melewati jalan setapak di samping kawasan pemakaman Umum, dan berjalan lurus.

 

Secara diam-diam, Zilga beserta dua temannya yaitu Hilda dan Ulan mengikuti sang Nenek dari belakang. Sore mulai berganti gelap, adzan magrib mulai berkumandang tapi si Nenek masih terus berjalan.

 

"Zil, udah adzan magrib nih. Udah saatnya buka puasa, laper ... " rengek Ulan dengan mata merem melek. Maklum, semenjak bulu matanya bertambah, ia tak bisa melek lama-lama.

 

Hilda yang membonceng Ulan, menyikutnya dari belakang. "Dasar gendut, tahan dikit napa?"

 

"Sttttt, jangan berisik!" Zilga makin memperlambat laju motornya.

 

Kemudian sang Nenek berbelok ke arah hutan dan berjalan terus.

 

Ketiga teman itu memarkir motor mereka di pinggir jalan setapak itu dan kemudian mengikuti sang nenek masuk ke dalam hutan. Hanya berbekal sentar di ponsel, mereka terus menyusuri Hutan. Dan tiba-tiba saja, sang Nenek menghilang.

 

"Eh, tuh Nenek menghilang, guys." Hilda menjerit ketakutan.

 

"Eh, kita kok bisa ada di tengah hutan begini?" Ulan celingukan.

 

"Stttt, jangan berisik, guys! Kita sudah terlanjur berada di sini, jadi kita harus tahu rumah si Nenek Setan. Tenang, dalam hati tetap ucapkam Asma Allah. Pikiran kalian jangan sampai kosong. Insyallah, kita akan baik-baik saja." Zilga menenangkam kedua temannya.

 

Zilga masih mengarahkan sentar di ponsel ke segala arah, mencari sosok Nenek yang telah menghilang ditelan gelap. Dari kejauhan, terlihat sebuah cahaya penerangan dari arah sebelah barat sana. Zilga melangkahkan kaki mendekati arah cahaya, diikuti Hilda dan Ulan yang sambil memegangi ujung baju Zilga karena menahan takut. Sebuah rumah kecil berdinding dan beratapkan bambu berdiri tak jauh dari mereka. Rumah terlihat angker, dengan semak belukar menghiasi dari dinding sampai ke atap. Rumah itu sudah tidak layak huni, tapi ada secercah cahaya dari dalamnya. Mungkinkah itu rumah Nenek yang bernama Mak Ude Sobel itu?

 

Betsambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ivluv_ur
bagus bgt sampe sini aja udh merunding bgttt ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status