Martabak Setan
Part 5 : Menghilangnya Rafli
Setelah pulang dari sekolah, Zilga bersama Hilda dan Ulan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Dimas. Rafli dan Adit juga ikut ke sana, mereka mengiringi ketiga gadis itu dari belakang.
Tetapi, ketika sampai di ruang perawatan Dimas, mereka tidak diperbolehkan masuk karena keadaan pasien masih kritis.
"Makasih ya sudah menjenguk Dimas, nanti kalau keadaan Dimas sudah stabil, Tante akan sampaikan padanya kalau ada kalian ke sini," ucap Mamanya Dimas dengan wajah penuh kesedihan.
"Tante yang sabar, ya! Semoga Kak Dimas cepat sembuh," ujar Zilga dengan raut wajah prihatin.
Setelah berbincang-bincang sebentar, Zilga dan teman-temannya pamit pulang.
"Pulang ini kita langsung ke lokasi kemarin ya, guys." Zilga naik ke motor sambil menatap kedua pasangan belia itu.
Ulan menggigit bibir sambil saling pandang dengan Hilda.
"Emang mau ke mana?" Adit menoleh Ulan yang duduk di boncengan belakang.
"Rumah nenek si pembuat martabak setan, Beb," jawab Ulan sambil meringis karena teringat kejadian tempo hari.
Beberapa saat kemudian, Zilga cs sudah sampai di jalan setapak tepi hutan.
"Ayo, guys!" Zilga melepas helmnya dan memberi isyarat kepada empat temannya itu.
"Zil, apa gak bisa kita tunda besok lagi aja, ya?" rengek Ulan sambil menggandeng tangan sang pacar, Adit.
"Gak bisa ditunda lagi, ayo!" Zilga menarik tangan Hilda dan Ulan memasuki hutan. Adit dan Rafli mengikuti mereka dari belakang.
Tapi, hampir lelah kaki melangkah, rumah si Nenek pembuat martabak setan belum terlihat juga.
"Zil, kayaknya ... malam itu, kita gak jauh-jauh amat masuk hutan untuk ketemu tuh rumah," ujar Hilda.
"Iya, nih. Udah pegal kaki, kok gak ketemu-ketemu juga rumahnya?" Ulan merengut sambil melirik sang pacar.
"Jangan-jangan ... kita tersesat lagi," celetuk Rafli.
"Gue yakin banget, ini arah rumah si Nenek itu," Zilga mengerutkan dahi sambil melihat ke sekeliling.
"Tapi ... Kok gak sampai-sampai juga sih, Zil? Pulang aja, yuk!" rengeK Ulan sambil mendekat kepada Adit dan menggandeng tangannya.
"Pulang?" Zilga melirik Ulan dan Adit bergantian. "Jalan dikit lagi, kalau gak ketemu-ketemu juga ... baru kita pulang." Zilga melangkah mendahului teman-temannya.
Satu jam berlalu, mereka hanya berputar-putar saja dan kemudian kembali ke tempat semula.
"Guys, kayaknya kita cuma berputar-putar saja di tempat ini deh," celetuk Adit.
"Iya, beb. Lo benar banget, emang lo gak merasa kejanggalan ini, Zil?"
Zilga menghembuskan napas kesal lalu berkata, "Iya juga sih."
"Jangan-jangan kita telah dibuat tersesat oleh si nenek setan," bisik Hilda dengan suara menyeramkan.
"Agghh!!!" Ulan tiba-tiba menjerit histeris dan memeluk Adit dengan ketakutan.
"Lo kenapa, Beb?" tanya Adit cemas.
"Ah, palingan aja ganjennya kambuh, haha .... " gelak Hilda.
Zilga mendekati Ulan yang masih ketakutan dengan wajah pucat pasi dan berkata, "Elo kenapa, Lan?"
"Pu-pulang yuk, Zil!" ajak Ulan dengan suara bergetar.
Zilga memegang tubuh Ulan yang gemetar dengan khawatir, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada sahabatnya yang bertubuh montok itu.
"Oke, kita pulang, guys."
Kelima teman itu memutar langkah dan menuju arah pulang, Adit memapah Ulan yang masih menangis ketakutan.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di pinggir jalan setapat tempat motor terparkir.
Zilga naik ke motor dan memakai helmnya, "Eh, guys ... Rafli mana?"
"Oh, my god. Rafli, sayangku di mana?" Hilda celingukan dan mulai panik.
Zilga turun dari motor dan mengedarkan pandangan ke dalam hutan, mencari sosok Rafli yang mungkin masih berada di belakang.
"Emang dari tadi Lo gak sadar kalo Rafli gak ada, Hil? Apa mungkin dia masih di hutan dan gak ikut pulang tadi," ujar Zilga bimbang.
"Tadi itu, perasaan pas kita memutuskan untuk pulang ... gue gandengan ama Rafli deh jalannya. Tapi kok, sekarang dia malah gak ada. Gimana ini, guys? Hiks .... " Air mata Hilda mulai berjatuhan.
Zilga tampak berpikir keras lalu berkata, "Ya sudah, kita susul Rafli sekarang."
"Gue gak mau ke sana lagi, gue mau pulang saja," rengek Ulan dengan sambil menangis.
"Eh, gak boleh gitu dong, Lan. Kita harus setia kawan, ayo ... kita harus mencari Rafli sekarang!" ujar Hilda sambil menyeka air matanya.
"Pokoknya gue gak mau ke sana lagi, gue gak mau mati konyol di tangan si Nenek setan." Ulan bersikukuh.
"Emang tadi lo lihat apa, beb di hutan tadi?" tanya Adit pada Ulan.
Ulan menggigit bibir dengan gugup, "gue, gue ... lihat si nenek setan membawa pisau penuh darah. Ih, pokoknya menyeramkan sekali." Ulan menutup wajahnya dengan ngeri.
"Astaga, masa sih? Kok kita semua gak lihat sih?" Zilga melotot.
"Gue juga gak tahu, gue gak mau jadi tumbal selanjutnya. Maaf, guys ... gue sama Adit izin pulang duluan saja, ya!" Ulan memohon dengan kedua tangan bersimpuh di dada.
"Ya sudah, terserah kalian saja kalau mau pulang. Ayo, Zil ... kita cari Rafli sekarang!" Hilda menarik tangan Zilga memasuki hutan.
Zilga dan Hilda berlari menuju tempat tadi, di bawah pohon besar dengan sungai kecik di sampingnya.
"Rafli, lo di mana?" teriak Hilda.
"Rafli .... " Zilga juga memanggil nama pacar Hilda sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.
Tapi hingga sore menjelang, Rafli masih belum ditemukan.
"Zil, Rafli di mana? Hiks .... " Hilda menangis lagi.
Zilga menggeleng, ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Maafin gue, Hil. Gara-gara gue ngajakin kalian ke sini, Rafli jadi hilang." Zilga memeluk Hilda dan mengusap punggung sahabatnya yang sejak dari TK itu.
"Zil, jangan-jangan Rafli makan martabak itu dalam jumlah ganjil?" Hilda teringat kata-kata Fitri, si cewek aneh yang mengaku indigo.
"Kita ke rumah Fitri sekarang kalau gitu," ujar Zilga.
"Terus, kita menghentikan mencari Rafli, gitu?" Hilga menatap Zilga dengan sambil menyapu
"Sebelum ke rumah Fitri, kita ke rumah Pak RT dulu, melaporkan tentang hilangnya Rafli. Agar para warga bisa membantu kita mencari dia," kata Zilga mantap karena sudah hampir dua jam mereke berputar-putar di hutan, Rafli tidak juga ketemu.
Hilda mengangguk dan mengikuti langkah Zilga menuju arah tepi hutan, di pinggir jalan setapak.
***
Setelah melapor kepada Pak RT, Zilga dan Hilda menuju rumah Fitri.
"Assalammualaikum," ucap Zilga di depan pintu rumah Fitri yang terbuka.
Taklama kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka.
"Waalaikumsalam," jawab wanita itu, mungkin dia Ibunya Fitri.
"Fitrinya ada, Bu?" tanya Zilga sambil tersenyum ramah.
"Gak ada, sore-sore begini dia biasanya main di kuburan dekat hutan," jawab wanita itu agak ketus.
"Oh, gitu ya, Bu. Ya sudah, kami permisi." Zilga dan Hilda saling pandang, lalu menuju motor kemudian pergi menuju kuburan yang disebutkan wanita tadi.
"Zil, benaran Fitri ada di sini? Bukannya tadi kita juga sudah lewat sini," ujar Hilda.
"Oh, ya .... Kenapa gak kita telpon saja dia?" Zilga sedikit menyunggingkan senyum.
Hilda mengangguk setuju dan memperhatikan Zilga yang sedang berusaha menelpon si Fitri.
"Halo, Fit. Lo di mana?" cecar Zilga kala telponnya sudah tersambung kepada Fitri.
"Ngapain nyari gue?" jawab Fitri ketus.
"Kita ada perlu ama lo, please ... "
"Hem, oke." Fitri menutup telepon.
"Eh, Fit. Lhoh, langsung dimatikan." Zilga menatap kesal ponsel berukuran enam inchi di tangannya itu.
Tiba-tiba saja, Fitri sudah berada di belakang Zilga dan Ulan.
"Astaghfirullahal'azim, gak bisa apa ... kalau muncul itu ucapin salam kek?" ucap Hilda kaget sembari memegangi dadanya karena ketika membalik badannya, Fitri sudah berdiri tepat dihadapannya.
"Ah, gak usah lebay gitu deh, Hilda." Fitri memutar bola mata jengah.
"Udah, udah, gak usah berdebat gitu deh!" Zilga menatap Hilda memberi isyarat agar tenang, sebab ia tahu betul, si Fitri ini orangnya mudah tersinggung dan tidak mau Fitri langsung pergi begitu saja. Sebab mereka sedang butuh pertolongan gadis kurus tinggi dengan mata cekung itu.
"Ada apa lo nelpon gue, Zil?" cecar Fitri dengan tampang masam.
"Fit, Rafli hilang di Hutan. Apa lo tahu gimana keadaan dia sekarang? Gue curiga dia diculik si Nenek setan," ucap Zilga tanpa basa-basi lagi.
Fitri menarik napas, "kalian sih ... suka usil, kenapa juga mesti mau mendatangi rumah si Nenek itu?"
"Kok lo tahu?" Hilda menatap curiga Fitri.
"Tahulah, emang mau ngapain ke Hutan kalau bukan mau mendatangi rumah si nenek?"
"Oke, tebakan lo benar, Fit. Terus, apa lo mau bantu kami mencari Rafli?" suara Zilga terdengar memohon.
"Mau masuk ke hutan lagi? Bentar lagi sudah mau magrib, guys. Besok saja," jawab Fitri sambil memainkan kuku panjangnya.
"Apa? Besok? Terus Rafli bakal bermalam di hutan malam ini? Hiks .... " Hilda cemberut sambil menahan air matanya.
"Rafli berada di rumah Nenek setan, dia sekarang menjadi tawanannya," ujar Fitri sambil membenarkan poni panjang yang menutupi rambutnya
"Astaga, jadi sayangku Rafli benaran di culik si nenek setan, Fit?" Hilda mengguncang bahu Fitri.
"Ih, jangan sentuh gue!" Fitri menepis kasar tangan Hilda.
"Apa alasan si nenek menculik Rafli, Fit? Apa dia memakan martabak setan dengan jumlah ganji?" Zilga menatap Fitri.
"Hem, iya. Kalian harus hati-hati! Ulan juga sedang diincar oleh si Nenek sebab dia juga memakan martabak itu dengan jumlah ganjil," jelas Fitri lagi.
"Ulan? Astaga." Zilga mengeryitkan dahi. "Fit, kenapa tadi kami tidak bisa menemukan rumah si nenek?"
"Jelas saja, inikan siang hari, guys. Rumah itu bisa terlihat hanya pada malam jum'at kliwon saja," ujar Fitri sambil tersenyum.
"Terus, apa Rafli akan menjadi tumbal selanjutnya?" tanya Hilda lesu.
Fitri mengangkat bahu dan berkata, "Gue gak tahu. Ya sudah, gue mau pulang, bentar lagi buka puasa nih."
"Eh, Fit ... terus bagaimana cara menghentikan ini semua? Kita tidak bisa hanya tinggal diam saja menyaksikan nenek setan itu membunuh satu persatu warga di kampung ini," ujar Zilga menahan tangan Fitri.
"Gue gak tahu caranya." Fitri menyentak tangannya dan melangkah meninggalkan Zilga dan Hilda. "Oh ya, Zil. Nenek setan tidak suka dengan keusilanmu ya, hati-hati ... dia akan berusaha membunuhmu lewat alam mimpi!" ucap Fitri dengan suara berbisik.
Fitri meninggalkan Zilga dan Hilda, ia berjalan menuju pulang dengan menyusuri jalan setapak yang sepi itu. Disamping kanan terdapat area perkuburan dan sebelah kiri Hutan. Gadis berambut keriting itu memacu motor matic butut kesayangannya.
Bersambung ....
Martabak SetanPart 6 : Pencarian Tak BerujungZilga terdiam dengan pikiran yang berkecamuk, belum selesai tiga masalah, kini akan datang lagi masalah baru yaitu Ulan yang akan menjadi target selanjutnya. Kakaknya Saskia dan Kak Dimas masih terbaring kritis di rumah sakit, dan Rafli yang menghilang. Ia tak tahu kesialan apa lagi yang akan menimpa temannya bertubuh semok itu, dihembuskannya napas letih dengan hati yang tak tenang. Cobaan di bulan ramadhan tahun ini sungguh membuatnya tak habis pikir, yang kata orang-orang para setan akan dirantai untuk tak mengganggu umat manusia tapi nyatanya Si Nenek setan malah meneror masyarakat kampungnya dengan takjil pembawa petaka, martabak setan.“Zil, apa kita akan di sini sampai malam? Terus Rafli gimana? Apa yang akan gue bilang apa Mamanya jika nanya ke gue?” Hilda mengguncang bahu Zilga yang membuatnya segera t
Martabak SetanPart 7 : Jangan Tidur Malam ini!Setelah berdebat, akhirnya Hilda mau juga di suruh pulang. Zilga juga kembali ke rumahnya dengan tampang letih karena ia belum ada memakan apa pun sejak dari jam berbuka tadi. Di rumahnya sepi, makanan pun juga tak ada. Ia memegangi perut yang sudah berbunyi karena masuk angin. Dilepasnya jilbab putih yang menutupi kepala, hingga malam begini pun ia masih mengenakan seragam sekolah.Zilga meraih ponsel dan memikirkan apa yang akan ia lakukan sekarang, ia rindu suasana rumah dengan adanya Sang Mamak juga Saskia, kakaknya. Kini sudah berhari-hari, ia sendirian di rumah. Ia jadi terkenang Abahnya, yang kini sudah memiliki keluarga baru.Zilga jadi semakin kesal, karena Sang Abah belum juga menampakkan batang hidungnya sejak ia menelepon mengabarkan kalau Kakaknya masuk rumah sakit.
Martabak SetanPart 8 : Mimpi yang Terasa NyataKalau chat dari Fitri benar, maka Zilga tak mau tidur malam ini. Akan tetapi, dapatkah ia menahankan mata untuk tak tidur malam ini, dengan tubuh yang sudah sangat letih begini? Gadis berpiama itu jadi resah dan bimbang. Dihelanya napas panjang sambil memikirkan solusi dari masalah yang dihadapinya sekarang.“Abah, mungkin aku harus menelepon dia dan meminta bantuan sebab hanya Abah saja yang dapat menolongku di saat kritis begini.” Zilga membatin sambil memandangi nomor kontak sang Abah.“Telepon atau jangan, ya? Bagaimana kalau beliau sudah tidur? Aghh ... gimana ini? Setidaknya aku harus mencoba dulu.” Ia memutuskan dengan sambil menekan nomor ponsel Abahnya.Panggilan pertamanya terabaikan, ia mencoba lagi mel
Martabak SetanPart 9 : Hampir Mati“Agghh!!!” Zilga menjerit histeris, tak ingin nyawanya berakhir di tangan si nenek tapi ia benar-benar sudah tersudut saat ini.Saat pisau besar itu hendak mengenai kepalanya, Zilga langsung menunduk sehingga pisau sang nenek mengenai pohon besar itu dan menancap di sana.Zilga memegangi dada, napasnya terengah-engah dengan tubuh yang gemetar karena ketakutan. Sedangkan Sang Nenek setan menatapnya geram dan berusaha menarik pisau yang tertancap di pohon itu.“Ya Allah, hamba belum mau mati .... “ Zilga membatin dan bersiap untuk pergi dari hadapan sang nenek setan.“Hey, aku takkan melepaskanmu!” Sang Nenek menarik rambut panjang Zilga.“Agghh!!!” jerit Zilga kar
Martabak SetanPart 10 : Tak ada yang percayaSesampainya di rumah duka, Zilga langsung bergabung dengan pelayat lainnya yang kini sedang membaca buku yasin sembari mengelilingi jenazah yang ditutupi kain batik panjang itu. Gadis bergamis hitam itu mengeluarkan amplop yang sudah ia siapkan sejak dari rumah, sebagai bentuk bela sungkawa atas keluarga yang telah ditinggalkan.“Meninggalnya kenapa, Bu?” bisik Zilga kepada wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya.“Terpeleset di kamar mandi, dan saat dilarikan ke rumah sakit, almarhumah sudah tak tertolong lagi,” jawab wanita paruh baya itu.“Kapan kejadianya, Bu?” tanya Zilga lagi.“Tadi subuh, Nak. Pas mau wudhu. Kasihan, anaknya masih kecil-kecil,” bisik Ibu itu
Martabak SetanPart 11 : Penolakan FitriZilga melangkah menuju motornya dan saat melirik rak penitipan martabak, takjil berdarah itu sudah ludes tak bersisa, padahal sekarang baru pukul 15.15. Ia benar-benar bingung dengan semua ini, Pak RT tak percaya dengan apa yang sudah ia katakan dan ia malah dianggap gendeng dan yang bikin dia makin jengkel, Pak RT malah menantang Nenek setan dengan memakan martabak itu.“Aku harus ke rumah Fitri,” gumamnya sambil naik ke motor dan menghembuskan napas berat.Zilga mulai memacu motornya menuju kediaman Fitri, temannya bertubuh ceking dan mengaku indigo itu. Ia tak bisa hanya tinggal diam saja, melihat warga kampungnya meninggal setiap hari. Ia harus bisa melawan nenek setan dan membuat nenek tua itu mendapatkan ganjaran atas apa yang telah diperbuatnya.&
Martabak SetanPart 12 : Jenazah Berlumur DarahZilga terus melangkah, hingga ke jalan setapak yang terletak di antara area pemakaman dan pinggir hutan, ia sedang membunturi Fitri.Akan tetapi, Fitri malah berbelok ke area pemakaman lalu duduk di depan sebuah nisan. Zilga menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik tembok kuburan dan mengamati apa yang dilakukan oleh temannya itu.Fitri terlihat komat-kamit membaca doa di atas makam itu, dan kemudian mengedarkan pandangan ke segala arah, ia seperti mengetahui ada sesorang yang sedang mengamati gerak-geriknya.Saat Zilga memalingkan pandangannya ke belakang, lalu menghadap ke arah Fitri lagi, gadis bertubuh kurus itu sudah tak ada lagi di dalam area pemakaman.Fitri yang saat itu sudah be
Martabak SetanPart 13 : Makam Pak RTSaat Nenek setan sudah menghilang dari pandangannya, barulah Zilga dapat menggerakkan leher juga tangannya. Ia menarik napas panjang, dengan jantung yang masih berdebar tak karuan.“Astaghfirullahal’adzim.” Zilga mengusap wajah dan naik ke atas motornya untuk menyusuri jalan setepak tadi, tempat nenek setan menyeret jenazah Pak RT.Ia melambatkan laju sepeda motornya, saat melihat sang nenek setan terlihat masuk ke hutan dengan masih menyeret tubuh tinggi tegap dalam balutan kain putih itu. Zilga bergidik ngeri, ia bimbang antara mengikuti sang nenek masuk ke hutan atau melaporkan hal ini kepada keluarga Pak RT.Setelah beberapa saat berpikir, Zilga memutuskan untuk membuntuti sang nenek setan terlebih dahulu dan mengetahui gubuknya, b